Kita dan Tafsir Al Quran

Dulu, guru saya mantan aktivis Jamaah Imron yang membajak pesawat Woyla, menceritakan bahwa Salman Hafizh, adik/kakak (lupa) dari Wardah Hafizh menolak tafsir dari Thogut : Depag, maka dia pun membuat terjemah dan tafsir sendiri sesuai kemampuannya. Hasilnya : bisa diduga, tidak lebih baik.

Guru saya yang lain, Kyai Fathoni dari Lajnah Pentashih Al-Quran bercerita bahwa salah satu ormas Islam yang membuat terjemah tafsiriyah mendatangi Lajnah dan diterima guru saya yang lain, Kyai Ahsin Sakho Muhammad. Kedatangannya untuk mengkritisi terjemah Depag salah satunya kenapa kata :”Yathurna” diterjemah bersuci, padahal artinya lebih tepat adalah (sampai mereka/para wanita itu) suci. Terjadi perbedaan besar antara suci dan bersuci dalam masalah Haid. Kawan-kawan lupa bahwa dalam Qiraat lain kata itu dibaca “Yatathahharna”, artinya bersuci. Itu karena keawaman mereka tentang ilmu Qiraat sebagai salah satu alat menafsir dan hanya mengandalkan satu alat saja: bahasa.

Akhirnya mereka yang tadinya ingin mengkritisi malah dikritisi, begitu cerita guru kami. Kini terjemah mereka sedang diteliti oleh guru kami yang lain, murid dari Muallim Syafi’i Hazhami yang sedang mengambil S3 di UIN dan dosen di sana. Bila tidak menguasai salah satu ilmu yang digunakan sebagai instrumen untuk menafsir bisa terjadi kekeliruan bagaimana yang tidak memiliki satu instrumen keilmuan pun dalam bidang tafsir.

Dalam perdebatan rentang tahun 1995-1999 antara Ahmadiyah di Manis Lor dengan salah satu guru kami yang lain Kyai Achiddin Noer, pemimpin Pesantren Husnul Khatimah kala itu, dapat diambil poin bahwa Ahmadiyah memaknai kata “Khataman Nabiyyin” sebagai cincin, stempel, artinya Nabi Muhammad s.a.w perhiasan para nabi, nabi terindah, bukan penutup para Nabi, riwayat tentang Labinah yang menyatakan nabi adalah penutup para Nabi ditolak. Kyai kami, Kyai Ahsin menjelaskan dalam pendapat seperti ini termasuk Bahaiyyah lupa bahwa dalam Qiraat Sab’ah selain Ashim kata itu dibaca “Khatiman Nabiyyin” dengan Ta yang dikasrah dari pola Isim Fail yang tidak bisa diartikan lain kecuali dengan makna “penutup.” Bila mereka menolak hadits-hadits tentang hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penutup para Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka tidak pantas mereka menolak penjelasan dari Qiraat selain Hafsh, sebab semua Qiraat yang Mutawatir yang berjumlah 10 adalah Al-Qur’an dan itu termasuk tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.

Dalam penjelasan Ahmadiyah Lahore di Ahmadiyah.org menyatakan bahwa yang membaca “Khatiman Nabiyyin” hanya Warsy dan mayoritas membaca “Khataman Nabiyyin” karena itu bacaan Warsy tidak bisa jadi pegangan.

Di sini terjadi kekeliruan fatal, pertama bacaan Warsy tidak bisa dijadikan acuan adalah keliru besar karena Qiraat Warsy adalah mutawatir dan itu termasuk Al-Qur’an. Dan yang ke dua, justru yang membaca “Khataman Nabiyyin” hanya Syu’bah dan Hafsh dari Ashim, sedangkan selain keduanya Warsy, Qalun, Al-Bazzi, Qunbul, Khalaf, Khalad, Hisyam, Ibn Dzakwan, ad-Duri, as-Susi, Duri Kisa’i, dan Abul Haris membaca “Khatiman Nabiyyin” Kalau sebelumnya terjadi kekeliruan yang berimplikasi salah memaknai hukum, maka ini lebih fatal, karena kekeliruannya menyebabkan kekufuran.

Guru kami yang lain, Ustad Dr. M. Azizan, bercerita dan saya telah menelaah ceritanya di beberapa kitab, bahwa Qudaman bin Mazhun, ipar Umar bin Khatthab, paman dari Hafshah, ahli Badar, Muhajir Habsyah, duta Umar di Bahrain meminum khamr karena keliru dalam memahami ayat “laisa alaikum junahun fi thaimu idza mattaqau wa amanu…” (tidak ada dosa bagi kalian atas apa yang kalian makan jika kalian bertakwa dan beriman), karena itu Qudamah meminum khamr karena beliau meyakini keimanan beliau. Atas salah tafsir ini beliua dihukum dera dalam majlis Qadha yang dihadiri para sahabat. Kekeliruan terjadi karena ketidaktahuan tentang Asbab Nuzul Ayat yang merupakan salah satu instrumen tafsir lainnya seperti disebutkan as-Suyuthi dalam al-Itqan selain bahasa, qiraat, nasikh-mansukh, balaghah, dan lain-lain. Sebab ayat di atas turun atas pertanyaan tentang status para sahabat yang gugur di medan perang/wafat yang belum meninggalkan khamr karena belum turun ayat larangan khamr.

Masih menurut guru kami, Dr. Azizan, Ketidakmengertian tentang beberapa makna kata di kalangan sahabat bahkan terjadi pada Sang Turjuman Al-Qur’an, Abdullah bin Abbas r.a, dalam kata “Fathir” sampai beliau melihat dua anak berebut timba dalam sebuah sumur dan yang satu mengatakan “Ana Fathiruka” (Saya mendahuluimu) barulah saat itu beliau paham makna “Fathir,” ini wajar karena Al-Qur’an turun dengan varian kosa kata Arab yang beragam. Dan tentu sudah masyhur bagi kita kisah seorang sahabat yang meletakkan benang di bantal demi membedakan malam dan fajar. Kekeliruan memahami pernah terjadi di kalangan sahabat lalu bagaimana dengan kita yang hanya mengandalkan terjemah Al-Qur’an ? Padahal para sahabat adalah orang Arab, dan Al-Quran turun pada mereka, dalam bahasa mereka, dengan makna kata Arab saat itu yang belum mengalami perubahan.

Wajar kalau as-Suyuthi memberikan syarat yang ketat sekali untuk menjadi pembaca mandiri kitab suci, menjadi penafsir, karena itu hakikatnya kita bukanlah penafsir tetapi pembaca kitab tafsir, penikmat kitab tafsir dan itu pun masih membuka ruang terjadinya distorsi makna, karena itu perlulah guru. Banyak kita yang tidak sabar ingin terjun sendiri memamah kata-kata dalam Al-Qur’an lalu merenung-renungkannya. Kadang kita tidak sadar bahwa itu lahir dari perasaan “cukup berilmu” dan malas berletih-letih menghadiri majlis para guru. Ini adalah orang yang terperdaya dirinya sendiri, terperdaya bisikan syaithan dalam jiwanya. Semoga kita terlindungi dan terjaga dari tipuan Syaithan dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.