Menangis Untuk Siapa?

Malam tadi, saat kubereskan beberapa baju untuk barbeku, ternyata masih ada terselip bajunya. Baju masa kecilnya, sekira saat ia masih bayi berumur satu tahunan. Terhenyak, kugenggam dan kucium baju mungil itu. Ciuman yang dalam, dan lama. Wahai, pemilik baju itu telah mendahuluiku berpulang, lebih dari setahun lalu. Tapi, kenangan tentangnya seolah ada di setiap sudut rumah ini. Putri kecilku yang manis, putri kecilku yang sedang lucu-lucunya. Tiga setengah tahun bersama, lalu berpulang tiba-tiba, tanpa tanda yang mampu kucerna.

Tak terasa, air mataku pun menitik. Ah, apakah aku seorang ibu yang cengeng?

“Tidak! Aku seorang ibu yang tegar!,” berkali-kali kutanamkan dalam hatiku kalimat itu. Tapi, justru makin deras air mataku.

Tak mampu mengatasi rasa sedih yang tiba-tiba mengaduk kalbuku, aku terduduk dan meraih Qur’an. Semoga ini dapat mengibur hatiku. Pelan kubaca ayat-ayatNya, nyaris tanpa suara. Rabbi, leraikan dukaku, karena ayatMu adalah sebaik-baik obat buatku.

Selesai tilawah, sejenak aku berpikir. Astaghfirullah. Apa yang telah kulakukan tadi? Mengapa aku harus menagisi dia yang telah mendahului di surga? Bukankah dia yang masih kecil suci, justru sudah pasti masa depannya, dibandingkan jika dia tetap berada dalam asuhanku, yang belum tahu lagi akan seperti apa nanti? Bukankah seharusnya aku justru gembira dengan hal ini?

Tapi kenapa aku menangis? Lalu aku menagisi siapa? Aku menangisi apa? Mungkinkah justru aku menangisi diriku sendiri? Sedih karena tak dapat lagi bermain bersama dengannya. Sedih tak bisa lagi mendengar gelak tawanya. Sedih tak dapat menemaninya tidur di malam hari, dan merasakan jemarinya yang sibuk mencari lenganku di sela-sela tidurnya. Juga sedih tak dapat mendengar tangisan atau ucapan lucunya. Dengan masygul harus kujawab: ternyata aku menangisi diriku sendiri.

Lalu terlontar sedikit tanya dalam diri, bagaimana orang lain menyikapi meninggalnya orang-orang yang dikasihinya? Saat ayah atau ibu kita meninggal, misalnya, apakah kita menangis sedih karena sangat kuatir akan nasib mereka di akhirat? Ataukah kita menangis karena merasa sejak itu tak akan ada lagi tempat berbagi yang bernama ibu atau ayah? Rasa-rasanya, justru pertanyaan yang kedua yang akan mendapat jawaban anggukan.

Ya, kita ini terlalu mencintai diri kita sendiri. Hingga saat ada orang terkasih meninggal pun , maka yang terpikirkan tetap saja: bagaimana nasib kita nanti sepeninggalnya? Bagaimana jika kita menjadi kesepian karena pasangan hidup kita meninggal? Bagaimana jika syaikh A meninggal dan tak ada lagi tempat kita untuk bertanya tentang agama? Semuanya berputar-putar pada kita, kita dan kita, bukan mereka yang meninggal. Seperti itukah?

Aku tak tahu. Satu hal yang kutahu, kini tak seharusnya aku meneteskan air mata. Karena aku tahu pasti, putri kecilku, dengan jilbab indahnya, sedang menungguku di surgaNya, dalam dekapanNya yang hangat. Apakah aku layak menjumpainya, nanti? Semua berpulang kepadaku, apakah aku mampu menabung amal sholeh atau tidak, sehingga layak bertemu dengan putriku itu, berkumpul bersama dengan anggota keluarga yang lain.

Sungguh, meski aku merasa ‘memiliki’ empat anak, hakikatnya toh aku tak pernah benar-benar memiliki. Aku hanya dititipi, dan titipan itu kapan pun bisa saja diminta-Nya kembali. Tak harus ada tanda, tak harus ada persiapan dari aku, si peminjam ini. Hari lalu dipanggilNya kembali putri balitaku, esok hari entah siapa. Putraku yang lain, suamiku, atau aku sendiri. Semua rahasiaNya.

SENANDUNG PERINDU

Kutanya pada waktu
akankah ia terulang?
Ia menggeleng

 

Kutanya pada ruang dan raga
adakah yang kan serupa?
Mereka menggeleng

 

Kutanya pada rasa
apakah ia bisa kembali sama?
Ia pun menggeleng

 

Kutanya pada Pemilik mereka
Sang Pemilik menjawab:
Inilah hidup wahai hambaku
Mereka yg kau tanya
takkan terulang sekarang
Mereka itu
Kusimpan beserta rindumu
dan kan Kuhadirkan untukmu
pada hari di mana
rindumu dan rindunya dipertautkan

Nduk sholihah, tunggu ibu, ayah, dan kakak serta adikmu ya..