Ketika Titipan Itu Harus Dikembalikan

“Wahai Abu Thalhah,” kata Ummu Sulaim kepada suaminya, “Bagaimana pendapatmu, sekiranya ada seseorang yang menitipkan sesuatu kepada orang lain untuk suatu masa tertentu. Kemudian ketika si pemilik itu hendak mengambil barangnya kembali, patutkah jika orang yang dititipi itu keberatan?

“Sebenarnya tidak boleh begitu,” jawab Abu Thalhah. “Ia wajib untuk segera mengembalikan barang itu kepada pemiliknya dengan penuh keikhlasan. Bukankah barang itu bukan miliknya?”

Ummu Sulaim kemudian mengatakan, “Kalau begitu, ketahuilah bahwa putera kita adalah milik Allah yang dititipkan kepada kita. Ikhlaskanlah puteramu, karena kini Sang Pemilik telah mengambil barang titipannya.”

Dialog antara Ummu Sulaim dan Abu Thalhah di atas terjadi setelah anak semata wayang mereka meninggal dunia. Ummu Sulaim tidak ingin suaminya tergoncang. Dia pun menyiapkan cara agar suaminya dapat menerima kepergian sang anak.

Ummu Sulaim berdandan cantik, mengenakan pakaian terbaik, dan memasak masakan terenak. Setelah suaminya pulang, Ummu Sulaim melayaninya sebaik-baiknya. Setelah itu terjadilah dialog tersebut.

Kisah Ummu Sulaim di atas dikutip dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A Fillah.

Barang Titipan

“Barang titipan” adalah sebuah analogi cerdas berusia 1,5 milenium dari Ummu Sulaim sebagai argumentasi kepada suaminya untuk merelakan kepergian anaknya.

Sampai sekarang saya masih memegang analogi ini karena dapat diterima iman dan akal untuk mendeskripsikan hubungan antara Sang Pencipta (khaliq) dengan yang diciptakan (makhluq) dan segala hal yang melekat padanya.

Ya, hidup ini adalah titipan. Harta kita titipan. Keluarga kita titipan. Jabatan kita titipan. Bahkan jasad kita pun titipan. Jika semuanya titipan, lantas kepada (si)apa Allah menitipkan semua itu?

Jawabannya, kepada makhluk yang keberadaannya melintasi alam dan zaman, serta telah melakukan kontrak perjanjian dengan Allah di awal masa kehidupannya. Makhluk tersebut berwujud ruh.

Gading sejatinya bukanlah sesosok pemuda bertinggi badan 169 centimeter, rambut bergelombang, kurus, berkulit sawo matang, tahi lalat di pojok atas bibir sebelah kanan, dan segala ciri khas yang melekat pada fisiknya.

Gading yang sedang dipinjami Allah berupa properti tersebut merupakan ruh yang singgah di alam dunia dan suatu saat akan melanjutkan perjalanan ke alam berikutnya saat seluruh kontrak barang titipannya habis.

Setidaknya ada tiga alasan hidup kita bisa disebut barang titipan:

Pertama, Sang Pemilik berhak menentukan untuk apa barang titipan tersebut.

Selama masa penitipan, kita diperbolehkan menggunakan barang titipan tersebut dengan syarat-syarat tertentu yang sudah termuat dalam buku panduan penggunaan barang. Sang Pemilik menjamin perawatan barang tersebut tetap ada pada-Nya. Namun mau digunakan untuk apa tanggung jawab orang yang dititipi.

Kita dititipi hidup oleh Allah dan boleh menggunakannya untuk beramal, dengan syarat kewajiban ibadah yang termuat dalam al-Qur’an. Jaminan perawatan agar barang titipannya tetap awet berupa rizki. Seberapa bertanggung jawab kita atas barang titipan itu akan ditimbang dalam perhitungan amal di hari kebangkitan kelak.

Kedua, Orang yang dititipi tidak dapat memilih barang yang akan dititipkan padanya.

Sang Pemilik sudah menjatah barang yang akan dititipkan kepada kita: yang cantik kah, yang hitam kah, yang tinggi kah, yang gemuk kah. Oleh karena itu yang dititipi tidak perlu ambil pusing. Karena bagi Sang Pemilik, wujud barang titipannya tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana yang dititipi menggunakan barang titipannya.

