Korelasi Iman dan Bersikap Plin-plan

Bila ada orang yang suka tidak tetap pendiriannya, apakah kita akan menyenanginya? Atau bila ada yang suka bersikap seperti angin berhembus, yang sekali berhembus ke timur dia akan menjadi timur, tapi tatkala angin berhembus ke barat maka dia pun menjadi barat. Biasanya, sebagian dari mereka akan cukup menyulitkan yang lainnya. Baik itu seorang pria ataupun seorang wanita. Sama saja. Baik itu penjahat ataupun penjabat. Sikap seperti ini sering di sebut plin plan. Atau tidak tetap pendiriannya.

Ada banyak hal yang akhirnya menjadi berantakan hanya karena sikap ini menghinggap dalam diri anak Adam. Mulai dari urusan sepele sampai urusan yang mempertaruhkan agama. Iman dan keyakinan diri. Misalnya, hari ini Islam maka besok seperti non-Islam. Hari ini berjilbab besok buka. Hari ini ingin taubat besok malah tenggelam lagi dengan maksiat. Ini mungkin sudah terlihat jelas. Sebuah sikap yang cukup membahayakan diri sendiri dan orang sekitarnya.

Dalam hal sepele, ternyata sikap plin plan ini juga cukup memberikan efek yang tak kalah merusaknya. Misalkan saja bila Anda berjanji dengan seseorang, sedangkan orang tersebut akhirnya membatalkan janji dengan seseorang yang lain demi melunasi janji dengan Anda. Lalu entah angin apa yang meniup, dengan tiba-tiba Anda membatalkannya. Bagaimana perasaan orang tersebut? Bagaimana pula urusan yang sudah dibatalkan? Kilah yang paling mudah adalah kan bisa bikin janji ulang? Indahnya cara berbicara seperti itu. Seperti orang yang tak punya malu. Hei, bukankah yang tak punya malu adalah orang-orang yang tak beriman?

Bagaimana dengan waktu yang sudah terbuang sia-sia? Bagaimana pula tentang perihal yang lainnya. Pernahkah kita berpikir betapa bahayanya sikap tak punya pendirian ini. Betapa mengerikan sebuah sikap plin plan ini. Hal-hal kecil sering kali di permainkan secara tidak sengaja. Padahal bukankah isi neraka itu kebanyakan orang-orang yang suka melakukan kesalahan kecil? Dan bukankah isi syurga juga demikian.

Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, aku berkata: “Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ajarkanlah kepadaku dalam (agama) Islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara Islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain selain engkau,” (maka) Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ucapkanlah: “aku beriman kepada Allah”, kemudian beristiqomahlah dalam ucapan itu” (HR. Muslim, no. hadits: 38)

Ada yang menarik dari hadist ini. Rasulullah menyuruh kita beriman sekaligus beristiqamah. Seolah-olah, iman dan konsisten (kata lain dari istiqamah) adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Atau, dengan kata lain, bila ingin beriman maka harus konsisten. Tegas! Tidak ada tawar menawar. Tidak pula ada sebuah celah untuk tawar menawar. Apalagi sampai plin plan. Hari ini Islam besok tidak Islam. Hari ini menutup aurat besok di pamerkan keseluruh negeri. Hari ini baik maka bagaimana esok?

Tapi kan banyak orang yang sulit melakukannya? Bisa dimulai dari hal-hal yang mudah. Shalat wajib misalnya. Ini perihal wajib. Lakukanlah tanpa pernah membolongkannya seharipun. Bukankah ibadah itu yang paling penting adalah kontinueitas. Terus menerus dalam melakukannya. Bukan hari ini ada besok kosong. Hari ini tawadhu besok riya. Masih ingat kisah Bilal Bin Rabah? Yang terompahnya saja sudah terdengar disyurga hanya karena Ia selalu shalat Sunnah wudhu. Begitulah Allah memberikan tingkatan kepada mereka yang konsisten dan konsekuens.

Ada lagi yang mungkin akan mengatakan dengan kalimat sederhana akan tetapi menunjukkan keogahan diri dalam melakukannya. Lebih tepatnya tidak konsekuensi dengan apa yang telah di percayai. Ya Islam itu sendiri. Kan menunggu hidayah. Ternyata Allah sudah menjawabnya didalam Al Quran dengan penjelasan yang cukup mengena.

Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)” (QS. 3: 8).

Jadi sebenarnya hidayah itu sudah datang. Tinggal mau atau tidak mengiyakannya. Tawaran nikah itu juga sudah ada. Tinggal mau menerima atau tidak (lho, kok? Jadi masalah nikah?? ).

Jadi, amat besar korelasi antara sikap yang tidak jelas atau plin plan dengan kedudukan iman di hati. Iman itu tidak perlu besar bila dia bisa memberikan keteguhan yang luar biasa hebat. Yang bisa membuat diri yakin bahwa ada hal yang terbaik dalam setiap keputusan yang diridhai oleh Allah. Tak perlu iman yang besar untuk bisa bertobat kepada Allah saban harinya. Karena justru terkadang, dengan iman yang begitu tinggi kita merasa bebas dari dosa. Sehingga tak akan pernah ada lagi kata tobat dalam benak ini. Pahadal, rasulullah saja setiap harinya beristiqfar sampai seratus kali. Itu rasulullah!

Imam al-Qurtubi berkata, “Hati yang istiqamah adalah hati yang senantiasa lurus dalam ketaatan kepada Allah, baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan.” Lebih lanjut beliau mengatakan, “Hati yang istiqamah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan dari adzab akhirat. Hati yang istiqamah akan membuat seseorang dekat dengan kebaikan, rezekinya akan dilapangkan dan akan jauh dari hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati yang istiqamah, maka malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan keamanan serta ketenangan dari ketakutan terhadap adzab kubur. Hati yang istiqamah akan membuat amal diterima dan menghapus dosa.

Begitulah, kalimat yang ditebalkan menunjukkan bahwa, betapa sikap konsisten dan konsekuen dengan ucapan lisan, serta sikap membawa kita kepada kebaikan dunia akhirat. Disenangi oleh orang lain. Disayang Allah dan didoakan oleh malaikat. Mengapa? Karena tak ada sedikitpun kita merusak atau tidak menghargai orang lain walaupun dalam perihal sepele.

Wallahu`alam

 

Oleh: Yudi Randa, Banda Aceh
Facebook