Memaknai Pancasila dari Sejarahnya

Jika tanggal 1 Juni 2012 lalu diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, maka sedari lahirnya Pancasila sudah memiliki masalah yang sangat mendasar, yaitu terkait pemaknaan Pancasila yang berbeda-beda bahkan dari para Founding Fathers Indonesia sendiri.

Mungkin saja tidak ada sorang pun yang dapat dengan jernih menafsirkan atau bahkan memonopoli tafsiran Pancasila itu sendiri, termasuk para perumus Pancasila itu sendiri. Tapi bukan berarti kita dilarang untuk memaknai Pancasila seperti apa yang kita pahami dari para perumus Pancasila tersebut, maka tak apalah jika saya sedikit mengutip apa yang dikatakan oleh Mohamad Natsir tentang Pancasila.

Mohamad Natsir yakin tidak seorang perumus pun yang akan setuju dengan suatu perumusan tentang Pancasila yang berlawanan dengan ajaran agama Islam. Menurut Natsir, Pancasila di anut sebagai dasar rohani, akhlak, dan susila oleh bangsa Indonesia. Pancasila adalah sebuah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita laksanakan, dan terlaksana di dalam negara dan bangsa kita.

Jelas tergambar bahwa Natsir ingin tidak ada seseorang pun yang memperdebatkan bahwa Pancasila adalah bertentangan dengan Islam. Lebih khusus terkait sila pertama, Natsir menyampaikan bahwa makna Ketuhanan yang Maha Esa adalah menyampaikan kepada dunia bahwa seorang manusia tidak akan memulai kehidupannya menuju hal yang baik, jika ia belum mempersembahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kenyataannya penafsiran Natsir tentang Pancasila ini sedikit berbeda dengan salah seorang perumus Pancasila lainnya, misalnya Soekarno. Soekarno sendiri memaknai Pancasila sebagai pemersatu bangsa, dan Soekarno juga menyatakan bahwa Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang digali dari bumi Indonesia sendiri.

Pada dasarnya apa yang diinginkan Soekarno dari penafsirannya tentang Pancasila merupakan sebuah upaya yang luhur. Nampak jelas Soekarno ingin menyatukan bangsa Indonesia yang saat itu belum bersatu dengan payung besar bernama Pancasila. Namun nyatanya hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi Soekarno saat itu.

Menyoal hal tersebut Natsir tidak setuju dengan pendapat Soekarno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah merupakan pemersatu bangsa, padahal menurutnya kaum komunis tidak akan menyetujui sila Ketuhanan Yang Maha Esa, walaupun mereka menyokong Pancasila di dalam konstituante.

Terlepas dari kontradiksi penafsiran Pancasila tersebut, Natsir berpendapat bahwa Pancasila itu hanya akan berarti bila ia dikaitkan dengan isi suatu ideologi tertentu. Tetapi jika Pancasila itu sendiri berada kedudukan netral terhadap semua ideologi, maka Pancasila itu akan menjadi kosong dari isi.

Yang perlu diingat, Pancasila bukanlah sebuah bangunan pikiran yang bertabrakan lalu akur-akuran satu sama lain, Pancasila juga bukanlah sebuah gado-gado pemikiran. Maka, untuk memaknainya, Pancasila harus dikembalikan pada akar sejarah bangsa, bukan ditafsirkan berdasar pikiran luar semata.

Abdushshabur Rasyid Ridha
Staf Departemen Penulisan KSM EP UI
BlogFacebook Twitter