Mendengarkan (Sima’)

Di antara macam-macam tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah sima’ yang berarti mendengarkan. Sima’ merupakan mashdar seperti kata niyat. Allah telah memerintahkan sima’ ini di dalam Kitab-Nya, memuji para pelakunya dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapat kabar gembira. Firman-Nya, “Sekiranya mereka mengatakan, ‘Kami mendengar dan patuh, dengarlah dan perhatikanlah kami’, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat.” (An-Nisa’: 46).

“Maka sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yangmempunyai akal.”(Az-Zumar. 17-18).

Pendengaran yang diberikan Allah dan mereka yang bisa mendengar merupakan bukti bahwa mereka mengetahui pengabaran tentang dirimereka. Jika tidak, berarti mereka tidak mempunyai bukti itu. Firman-Nya,

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada diri mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar, dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling juga.” (Al-Anfal: 23).

Allah mengabarkan tentang musuh-musuh-Nya, bahwa mereka tidak mau menden gar dan menghalangi orang lain untuk mendengar, “Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Fushshilat: 26).

Sima’ merupakan utusan iman ke hati, penyeru dan pengajarnya.

Berapa banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, “Tidakkah kalian mendengar?”

Sima’ merupakan dasar akal dan asas iman untuk sesuatu yang dibangun di atasnya, juga merupakan penuntun, tangan kanan dan pendampingnya. Tapi yang lebih penting lagi adalah apa jenis yang didengarkan. Inilah yang menjadi pangkal perbedaan pendapat dan juga kesalahan di kalangan manusia.

Hakikat sima’ merupakan peringatan bagi hati tentang makna yang didengarkan. Penggeraknya adalah pencarian, penghindaran, cinta dan kebencian, yang merupakan pendorong bagi setiap orang hingga dia berada di tempat berpijaknya. Di antara mereka ada yang mendengar dengan naluri, hasrat jiwa dan nafsunya. Tentu saja yang demikian ini sejalan dengan pembawaannya. Di antara mereka ada yang mendengar beserta Allah dan tidak mau mendengar dengan selain Allah. Yang pasti, pembicaraan tentang sima’ harus dikaitkan dengan pujian dan celaan, yang berarti harus ada kejelasan tentang gambaran yang didengarkan, hakikat, sebab, pendorong, hasil dan tujuannya. Dengan uraian di bawah ini bisa dirinci masalah sima’ ini, dapat dibedakan mana yang berman-faat dan mana yang berbahaya, mana yang haq dan mana yang batil, mana yang terpuji dan mana yang tercela.

Apa (obyek) yang didengarkan bisa dibagi menjadi tiga macam:

1. Sima’ Yang Dicintai dan Diridhai Allah

Ini merupakan sima’ yang diperintahkan Allah di Kitab-Nya, yang pelakunya dipuji dan disanjung, yang berpaling darinya dicela dan dilaknat, bahkan mereka dianggap lebih sesat daripada binatang dan mereka menjadi penghuni neraka. Firman-Nya, “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya kami tidak termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10).

Sima’ merupakan dasar bangunan yang didirikan di atasnya. Ada tiga macam sima’: Sima’ pengetahuan dengan indera pendengaran, sima’ pemahaman dan akal, sima’ pemahaman, pemenuhan dan penerimaan.

Tiga macam ini disebutkan di dalam Al-Qur’an. Sima’ pengetahuan disebutkan dalam firman Allah yang mengisahkan para jin yang beriman, yang berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjub-kan,(yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami berimankepadanya.” (Al-Jinn: 1-2).

Ini merupakan sima’ pengetahuan yang membawa kepada iman dan pemenuhan. Sedangkan sima’ pemahaman adalah sima’yang dinafi-kan dariorang-orang yang berpaling dan lalai, sebagaimana firman Allah, “Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orangorang yang mati dapat mendengar dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar.” (Ar-Rum: 52).

Sedangkan sima’ penerimaan dan pemenuhan terdapat di dalam firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang berkata, “Kami mendengar dan kami taat”. Ini merupakan sima’ penerimaan dan pemenuhan yang menghasilkan ketaatan. Yang pasti, sima’ ini mencakup tiga macam sima’ ini, mereka tahu apa yang didengarkan, memahami dan memenuhinya.

Di antara gambaran sima’ penerimaan seperti firman Allah, “Sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka (orang-orang munafik).” (At-Taubah: 47).

