Kisah Delapan Dirham

Al hafidz Imam As Suyuthi dalam kitabnya tarikh khulafa’ menukil sebuah kisah inspiratif, yang pernah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Tentang sebuah keadilan. Kita ingati bahwa Allah telah firmankan agar sebagai seorang mukmin menjaga keadilan dalam setiap perilakunya, karena keadilan adalah dekat dengan ketaqwaan. “berbuat adil-lah karena adil dekat dengan taqwa” (QS. Al Maidah : 8). Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dari Zir Ibn Hubaisy.

Dikisahkan ada dua orang sedang menikmati makan siangnya. Mereka berdua sama-sama menikmati bekal siangnya berupa roti. Orang pertama memiliki 5 buah roti, sementara orang kedua memiliki 3 buah roti. Saat keduanya tengah bersantap siang, datanglah seorang kepada mereka. “Duduklah, dan bergabunglah bersama kami, saudaraku” seru mereka berdua. Dan orang itu pun ikut makan bersama mereka. Ketiganya makan dalam kadar dan jumlah yang sama. Kemudian orang tersebut setelah makan dan hendak pergi, ia keluarkan kantung nan gemerincing. “Ambilah uang ini, sebagai ganti makanan yang ku makan tadi!” Dihulurkannya sebanyak 8 dirham kepada mereka berdua.

Dari sinilah kasus bermula. Keduanya saling berseteru, siapa yang paling berhak atas uang itu. Pemilik 5 buah roti ataukah pemilik 3 buah roti. “aku mendapat lima dirham” seru lelaki pertama si pemilik 5 roti, “dan engkau dapat tiga dirham” lanjutnya. Pembagian yang adil menurutnya. Disesuaikan dengan kadar kemilikan.

“Saya tidak rela!! Saya tidak rela!!” kata pemuda kedua yang miliki 3 buah roti “kecuali jika dibagi menjadi dua bagian”. Lelaki kedua menuntut kesamaan. Pertengkaran ini berlanjut hingga terdengar hingga ke telinga Imam Ali Ibn Abi Thalib. Kemudian sebagai seorang khalifah, Imam Ali, sahabat yang terkenal karena kecerdasan ilmunya, yang berjuluk pintu ilmu Rasulullah ini, akhirnya membantu memutus perkara.

“Temanmu yang memiliki 5 buah roti” kata Imam Ali, “Telah menawarkan kepadamu apa yang ia tawarkan. Ia miliki roti yang lebih banyak darimu. Maka ridha-lah dengan 3 dirham itu”

“Saya tidak rela!!” kata pemuda kedua “kecuali dengan pembagian yang hak, benar dan jujur!” lanjutnya.

“Sebenarnya pembagian yang hak bagimu itu adalah 1 dirham dan dia beroleh 7 dirham” Jawab Imam Ali.

“Subhanallah” Tersentaklah kaget si pemuda kedua. “Bagaimana bisa duhai Imam?”

“Bukankah 8 potong roti (5 roti + 3 roti) itu menjadi 24/3? Dan kalian makan bertiga? Dan diantara kalian tidak ada yang makan lebih banyak atau lebih sedikit?  Semua makan dengan bagian yang sama? Kamu makan 8/3 bagian, sedang kawanmu 8/3 bagian juga, pemilik dirham itu juga memakan 8/3 bagian. Sedangkan yang kamu miliki 9/3 bagian (3 buah roti), dan kawanmu 15/3 bagian ( 5 buah roti). Sedangkan si pemilik dirham hanya makan 1 dari 8 bagian. Maka temanmu lebih berhak atas 7 dirham itu. Apakah engkau ridha?” Tukas Imam Ali. Terdiamlah si pemuda kedua.