Bagi yang memiliki barang titipan cantik, harusnya lebih was-was karena barangnya rawan dicuri oleh sebab memukau orang banyak. Yang dititipi barang dengan kekayaan harusnya juga was-was karena dapat membuatnya lupa diri. Yang dititipi barang biasa saja perlu sabar, berpikir positif kalau Sang Pemilik paling tahu kapasitas kita dalam mengelola barang titipan.

Ketiga, Barang yang dititipkan tidak mutlak milik kita dan suatu saat pasti akan kembali pada pemilik sesungguhnya.

 

Ini adalah faktor utama kenapa hidup dapat disebut barang titipan. Karena titipan dia tidak mutlak menjadi milik kita. Kita tidak berkuasa penuh padanya. Apa yang kita miliki saat ini tidak akan selamanya menjadi milik kita. Barang titipan ada waktu pengembaliannya.

 

Seberapapun angkuhnya diri kita yang merasa bahwa harta, keluarga, hidup adalah milik kita; seberapa keras kita melindungi agar barang-barang itu tidak lepas dari genggaman; tetap saja Sang Pemilik dengan mudah akan memintanya kembali.

 

Saat Pengembalian

 

Karena barang titipan ada waktu pengembaliannya, kapan dan pada saat momen apa barang titipan itu harus dikembalikan?

 

Kapan barang itu harus dikembalikan yang dititipi tidak pernah tahu. Dan itu pun hak Sang Pemilik untuk tidak memberi tahu. Sedangkan momen pengembaliannya adalah saat kematian. Kematian adalah tenggat waktu sekaligus proses serah terima barang titipan dari yang dititipi kepada yang memiliki.

 

Ketika barang harus dikembalikan, ada bermacam-macam reaksi orang yang dititipi: ikhlas, was-was, dan tidak ikhlas. Reaksi ini tergantung pada bagaimana dia memanfaatkan barang titipannya selama tenggat waktu penitipan.

 

Orang bisa ikhlas ketika barang titipannya diminta karena: (1) dia tahu bahwa yang dibawanya hanyalah barang titipan, dan (2) dia menggunakannya sesuai petunjuk sang pemilik.

 

Dia dititipi sebuah barang, lantas dia menggunakan untuk memberikan manfaat kepada orang lain, tetap merawatnya, menjaganya, dan menggunakan sesuai pentunjuk sang pemilik. Ketika sang pemilik memintanya, dia menyadari bahwa barang tersebut bukan miliknya. Karena dia sudah menggunakannya secara maksimal, dia merasa terbantu dan justru berterima kasih atas barang pinjaman tersebut. Dia pun mengembalikannya dengan ikhlas.

 

Orang yang was-was bisa disebabkan karena: (1) dia tahu bahwa yang dibawanya hanyalah barang titipan, namun (2) dia tidak menggunakannya sesuai petunjuk sang pemilik.

 

Orang tersebut mengetahui bahwa suatu saat barang tersebut pasti akan diminta. Tetapi dalam keseharian dia menggunakan barang pinjaman tersebut menurut hawa nafsunya. Hal itu menyebabkan barang tersebut rusak, sehingga ketika diminta dia akan enggan takut kalau sang pemilik murka padanya.

 

Sedangkan yang tidak ikhlas disebabkan karena: (1) dia tidak tahu bahwa barang yang saat ini padanya hanyalah barang titipan, dan (2)  dia bisa saja merawat dengan baik atau tidak, tapi dia tidak menggunakannya sesuai petunjuk sang pemilik.

 

Orang seperti ini kecele, merasa bahwa dirinya lah pemilik barang tersebut. Dia tidak menyadari bahwa barang tersebut harus dikembalikan. Ketika orang tidak merasa yang dimilikinya hanyalah barang titipan, mana mungkin dia bisa ikhlas ketika ada orang lain yang mengklaim bahwa itu miliknya dan memintanya? Bagaimana pun kondisi barang tersebut.

 

Kesimpulan

 

Oleh karena itu kita harus menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah barang titipan, yang suatu saat pasti akan diminta. Selama tenggat waktu peminjaman belum habis kita masih bisa memanfaatnya dengan baik. Sehingga suatu saat ketika diminta kita bisa ikhlas.

 

Meyakini bahwa ada barang titipan itu kepunyaan Sang Pemilik adalah iman. Mengetahui cara menggunakannya adalah ilmu. Bagaimana cara kita menggunakannya adalah akhlak. Dan kita menggunakan untuk memberikan kemanfaatan dengannya adalah amal.

 

Gading Ekapuja Aurizki

Santri di Pesantren Griya Madani Indonesia