Artinya mereka menerima apa pun yang dikatakan orang-orang munafik dan menelannya begitu saja. Ini merupakan satu pendapat yang paling benar dari dua pendapat tentang makna ayat ini. Tentang pendapat orang yang mengatakan, bahwa artinya mereka mempunyai mata-mata, maka ini adalah pendapat yang lemah. Allah hendak mengabarkan hikmah keterlibatan orang-orang munafik dalam pasukan perang, bahwa mereka hanya ingin menciptakan kekacauan dan kerusakan serta menyebarkan isu di tengah pasukan. Sementara dalam pasukan Muslimin ada orang-orang yang suka menerima perkataan orang-orang munafik itu. Istilah mata-mata seperti yang lazim digunakan tidak disebut dengan kata samma’ (orang yang amat suka mendengarkan), tapi disebut dengan kata jasus.

Maksud lebih jauh, bahwa sima’-nya orang-orang yang khusus dan suka mendekatkan diri kepada Allah ialah dengan mendengarkan Al- Qur’an dan menggunakan tiga istilah ini: Mengetahui, memahami dan memenuhi. Allah memuji orang yang mendengarkan Al-Qur’an dan memerintahkan para wali-Nya untuk melakukannya, yaitu mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan bukan bait-bait syair, mendengarkan Al-Qur’an dan bukan lagu-lagu, mendengarkan kalam Allah yang menguasai langit dan bumi, bukan kasidah-kasidah para penyair, mendengarkan para nabi dan rasul, bukan para penyanyi.

Inilah Sima’ pendorong hati agar menuju sisi Allah, penggerak yang membangkitkan tekad agar mendapatkan derajat yang paling tinggi, penyeru kepada iman, penunjuk jalan yang menuntun ke surga, yang menyeru hati setiap pagi dan petang dengan alunan Hayya alal-falah.

2. Sima’ Yang Dibenci dan Dimurkai Allah

Yaitu mendengarkan segala sesuatu yang mendatangkan mudharat terhadap hamba, hati dan agamanya, seperti mendengarkan semua jenis kebatilan, kecuali jika ada maksud untuk menghambat, membatilkan dan melarangnya atau untuk tujuan kebalikan dari kebatilan itu. Sebab sesuatu akan tampak kebaikannya dengan kebalikannya, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair,

“Cinta ini semakin mekar karena mendengar kata-katamu justru pada saat aku mendengar perkataan selain dirimu.”

Contohnya adalah orang yang mendengarkan perkataan yang tidak bermanfaat, lalu dia menyuruh orang-orang untuk mendengarkannya dan berpaling darinya, sebagaimana dia juga berpaling darinya. Firman Allah,

“Dan, apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya.” (Al-Qashash: 55).

Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata, “Maksud perkataan yang tidak bermanfaat di dalam ayat ini adalah nyanyian.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air yang dapat menumbuhkan bawang.”

Ini merupakan pernyataan tentang dampak negatif nyanyian yang bisa dirasakan secara langsung. Selagi seseorang terbiasa mendengarkan nyanyian, maka di dalam hatinya tumbuh kemunafikan, sementara dia tidak menyadarinya. Andaikan dia tahu hakikat kemunafikan, tentu dia akan mengetahuinya di dalam hatinya. Di dalam hati seseorang tidak akan tumbuh cinta kepada Al-Qur’an dan cinta kepada nyanyian. Yang satu tentu akan menyisihkan yang lain. Kita bisa melihat bagaimana beratnya Al-Qur’an ini bagi orang-orang yang suka terhadap nyanyian, terlebih lagi bagi penyanyinya, bagaimana mereka merasa tersiksa jika ada bacaan Al- Qur’an yang terlalu lama atau hati mereka yang sama sekali tidak bisa memetik manfaat dari bacaan Al-Qur’an. Minimal hatinya tidak tersentuh dan tidak tergerak. Maka bagaimana mungkin hati mereka menjadi tentram,menangis dan menggigil jika mereka lebih suka berjaga di waktu malam untuk mendengarkan nyanyian dan mengumbar angan-angan? Kalaupun hal ini bukan merupakan kemunafikan, maka ini merupakan cikal bakal kemunafikan.

Bagaimana mungkin sesuatu yang didengarkan seorang hamba, sesuai dengan tabiat dan hawa nafsunya, dikatakan lebih bermanfaat dari apa yang didengarnya karena Allah dan berasal dari Allah? Tentu saja ini merupakan upaya pemutarbalikan fakta. Oleh karena itu kami katakanbahwa pembahasan tentang masalah ini tidak bisa netral dan obyektif kecuali dengan mengetahui gambaran apa yang didengarkan, hakikat, sebab dan tingkatannya. Allah telah menjadikan balasan untuk setiap sesuatu. Sekali-kali Allah tidak menjadikan bagian untuk orang yang mendengarkan ayat-ayat-Nya, sama dengan bagian orang yang biasa mendengarkan nyanyian dan lagu.

