Kisah Umar bin Al Khathab Dimarahi oleh Istrinya

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan sebuah kisah yang banyak beredar di internet dan buku-buku pernikahan.

Bahwasanya seorang lelaki mendatangi ‘Umar untuk mengadu tentang perangai istrinya, lalu lelaki itu berdiri di depan pintu rumah ‘Umar dan mendengar suara omelan istri ‘Umar kepada ‘Umar. ‘Umar sendiri diam tak bersuara, tak membalas omelan istrinya itu.

Lelaki itu pun berbalik pergi seraya berkata (dalam hati), “Jika keadaan Amir al-Mu’minin ‘Umar bin al-Khtahthab saja seperti ini, bagaimana bisa (aku mengadukan) perihalku.”

‘Umar keluar dari rumah dan melihat lelaki itu pergi. ‘Umar memanggil lelaki itu, “Apa keperluanmu, wahai saudaraku?”

Lelaki itu berkata, “Wahai Amir al-Mu’minin, aku datang untuk mengadu kepadamu tentang perangai istriku yang selalu mengomeliku, namun barusan aku mendengar istrimu pun berbuat demikian kepadamu sehingga aku pun kembali seraya berkata (dalam hati) kalau keadaan Amir al-Mu’minin dengan istrinya pun seperti ini, bagaimana bisa (aku mengadukan) perihalku.”

‘Umar pun berkata kepada lelaki itu, “Aku menanggung omelannya (dengan sikap diamku) karena hak-hak yang dimilikinya dariku. Istriku memasak makanan dan mengadon roti untukku, dia mencuci bajuku dan menyusui anakku padahal semua itu bukanlah kewajiban baginya. Selain itu, hatiku pun merasa tenang kepadanya dan (terjauhkan) dari hal-hal yang haram. Itulah yang membuatku (bersikap diam) menanggung omelannya.”

Lelaki itu berkata, “Wahai Amir al-Mu’minin, seperti itu pulakah istriku?”

‘Umar menjawab, “Kau tanggunglah beban itu, wahai saudaraku. Karena semua (omelan) itu hanya sejenak saja.”

Kami tidak mendapati asal bagi kisah ini, tidak pula kami dapati seorang pun dari ulama hadits yang membicarakan hadits ini.

Kisah ini hanya disebutkan oleh Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, ahli fikih mazhab asy-Syafi’i, di kitab Hasyiyah ‘ala Syarh al-Minhaj (3/441-442) sebagaimana disebutkan juga oleh Abu al-Laits as-Samarqandi, ahli fikih mazhab al-Hanafi, di kitab Tanbih al-Ghafilin (halaman 518), demikian juga Ibn Hajar al-Haitami di kitab az-Zawajir (2/80).

Akan tetapi tak seorang pun dari ketiganya yang menyebutkan sanad bagi kisah tersebut, bahkan mereka mengemukakannya dengan shighah at-tamridh yang menunjukkan kelemahan riwayat seperti, “Dzukira anna rajulan (disebutkan bahwa seorang lelaki),”  atau, “Ruwiya anna rajulan (diriwayatkan bahwa seorang lelaki),” dan penyebutan (shighah tamridh) ini mengindikasikan bahwa kisah tersebut tidaklah sahih, dan ini dikuatkan pula oleh hal-hal berikut:

Pertama

Kisah ini berlawanan dengan hal yang masyhur dalam sejarah ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu– tentang keadaannya yang disegani manusia. Lantas bagaimana dengan istrinya? Ibn ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– berkata, “Setahun lamanya aku menahan diri untuk bertanya kepada ‘Umar bin al-Khaththab mengenai satu ayat al-Quran. Aku tak berani menanyakannya karena kewibawaannya.” –Diriwayatkan oleh al-Bukhari (4913) dan Muslim (1479).

‘Amr bin Maimun berkata, “Aku menyaksikan ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu- pada hari beliau ditikam. Tidak ada hal yang menghalangiku untuk berada di shaf pertama kecuali kewibawaannya. ‘Umar memang lelaki yang disegani.”Hilyah al-Auliya’ (4/151).

