Membunuh Kepedulian

Malam itu, perasaan saya benar-benar campur aduk tak menentu, ego bertarung dengan nurani, antara keinginan untuk tetap duduk dan keinginan untuk menolong. Malam itu, saya berada dalam perjalanan kereta kelas ekonomi menuju kota Yogyakarta. Alhamdulillah, saya mendapatkan tempat duduk. Di dekat saya ada dua gadis kakak beradik seumuran 8 dan 9 tahun, bersama entah ibu atau kakak mereka. Yang jelas, mereka tidak mendapatkan tempat duduk alias berdiri.

Kereta berangkat dari Stasiun Tanah Abang dan mereka akan turun di Stasiun Cirebon. Sempat tebersit keinginan untuk menawarkan tempat duduk saya kepada mereka berdua, tetapi akhirnya urung setelah gadis yang lebih kecil berpindah agak menjauh dari saya. Sementara anak yang lebih besar duduk berselonjor di jalan yang membelah kursi sisi kanan dan kiri. Saya pun mulai berusaha memejamkan mata agar esok hari tidak terlalu kelelahan.

Sampai suatu ketika sang adik mendekat pada kakaknya, saya melihat sesuatu yang membuat hati saya terenyuh. Tangan kiri sang adik ternyata dibebat perban dan memakai gendongan. Saya tidak tahu apakah itu karena tangannya retak, patah atau apa. Yang jelas, melihat tangannya digendong seperti itu sudah membuat saya merasa terenyuh. Berada di tengah jalan semacam itu bisa berbahaya bagi tangannya yang cedera. Sebab, meskipun jalan sudah dipenuhi oleh para penumpang yang duduk, tetapi para pedagang masih saja berlalu lalang setiap beberapa menit sekali. Dan seringkali, dalam aktivitas berlalu lalang tersebut mereka menyenggol dan mengganggu para penumpang yang duduk di jalan di antara kursi sisi kanan dan kiri.

Sementara sang adik tertidur, sang kakak sesekali mengibaskan kertas koran yang ia pegang untuk mengusir gerah atau sekadar membenarkan letak kepala atau posisi tangan sang adik. Sebuah pemandangan yang sungguh mengharukan. Kemesraan kakak-adik yang membuat hati dan air mata saya semakin meleleh. Sang kakak akan berusaha menghalangi setiap kali ada pedagang yang lewat melangkahi mereka. Saya melihat kanan kiri dan berpikir mengapa tidak ada yang tergerak menawarkan kursinya. Apakah tidak ada yang kasihan melihat mereka berdua? Betapa inginnya saya menawarkan kursi saya, tetapi ternyata rasa ego saya lebih besar.

Setelah beberapa saat bertahan, saya pun memutuskan untuk menawarkan agar sang adik mau duduk di tempat saya. Namun, sepertinya adik itu sungkan menerima tawaran saya dan lebih memilih tidur dipangkuan sang kakak. Mungkin dia malu atau takut berada di dekat orang-orang yang tidak ia kenal.

Saya yakin bahwa tidak sedikit dari penumpang yang merasa iba melihat pemadangan itu, tetapi mengapa tidak satu pun yang menawarkan bantuan, sebuah pertanyaan masih mengganjal di benak saya. Saya juga sangat yakin bahwa tidak mungkin orang-orang di kereta itu berhati jahat, barangkali mereka hanya saling menunggu, atau semuanya berpikiran seperti saya, “Mengapa tidak ada yang menolong?”

Sebuah penelitian oleh Bibb Latane dan John Darley, yang dikemukakan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point, di mana mereka mengatur agar seorang mahasiswa di sebuah apartemen berpura-pura mengalami epilepsi, ditemukan bahwa apabila tetangga mahasiswa itu hanya satu orang dan orang itu tahu tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, maka peluang orang tersebut untuk menolong adalah 85%. Namun jika orang itu tahu bahwa ada empat tetangga lain yang menurutnya mendengar gejala serangan epilepsi, maka peluang untuk menolong menjadi 31%. Dalam eksperimen lain, orang yang melihat asap mengepul dari bawah pintu mempunyai peluang 75% untuk melaporkkan kejadian itu ketika ia hanya sendirian, tetapi peluangnya berkurang menjadi 38% ketika saksi mata tahu bahwa ada saksi mata lain yang melihat bersamanya.

Penelitian di atas mungkin memang menampakkan kecenderungan manusia untuk saling menunggu, tetapi itu bukan berarti menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan. Karena kita tahu bahwa adanya kecenderungan tidak membolehkan kita meninggalkan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Sebab jika demikian, kecenderungan manusia untuk lalai akan mendominasi seluruh aspek hidup kita. Karenanya, sebagai seorang Muslim tidaklah layak kiranya bagi kita untuk saling menunggu untuk menolong saudaranya.

Dr. Yusuf Qardhawi dalam Al-Iman Wal Hayah menceritakan sebuah kisah bahwa suatu ketika kaum muslimin sedang melawan kaum kafir dalam sebuah peperangan. Terbentang sebuah sungai di antara mereka. Panglima kaum muslimin memerintahkan pasukan untuk menyeberangi sungai. Namun tiba-tiba salah seorang berteriak, “Piringku, piringku!” Pasukan muslimin yang mendengarnya pun langsung menyelam dan mencari piring yang terjatuh itu. Banyak yang ikut menyelam mencari piring itu hingga akhirnya ditemukan.

Pasukan kafir yang berada di seberang sungai menyaksikan dengan terkagum-kagum. Dalam pikiran mereka, “Piring salah seorang dari mereka yang terjatuh saja mengundang reaksi sedemikian rupa. Bagaimana jika salah seorang dari mereka mati terbunuh?” Itulah yang tebersit di hati pasukan kaum kafir. Maka pasukan musuh pun menyerah sebelum berperang.

Kisah di atas menunjukkan jauhnya jarak antara apa yang seharusnya dilakukan dan kecenderungan yang biasa terjadi. Maka tidaklah layak bagi seorang Muslim untuk membunuh kepedulian terhadap saudaranya sesama Muslim, karena Rasul bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR  Muslim).

Malam itu, saya merasa sedih, sekaligus malu, karena baru di saat-saat terakhir saya tergerak untuk membangkitkan kepedulian yang sebelumnya hampir-hampir saya bunuh. Somoga Allah menguatkan hati dan amal kita agar lebih peduli terhadap sesama. Karena menjadi peduli adalah menjadi berarti. Padahal tiada hal yang lebih baik daripada memiliki hidup yang berarti. Khairunnas anfa’uhum linnas.

Wallahu a’lam bish-shawab