Yang paling menggelikan, alasan yang dipergunakan orang-orang yang menghalalkan nyanyian ini, karena mendengarkan nyanyian sudah menjadi kebiasaan manusia, mereka bisa menikmatinya, jiwa merasa tenang, anak-anak juga merasa nyaman karena mendengarkan suara yang mengalun lembut, sehingga bisa menghilangkan rasa penat di badan saat mengadakan perjalanan jauh umpamanya. Suara merdu dan yang mengalun lembut ini pun merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada pemiliknya dan menambah keagungan dalam ciptaan-Nya. Sementara Allah mencela suara yang bising seperti suara keledai. Suara yang merdu inipun merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para penghuni surga.

Maka bagaimana mungkin nyanyian yang merdu ini diharamkan, sementara ini juga merupakan nikmat di dalam surga? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pun terpesona mendengar suara Abu Musa Al- Asy’ary yang sedang membaca Al-Qur’an dan memujinya, seraya bersabda, “Orang ini telah dianugerahi kemerduan di antara kemerduan keluarga Daud.”

Lalu Abu Musa menimpali, “Andaikata aku tahu engkau sedang menyimak, tentu aku akan lebih membaguskannya lagi.”

Beliau juga bersabda, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.”

“Bukan termasuk golongan kami yang tidak pernah melagukan Al Qur’an.”

Makna yang benar tentang hadits ini, bahwa melagukan di sini adalah membaguskan suara. Maka Al-Imam Ahmad menafsirinya dengan berkata, “Membaguskan suara menurut kesanggupannya.”

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memperkenankan bagi Aisyah untuk memanggil dua penyanyi dari budak perempuan pada hari raya ‘ld. Beliau berkata kepada Abu Bakar, “Biarkan saja mereka berdua. Karena setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan sekarang inilah hari raya para pemeluk Islam.”

Beliau juga pernah mengizinkan nyanyian dalam jamuan pengantin dan menyebutnya al-lahwu. Beliau pernah mendengar nyanyian dan mengizinkannya. Beliau pernah mendengar Anas dan shahabat lainnya yang melantunkan syair saat menggali parit sebelum perang Ahzab, “Kepada Muhammad kami menyatakan sumpah setia untuk berjihadselagi kami masih ada di dunia.”

Sewaktu pulang dari perang Khaibar, ada seseorang yang melantunkan syair di dekat beliau,

“Demi Allah,

kalau bukan karena-Nya kami tak mendapat petunjuk

kami tidak shalat dan tidak pula berinfak

turunkanlah ketenangan kepada kami

di medan perang kokohkan pijakan kaki

orang-orang yang akan melakukan penindasan

tak kan berhasil jika menimpakan cobaan

kami berteriak lantang saat datang

karena itu mereka lari tunggang langgang

hanya karunia-Mu yang kami harapkan.”

Beliau pernah berdoa bagi Hassan, agar Allah menguatkannya dengan Ruhul-Qudus dan meniupkan kepadanya, karena beliau sangat kagum terhadap syair-syairnya.

Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far dan penduduk Madinah menetapkan keringanan hukum untuk nyanyian ini, dan masih banyak orang-orang lain yang pernah menghadiri dan mendengarkan nyanyian. Maka barangsiapa mengharamkan nyanyian, berarti dia telah melecehkan orangorang yang tehormat ini.

Pendengaran bisa mendorong jiwa dan hati pendengarnya kepada sesuatu yang dicintainya. Jika yang dicintainya itu haram, maka pendengarannyamerupakan penolong kepada sesuatu yang haram. Namun jika yang dicintainya mubah, maka pendengaran itu hukumnya juga mubah. Jika kecintaannya itu untuk menggugah rasa kasih sayang, maka itu merupakan taqarrub dan ketaatan, karena hal itu menggerakkan rasa kasih sayang dan cinta.

Kenikmatan telinga mendengarkan suara yang merdu sama dengan kenikmatan mata melihat pemandangan yang indah, kenikmatan  mulut merasakan makanan yang lezat, kenikmatan hidung mencium aroma yang harum dan sedap. Jika nyanyian ini haram, maka semua bentuk kenikmatan ini pun juga haram.

Jawaban dari alasan yang mereka pergunakan, dapat dikatakan sebagai berikut: Bahwa alasan ini merupakan upaya menyimpangkan tujuan, mengalihkan masalah dari inti perselisihan dan bergantung kepada sesuatu yang tidak ada kaitannya.