***

Ya, bicara keadilan memang bukan pembicaraan yang ringan. Ia adalah perkara yang berat. Ia adalah perkara yang bersanding dengan taqwa. Sedang taqwa menurut Umar Ibn Al Khaththab adalah laksana berjalan di tengah gulita di jalan setapak yang penuh ranjau duri. Langkah yang berat dan tertatih sebagai syarat agar berhati-hati dalam mengambil langkah. Terkadang, elan kita tentang keadilan terpersepsi bahwa adil itu adalah sama. Sama dalam segala aspek. Seperti yang menjadi doktrin orang-orang penganut paham sosialis. Semua sama. Atau seperti yang diperjuangkan para ‘pejuang’ feminisme yang menuntut keseteraan gender. Agar lelaki dan perempuan diberikan hak yang sama. Atau JJ. Rouseu pada saat revolusi perancis, dengan teorinya  egalite, liberate, fraternity. Semua menuntut sama. Menuntut adanya persamaan hak. Menuntut kesetaraan. Tapi ada satu hal yang terlupakan. Persamaan  tanggung jawab dan kewajiban!! Ingat setiap kita memiliki kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Yang tentu berbeda kadar besarannya. Tidak mungkin disamakan. Seorang  berposisi direktur memiliki tanggung jawab sendiri yang menjadi tugas kewajibannya. Tentu tidak bisa disamakan dengan seorang Office Boy atau pesuruh kantor, ia memiliki kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya sendiri juga.

Menuntut persamaan hak pada hakikatnya adalah berkonsekuensi pada persamaan tanggung jawab kewajiban juga. Seorang direktur mungkin bisa dan sangat mampu mengambil alih pekerjaan yang menjadi tanggung jawab (maaf) office boy. Sekedar menyapu kantor, menyiapkan minuman. Tapi apakah seorang (maaf) office boy mampu menjalankan peran sebagai seorang direktur? Memimpin anak buah yang beragam, membuat rencana pemasaran, melakukan pengawasan pekerjaan dan evaluasinya? Tentu bukan perkara yang mudah. Dari awal pun sudah berbeda. Latar pendidikan untuk menjadi direktur berbeda dengan latar pendidikan untuk menjadi (maaf) office boy. Jika menghendaki persamaan hak dan keseteraan, terlebih dahulu kita berfikir tugas tanggung jawab masing-masing.

Seperti halnya sebuah sepeda. Setiap bagian memiliki tanggung jawab dan tugasnya masing-masing. Ada stang yang tugasnya mengarahkan gerak. Ada pedal kayuh yang setiap hari harus rela diinjak-injak agar mampu menggerakkan rantai yang akan memutar roda. Ada juga pentil yang bertugas menjaga tekanan angin di dalam ban, agar ban tetap dapat berputar melaju. Satu bagian dan bagian yang lain adalah saling melengkapi. Kehilangan satu bagian  saja maka sepeda tidak akan bisa bergerak. Sepeda tanpa pedal, bagaimana ia bisa berjalan. Sepeda tanpa stang, ia kan jatuh terperosok karena tidak bisa dikendalikan.

Maka keadilan mensyaratkan; bukan sekedar sama dan setara. Tetapi adalah proporsional. Meletakan hak sesuai dengan kadarnya dan perannya. Meletakan sesuatu sesuai dengan besarnya tanggung jawab. Seperti meletakan sandal dan topi. Sandal memang diletakan di kaki dan setiap hari di injak-injak, bahkan kadang harus menginjak kotoran. Sedang topi di letak di kepala. Adalah zhalim bila meletakkan topi di kaki dan memakai sandal di kepala. Hanya orang bodoh saja yang melakukannya.

Maka kanjeng Nabi Muhammad bersabda “Ajruki ala qadri nashobik, pahalamu adalah sebanding dengan kadar lelahmu”. Allah pun menguatkan dengan pada surah Ar Rahman. “Hal jazaa’ul ihsaan illal ihsaan. Tiadalah balasan kebaikan selain kebaikan pula.”  Dalam surah Al zalzalah, “ fa man yya’mal mitsqola dzarotin khoiron yyaroh, wa man yya’mal mitsqola dzarrotin syarro yyaroh, siapa yang beramal kebajikan sebiji dzarah, niscaya ia akan dapat balasan. Dan barang siapa mengerjakan keburukan sebesar dzarah, ia pun dapati balasannya.” Inilah keadilan. Semua akan dapati bagiannya masing-masing. Wallahu Muwwaffiq. Wallahu a’lam Bishawab.

 

Oleh: Ardhianto Murcahyo, S. Psi, Surakarta
FacebookBlog