Melaksanakan Shalat Zhuhur Berjamaah Setelah Shalat Jumat

Ada kasus pada masjid tertentu, setelah selesai shalat Jumat, langsung diadakan shalat zhuhur berjamaah. Alasannya, karena syak atau keraguan yang muncul takut shalat Jumat itu tidak sah, lantaran beberapa alasan :

Pertama, tidak jauh dari masjid itu terdapat masjid lain yang jaraknya cukup dekat. Padahal konon ada aturan bahwa bila ada dua masjid berdekatan yang sama-sama melaksanakan shalat Jumat, maka salah satunya tidak sah. Yang tidak sah adalah yang shalatnya belakangan.

Kedua, ragu kalau-kalau di antara jamaah yang ikut shalat itu bukan termasuk orang yang muqim. Sebagaimana di perkotaan dimana umumnya masjid-masjid dipenuhi jamaah saat shalat Jumat. Namun belum tentu orang-orang yang memenuhi masjid itu termasuk orang yang muqim di sekitar masjid.

Sementara dalam beberapa kitab fiqih di mazhab Asy Syafi’i, ada disebutkan bahwa di antara syarat shalat Jumat itu harus dilakukan oleh minimal 40 orang yang muqim. Bila jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka tidak sah shalat Jumat itu.

Demikian juga bila jumlah jamaahnya lebih dari 40 orang, tetapi banyak di antaranya bukan orang yang muqim, melainkan musafir, sehingga jumlah mereka yang muqim kurang dari 40 orang, maka shalat Jum”at seperti ini juga dianggap tidak sah. Sehingga dengan demikian muncul kemudian ide untuk melaksanakan shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat.

Ini merupakan beberapa masalah yang sering diajukan kepada penulis. Bahkan ada seorang ketua takmir masjid yang berterus terang kepada penulis, bahwa dirinya pada setiap pulang dari shalat Jumat di masjid, selalu melakukan shalat Dzhuhur lagi di rumahnya. Hal itu dilakukan karena alasan yang pertama di atas.

Untuk itu penulis perlu memberikan jawaban agar tidak menimbulkan masalah.

Pertama : Memang benar ada ketentuan bahwa di dalam satu wilayah tidak boleh diadakan  beberapa shalat Jumat yang berbeda. Hal itu mengingat tujuan shalat Jumat adalah menyatukan seluruh kaum muslimin di satu tempat, sesuai  dengan istilah Jumat yang bersalah dari berkumpul atau berhimpun.

Namun ketentuan ini tidak lantas menjadi sebuah syarat atau ketentuan yang bersifat kaku. Hal itu karena alasan yang sangat teknis di masa sekarang, apalagi di tengah perkotaan, dimana kebanyakan masjid-masjid yang ada tidak menampung jumlah jamaah yang membeludak. Sehingga dirasa perlu dibangun masjid lainnya agar dapat menampung jamaah.

Tentu saja akan lebih baik bila jamaah dapat tertampung di dalam masjid, dari pada shalat di jalan sehingga mengganggu lalu lintas jalan. Untuk tidak mengapa kalau dalam jarak yang tidak terlalu jauh juga didirikan masjid yang juga mengadakan shalat Jumat.

Bahkan ketika di padang Arafah pun, tiap tenda boleh melakukan khutbah Arafah sendiri-sendiri, padahal ada khutbah yang diselenggarakan oleh pemerintah Saudi Arabia.

Kedua, masalah kekhawatiran bahwa diantara jamaah shalat Jumat terdiri dari orang yang bukan muqim. Kita bisa menjawab bahwa istilah muqim itu adalah lawan kata dari musafir. Orang yang muqim adalah orang tidak dalam status musafir. Sehingga dalam hal ini, meski jamaah di masjid perkotaan itu memang tidak berumah di dekat masjid, bukan berarti statusnya adalah musafir.

Mereka tetap dianggap orang yang muqim, meski rumahnya jauh dari masjid.

Sebagai bukti bahwa mereka bukan musafir tapi orang yang statusnya muqim adalah bahwa mereka belum atau tidak boleh melakukan shalat jama’ dan qashr. Seandainya mereka bukan muqimin tapi termasuk musafir, seharusnya mereka boleh menjama’ dan mengqashar shalat, dan tidak perlu ikut shalat Jumat.

Tidak Boleh Ada 2 Jumatan pada Tempat yang Sama

Di dalam mazhab As-Syafi’i memang ada ketentuan bahwa tidak boleh ada 2 shalat Jumat di satu tempat yang sama atau berdekatan. Dalam beberapa literatur fiqih mazhab ini, memang ada ketentuan demikian.

Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tetap ada pengecualiannya. Pengecualiannya adalah bila di satu masjid sudah penuh dan tidak lagi menampung jamaah, maka dibolehkan dibuat lagi jamaah shalat Jumat di dekatnya. Dengan demikian, adanya dua masjid yang berdekatan yang keduanya sama-sama menyeleng-garakan shalat Jumat sangat dimungkinkan, selama masjid-masjid itu tidak mampu lagi menampung jamaah.

Maka tindakan seorang jamaah yang shalat Zhuhur setelah shalat Jumat dengan alasan berjaga-jaga kalau-kalau shalat Jumat itu tidak syah adalah sikap yang mengada-ada serta berlebihan dalam agama.

Padahal ketentuan-ketentuan seperti itu hanya ada dalam satu mazhab, sedangkan di mazhab lain tidak ada peraturan yang seketat itu. Seperti batasan minimal harus 40 orang jamaah atau tidak boleh ada dua Jumat berdekatan. Bukankah agama Islam ini adalah agama yang mudah? Kalau memang mudah, mengapa harus dibuat susah?

Sementara di sisi lain, kita sebagai umat Islam masih kebanjiran pe-er lain yang harus diprioritaskan. Ketimbang kita meributkan hal-hal yang hanya baru dalam dugaan, bukankah sebaiknya kita memikirkan hal-hal yang lebih nyata dan mendesak?[1]

_______________________________


[1] Seri Fiqih dan Kehidupan: Fiqih Shalat