Keberadaan sesuatu yang bisa dinikmati indera dan sesuai dengannya, tidak menunjukkan pembolehan dan pengharaman, kemakruhan dan anjurannya. Kenikmatan mendengarkan nyanyian ini harus dikait-kan secara tepat kepada lima dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunat dan mubah. Maka bagaimanakah orang yang mengetahui syarat-syarat dalil dan penempatannya, melandaskan kenikmatan kepada dasar hukum ini?

Bukankah alasan ini sama dengan orang yang membolehkan perzinaan karena alasan kenikmatan? Karena siapa pun yang mempunyai naluri yang normal tidak akan mengingkari kenikmatan hubungan seksual. Apakah sekian banyak hal-hal yang haram dihalalkan karena yang haram itu nikmat dan menyenangkan? Bukankah suara-suara alat musik yang pengharamannya telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para ulama pun sudah menyepakati pengharamannya, termasuk kenikmatan yang dirasakan pendengaran?

Apakah anak-anak yang menikmati suara merdu dapat dijadikan dalil atas suatu ketetapan hukum, halal atau haram?

Yang lebih aneh lagi tentang alasan pembolehan nyanyian ini, bahwa Allahlah yang menciptakan suara yang merdu, yang berarti merupakan tambahan nikmat bagi pemiliknya. Rupa yang cantik menawan juga merupakan tambahan nikmat, dan Allahlah yang menciptakannya dan memberikannya. Apakah dengan begini boleh menikmati rupa yang cantik tanpa ada batasannya? Bukankah yang demikian ini merupakan pendapat para penganut paham permisivisme yang biasa mengikuti tuntutan naluri dan birahi? Apakah karena Allah mencela suara keledai bisa dijadikan dalil pembolehan musik, nyanyian dan lagu?

Yang lebih aneh lagi ialah penggunaan dalil pembolehan mendengarkan nyanyian, karena para penghuni surga juga menikmatinya di surga. Mungkin yang lebih tepat lagi ialah membolehkan minum khamr, karena para penghuni surga juga menikmatinya di surga, membolehkan kain sutera karena para penghuni surga juga mengenakannya di surga.

Jika mereka mengatakan, “Sudah ada dalil yang mengharamkan khamr dan kain sutera bagi kaum laki-laki. Sementara itu, tidak ada dalil tentang pengharaman mendengarkan.” Maka dapat dijawab sebagai berikut: Penggunaan dalil ini lain dengan dalil yang digunakan tentang pembolehannya bagi penghuni surga. Dengan begitu jelas sudah bahwa dalil yang kalian gunakan tentang pembolehan nyanyian bagi penghuni surga merupakan tindakan yang salah dan batil, tidak bisa diterima. Tentang tidak adanya dalil pengharaman mendengarkan seperti anggapan kalian, maka perlu ditanyakan, pendengaran macam apa ini? Apa yang didengarkan? Harus ada pengaitan terhadap salah satu dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunat dan mubah. Tunjuk salah satu di antaranya agar ada kejelasan ketetapan dan penafiannya. Jika mendengarkan syair, perlu ditanyakan, syair macam apa? Jika isinya berupa pujian kepada Allah,Rasul, agama dan kitab-Nya, maka orang-orang Muslim biasa mendengarkan dan bahkan mempelajarinya. Itu pula yang didengarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, diakui dan dianjurkannya. Dari sinilah banyak orang yang terkecoh, terutama mereka yang biasa mendengarkan suara-suara yang dikemas syetan. Mereka berkata, “Itu adalah bait-bait syair, dan yang kami dengarkan juga bait-bait syair. Jadi sudah klop.”

Sunnah adalah perkataan, bid’ah juga perkataan. Tasbih adalah perkataan, ghibah juga perkataan. Doa adalah perkataan, tuduhan juga perkataan. Apakah di antara dua perkara yang berlawanan ini juga dikatakan sama? Apakah yang didengarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat juga sama dengan apa yang kalian dengarkan, yang berupa suara-suara berbau syetan?

Hal ini tidak jauh berbeda dengan sikap mereka yang menganggap baik suara bacaan Al-Qur’an, anjuran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kecintaan Allah kepadanya, sebagaimana mereka menganggap baik suara wanita dan penyanyi, yang diiringi alunan alat-alat musik, yang isi nyanyian itu menggambarkan cinta kasih, orang yang mabuk kepayang dilanda cinta, menggambarkan bibir wanita yang merekah, pipi yang ranum, tubuh yang indah semampai, perpisahan dengan kekasih tercinta, keresahan, kegundahan hati dan lain sebagainya, yang jauh le-bih merusak hati daripada meminum khamr. Apalah artinya kerusakan selama satu hari karena minum khamr jika dibandingkan dengan keseronokan dalam nyanyian itu yang berpengaruh sepanjang waktu dan pendengarnya bisa menjadi tawanannya?

