Kewajiban Menaati Pemerintah

Menaati pemerintah ini termasuk dalam fiqh siyasi yaitu fiqih Islam yang berkaitan dengan imarah ataupun imamah ataupun kepimpinan dalam Islam. Perbedaan pandangan dalam hal ini, bukanlah masalah aqidah. Saya sebutkan ini karena ada golongan muda agama politik tertentu yang menganggap isu ini isu aqidah. Dalam arti kata lain, barangsiapa yang tidak taat kepada pemerintah berarti rusak aqidahnya. Ini tidak tepat. Al Imam Ibnu ‘Ashur ketika menyebut tentang sebab-sebab perpecahan:

“Kelima: memasukkan ke dalam tauhid perkara-perkara yang bukan daripadanya. Tujuan untuk membesarkannya pada mata orang awam seperti masalah khilafiyyah, tentang keluar menentang penguasa, mengenai mengikut salah satu imam mazhab yang empat…”. (Muhammad Tahir Ibnu ‘Ashur, Alaisa As Subh bi Qarib, 186. Tunisia: Dar Suhnun)

Walaupun tujuan mereka mungkin untuk menghalang fitnah yang mereka jauhi, tetapi memasukkan bab-bab itu ke dalam tauhid adalah tidak benar. Ia akan membawa kerusakan yaitu kafir-mengkafir, ataupun sesat menyesat karena politik. Hal yang sama terjadi kepada golongan yang menjadikan penyertaan kepada partai politik mereka termasuk dalam isu aqidah, lantas mereka mengkafirkan ataupun memandang sesat barangsiapa yang tidak menyokong partai tertentu. Sejarah hitam kafir mengkafir di Malaysia ini adalah hasil dari nash-nash agama ditafsirkan menurut kehendak politik kepartaian.

Rukun Kedamaian

Menaati Ulul Amr ataupun penguasa adalah rukun dalam penegakan mashlahah siyasiyah (kemaslahatan politik). Mustahil dapat diwujudkan satu pemerintah yang aman dan kuat yang melaksanakan kemaslahan rakyat tanpa ketaatan dari rakyat itu sendiri. Ini seperti halnya mustahil dapat ditegakkan keamanan tanpa keadilan daripada pemerintah yang menguruskan kehidupan negara dan rakyat. Untuk itu Allah menegaskan dalam Al Quran, Surah Al Nisa: 58-59:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyerahkan segala jenis amanah kepada ahlinya (yang berhak menerimanya), dan apabila kamu menjalankan hukum antara manusia, (Allah menyuruh) kamu menghukum dengan adil. Sesungguhnya Allah dengan (suruhanNya) itu memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah senantiasa Mendengar, lagi senantiasa Melihat. Wahai mereka yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amr dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu maka kembalilah kepada Allah (al-Quran) dan ar-Rasul (Sunnah), jika kamu benar beriman dengan Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu yang paling utama dan paling baik akibatnya.”

Ayat perintah ketaatan datang setelah penegasan Allah tentang tanggungjawab memilih pemimpin dan orang yang layak untuk memegang amanah, kemudian pemimpin pula berhukum dengan adil. Apabila dua tanggungjawab utama itu dilaksanakan, maka datangnya penegasan tanggungjawab ketaatan.

Al Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menyebut petikan ucapan yang disandarkan kepada Ali bin Abi Thalib: “Tanggungjawab pemerintah ialah berhukum dengan adil dan menunaikan amanah. Apabila dia melakukan yang demikian, wajib atas Muslimin untuk menaatinya karena Allah memerintahkan kita menunaikan amanah dan adil, kemudian memerintah agar menaati pemerintah”.( Al Qurtubi: Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad, Al Jami’ li Ahkam Al Quran, 5/359. Beirut: Dar Al Fikr)

Ibn Hajar Al ‘Asqalani (meninggal 852H) menyebut dalam Fath Al Bari: “Antara jawaban yang menarik, ungkapan kalangan tabi’in kepada para pemerintah Bani Umayyah apabila ada yang berkata: Tidakkah Allah memerintahkan kamu untuk taat kepada kami dalam firmanNya ‘dan Uli Al Amr dari kalangan kamu’. Maka dijawab: “Tidakkah kewajiban taat itu telah dicabut (dibatalkan) apabila kamu menyanggahi kebenaran dengan firmanNya, ‘Jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu maka kembalilah kepada Allah (Al Quran) dan ar-Rasul (Sunnah), jika kamu benar beriman dengan Allah’) (Ibn Hajar Al ‘Asqalani, Fath Al Bari 15/4. Beirut: Dar Al Fikr).

Dalam Tafsir An Nasafi disebut dialog ini antara tokoh tabi’in yang terkenal Abu Hazim dengan Maslamah bin ‘Abd Al Malik bin Marwan. (1/232. Beirut: Dar Al Fikr)

Ini karena apabila pemerintahan menyanggahi kebenaran, maka hilanglah kemaslahatan siyasah yang menjadi kewajibannya untuk dia tegakkan. Maka, ketika itu penilaian terhadap arahan pemerintah hendaklah dirujuk kepada asas-asas ajaran Allah dan rasulNya.

