Mahar Pernikahan Menurut Imam Asy Syafi’i

Imam Asy Syafi’i berkata:

Apabila dua orang musyrik menikah dengan mahar lalu suami telah dukhul (berhubungan seksual) dengan istrinya, kemudian hubungan pernikahan keduanya terputus, dan keduanya masuk Islam, maka mahar tetap menjadi milik si wanita jika ia telah menerimanya.

Bila belum diterima maka boleh baginya mengambil mahar tersebut dari mantan suaminya itu. Apabila keduanya saling mengingkari maka yang dijadikan pedoman adalah perkataan si wanita, sedangkan suami harus mengajukan bukti.

Jika mahar tersebut adalah sesuatu yang haram (seperti khamer atau yang serupa) dan si wanita belum menerima, maka ia berhak mendapatkan mahar (pengganti) sebesar yang biasa diterima oleh wanita yang sepertinya. Demikian juga bila ia menerima mahar setelah salah satu dari keduanya masuk Islam, tidak boleh bagi seorang Muslim memberi mahar berupa khamer.

Jika wanita itu telah menerima mahar saat keduanya masih musyrik, maka hal itu telah berlalu dan tidak ada baginya selain itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “…Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)” (QS Al Baqarah: 278)

Jika mahar tersebut terdiri dari beberapa liter khamer lalu setengahnya sudah diambil saat masih musyrik, mka si wanita berhak mengambil dari mantan suaminya yang SENILAI dengan setengah mahar.

Bila pasangan itu adalah Muslim, baik di negeri Muslim atau negeri kafir lalu salah satu dari keduanya murtad maka pendapat dalam masalah ini sama dengan pendapat suami istri penyembah berhala lalu salah satu dari keduanya masuk islam.

Imam Asy Syafi’i berkata:

Bila ditemukan pasangan suamu istri Muslim lalu satunya murtad, atau pasangan itu kafir lalu salah satunya masuk Islam, kmudian murtadin itu bisu sebelum Islam kembali, atau sebelum Islam lagi menjadi tidak waras hingga masa ‘iddah berakhir, maka terputuslah hubungan pernikahan diantara mereka.

Bila yang murtad mnjadi bisu tapi akalnya sehat dan istri telah dicampuri suaminya sebelum murtad, lalu ia memberi isyarat yang dapat dipahami bahwa ia telah kembali Islam serta mengerjakan sholat sebelum masa ‘iddah berakhir, maka pernikahan keduanya tetap sah.

Jika yang bisu itu suami, lalu sembuh dari kebisuannya dan berkata, “Isyaratku bukan berarti masuk Islam kembali, dan sholat yang kulakukan tanpa diiringi keimanan tapi karena maksud tertentu”, maka kami mengharuskan baginya membayar mahar lalu memisahkannya dari istrinya jika masa iddah telah habis. Bila masa iddah belum berakhir mka keduanya harus dipisahkan sambil menunggu masa iddah habis.

Bila suami mencampuri istrinya setelah murtad maka kami tetapkan baginya mahar yang lain sebagai imbalan hubungan yang dilakukan.

Imam Asy Syafi’i berkata:

Bila istri yang murtad mmberi isyarat yang dapat dipahami bahwa ia telah kmbali masuk Islam dan ia melakukan sholat, lalu ia disatukan dengan suaminya dan terjadi hubungan intim, kemudian wanita itu berkata, “Sesungguhnya isyaratku bukan berarti Islam dan demikian pula sholatku,” maka pengakuannya untuk memutuskan ikatan pernikahan itu tidak diterima.