Kedua

Suara keras yang ditujukan kepada ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu– oleh istrinya sampai-sampai terdengar oleh orang yang berada di luar rumah, sementara  ‘Umar hanya berdiam diri saja adalah kemungkaran bukan kesabaran, dan yang diketahui dari ahwal Amir al-Mu’minin, beliau akan mengingkari perkara demikian dengan menghentikannya.

‘Umar adalah orang yang ditakuti oleh setan. Seandainya ‘Umar melewati sebuah jalan, niscaya setan akan melewati jalan lain yang tak dilewati oleh ‘Umar. Perempuan-perempuan yang meninggikan suara dan mengomeli suami mereka tidaklah dikenali di kalangan salaf.

Ketiga

Ucapan ‘Umar, “Istriku memasak makanan dan mengadon roti untukku, dia mencuci bajuku dan menyusui anakku padahal semua itu bukanlah kewajiban baginya,” merupakan ucapan yang tidak sahih. Pelayanan istri terhadap suaminya merupakan kewajiban menurut cara yang ma’ruf dan khususnya masalah penyusuan. Wajib bagi istri untuk menyusui anak-anaknya tanpa upah apabila dia masih menjadi istri suaminya.

Sehingga kesimpulannya adalah bahwa  kisah di atas tidak ada asalnya, matannya berisi kemungkran dan tidak sahih. Oleh karena itu tidak benar menjadikannya sebagai dalil tentang kebolehan bagi istri untuk meninggikan suara terhadap suaminya.

Meninggikan Suara pada Suami

Meninggikan suara terhadap suami merupakan perangai dan pergaulan yang buruk. Hal itu tidak diperbolehkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan,

“Kami katakan kepada istri (yang berbuat seperti itu) bahwa meninggikan suara kepada suaminya itu merupakan perangai yang buruk. Suami adalah penanggung jawab dan pemimpin baginya maka sudah selayaknya untuk dihormati dan diajak berkomunikasi dengan budi bahasa yang baik karena hal itu lebih memungkinkan untuk mencapai kerukunan dan kecintaan di antara pasangan suami istri. Demikian juga dengan suami, dia harus mempergauli istrinya dengan baik pula sehingga terwujud kesalingan pergaulan yang baik. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, “Bergaullah kalian dengan mereka secara patut. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)

Maka nasihatku kepada istri (yang melakukan perbuatan ini), hendaklah dia bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai dirinya dan suaminya. Janganlah meninggikan suara kepada suaminya terutama tatkala suaminya itu mengajak bicara kepadanya dengan tenang dan lembut.”

Takutnya Para Wanita pada Umar

Dari Sa’ad bin Abu Waqqash –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata:

‘Umar meminta izin masuk kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu di rumah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ada beberapa perempuan Quraisy yang sedang berbincang-bincang lama dengan beliau seraya mengangkat suara mereka.

Ketika mengetahui ‘Umar meminta izin untuk masuk, para perempuan itu terdiam dan bergegas-gegas untuk berhijab. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengizinkan ‘Umar masuk. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tertawa, lalu ‘Umar berkata, “Semoga Allah senantiasa membahagiakanmu, wahai Rasulullah.”

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Aku heran dengan para perempuan yang ada di sini, ketika mendengar suaramu, mereka langsung saja berhijab.”

‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, engkaulah yang lebih patut untuk mereka segani.”

Kemudian ‘Umar berkata (kepada para perempuan itu), “Wahai musuh-musuh bagi  jiwa-jiwa kalian sendiri! Kenapa kalian takut kepadaku tapi tak takut kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam!”

Para perempuan itu berkata, “Iya! Karena kamu lebih galak dan lebih kasar daripada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun bersabda, “Wahai Ibn al-Khaththab, demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah setan mendapatimu melalui satu jalan kecuali dia akan mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang kaulalui.” (HR. al-Bukhari 3120 dan Muslim 2397)

 

Ustadz Hendra Wibawa Wangsa Widjaja