Tidak Mutlak

Maka, ketaatan kepada para pemerintah ada batasannya. Hak untuk mereka ditaati tidak sama dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Ketaatan kepada Allah dan rasulNya adalah mutlak. Allah dan rasulNya tidak boleh dibantah. Dalam masa yang sama kita tahu segala arahan yang bersifat syariat yang datang dari keduanya adalah untuk kemaslahatan manusia.

Hal ini tidak sama dengan para pemerintah. Ketaatan kepada mereka tidak mutlak. Mereka senantiasa terdorong kepada kepentingan diri seperti halnya manusia lain, maka bukan semestinya semua yang datang dari mereka itu untuk maslahah rakyat dan negara. Kemungkinan arahan mereka membawa kerusakan bukan kemaslahatan, yang mana ia bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Untuk itu jika kita melihat firman Allah dalam hal ini, Allah menyebut: “Wahai mereka yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan uli Al Amr dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu maka kembalilah kepada Allah (al-Quran) dan ar-Rasul (Sunnah), jika kamu benar beriman dengan Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu yang paling utama dan paling baik akibatnya.”

Al-Hafizd Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari menukilkan kata-kata Ath Thibi:

“Berkata Ath Thibi: Allah mengulangi arahan dalam firmanNya ‘taatilah Rasul’ sebagai isyarat bahwa kemutlakan Rasul itu dalam ketaatan. Dia tidak mengulanginya pada Uli Al Amr sebagai isyarat terdapat dalam kalangan mereka (ulil amri) yang tidak wajib ditaati. Kemudian Allah terangkan perkara itu dengan firmanNya ‘Jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu..’ seakan dikatakan jika mereka tidak beramal dengan kebenaran maka kamu jangan taat dan kembalikan apa yang kamu selisishkan mengenainya kepada hukum Allah dan RasulNya” (Ibn Hajar Al ‘Asqalani, Fath Al Bari 15/4)

Taat dalam Perkara Ijtihadi

Tidak dinafikan kadang-kala ada tindakan pemerintah yang tidak disetujui oleh rakyat bawah sedangkan tindakan itu tidak munkar. Maka sekiranya tindakan itu tidak menyanggahi syara’, tidak membawa mafsadah yang nyata ataupun bukan satu kezhaliman, maka ia termasuk dalam batas-batas ijtihad pemerintah yang diizinkan syara’, dan rakyat mesti taat. Ini karena jika setiap orang mau bertindak mengikut ijtihad sendiri dalam perkara yang melibatkan kepentingan awam, tentu rusak keadaan negara dan musnah kemaslahatan umum. Dalam keadaan seperti ini, ijtihad rakyat hendaklah sesuai dengan bidang kuasa pemerintah dalam perkara yang melibatkan pengurusan kemaslahatan umum.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sabda baginda:

“Dengar dan taat (kepada pemerintah) adalah kewajiban setiap individu muslim dalam perkara yang dia suka atau benci selagi dia tidak diperintahkan dalam perkara maksiat. Apabila dia diperintahkan dalam perkara maksiat maka tiada lagi dengar dan taat.” (Riwayat Al Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas dengan jelas mewajibkan setiap Muslim menaati para pemerintah dalam apa jua perkara, selagi tidak berbentuk maksiat kepada Allah. Bahkan di dalam hadis di atas baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan bahawa ketaatan kepada para pemerintah merangkumi perkara yang disukai atau dibenci selagi ia tidak menyanggahi Allah.

Kata AnNawawi (wafat 676H) dalam mensyarahkan hadits berkenaan: “Maksudnya (hadits di atas) wajib menaati para pemerintah dalam perkara yang susah, yang tidak disukai oleh jiwa dan selainnya dalam perkara yang tidak maksiat”. (An Nawawi, Syarh Sahih Muslim 12/537. Beirut: Dar Al Khair)

Dengan itu, jika pandangan kita berbeda dengan pandangan pemerintah sedangkan pandangan pemerintah itu bersifat ijtihadiyyah yang tidak menyanggahi Al Quran dan Al Sunnah secara jelas, juga kemaslahatan umum secara nyata, maka kita diamkan diri dan serahkan urusan tersebut kepadanya. Ini tidak menghalang kita memberikan pandangan kita melalui saluran yang disediakan.

Membedakan

Maka rakyat hendaklah membedakan antara perkara munkar, zhalim dan mafsadah (merusakkan) dengan ijtihad pemerintah yang mungkin tidak disukai oleh sesetengah pihak tetapi ia tidak munkar, tidak zhalim dan tidak merusakkan kepentingan awam. Maka bagian yang kedua termasuk dalam ijtihad pemerintah yang wajib ditaati oleh seorang Muslim sekalipun dia tidak menyukainya. Namun, jika ia mungkar, kezhaliman dan kerusakan yang nyata maka ia tidak ditaati.

Prof. Madya DR. Muhammad Asri Zainul Abidin