Sungguh aneh sekali jika kalian melandaskan dalil tentang pembolehan mendengarkan nyanyian yang sudah menjadi kebiasaan semua orang, dengan nyanyian dua gadis kecil yang belum baligh pada hari raya semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang melantunkan baitbait syair bangsa Arab yang menggambarkan patriotisme di medan peperangan dan akhlak yang mulia. Lalu di mana letak kesesuaiannya? Yang lebih aneh lagi, inilah alasan yang paling kalian andalkan untuk membolehkan nyanyian. Abu Bakar Ash-Shbiddiq menyebut nyanyian sebagai seruling syetan, dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ikut menegaskan sebutan ini. Lalu beliau membuat keringanan hukum untuk dua gadis kecil yang belum baligh yang sama sekali tidak mendatangkan mudharat jika keduanya melantunkannya atau orang lain mendengarkannya. Apakah hal ini menunjukkan pembolehan apa yang kalian lakukan, yang mendengarkan nyanyian-nyanyian yang isinya tidak perlu dijelaskan lagi?

Tanggapan tentang alasan-alasan lain yang mereka pergunakan tidak jauh berbeda dengan tanggapan ini.

Untuk menuntaskan perselisihan pendapat tentang hukum masalah ini, harus ada rincian tiga kaidah, dan ini merupakan kaidah iman dan perilaku yang paling penting. Siapa yang tidak berdiri pada tiga kaidah ini, maka bangunannya seperti bangunan di pinggir jurang. Tiga kaidah ini adalah:

1. Apakah perasaan, kata hati dan keadaan merupakan penentu hukum atau yang diberi ketentuan hukum, yang berarti harus ada penentu hukum yang lain baginya?

Di sinilah sumber kesesatan orang-orang yang rusak ketika mereka hendak mengikuti jalan orang-orang yang benar. Pasalnya, mereka menjadikan perasaan ini sebagai penentu hukum untuk sesuatu yang dianjurkan atau yang dilarang, yang benar atau yang rusak. Mereka menjadikan perasaan sebagai pemilah kebenaran dan kebatilan. Sehingga tidak heran jika permasalahannya menjadi berlarut-larut, kerusakan dan kejahatan ada di mana-mana, sendi-sendi iman dan perilaku tercabut, jalan menjadi sesat, manusia menyembah Allah hanya dengan dibungkus perasaan dan akhirnya mereka menyembah diri mereka sendiri.

Kerusakan ada di mana-mana karena manusia menjadikan perasaan sebagai penentu hukum. Karena perasaan itu berbeda-beda dan amat banyak warnanya. Setiap orang dan setiap golongan mempunyai perasaan dan keadaan sendiri-sendiri, selaras dengan keyakinan dan peri-lakunya.

2. Jika ada perselisihan dalam hukum suatu perbuatan, keadaan atau perasaan, apakah hal itu benar atau salah, haq atau batil, maka per masalahannya harus dikembalikan kepada hujjah yang bisa diterima di sisi Allah dan hamba-hamba-Nya yang Mukmin. Hujjah ini merupakan wahyu yang menjadi sumber pengambilan hukum untuk setiap keadaan dan menjadi timbangannya. Siapa yang tidak melandaskan ilmu, perilaku dan perbuatannya ke dasar ini, maka dia tidak mempu nyai urusan sedikit pun dengan agama, yang berarti dia tertipu dan terkecoh. Firman Allah,

“Dan, orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila air itu didatangi, dia tidak mendatapi sesuatu apa pun dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur: 39).

3. Jika hukum sesuatu dianggap rumit atau samar-samar, apakah boleh atau haram, maka hendaklah dia melihat sisi kerusakan, hasil dan akibatnya.

Jika akibatnya jelas mendatangkan kerusakan, maka mustahil pembawa syariat memerintahkannya dan membolehkannya. Terlebih lagi jika hal itu merupakan jalan yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkan dari-Nya. Tidak diragukan bahwa yang semacam ini diharamkan. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu mengharamkan barang yang memabukkan, sedikit apa pun, karena yang sedikit ini bisa menyeret kepada yang banyak, lalu Dia menghalalkan yang lebih besar akibatnya bagi jiwa, yang bisa menyeret kepada perbuatan-perbuatan dosa lainnya?

Jika kalian tidak mempunyai kesempatan untuk menyerahkan ketetapan hukum kepada perasaan, maka kami akan menghukumi kalian dengan perasaan yang tidak bisa kita ingkari. Marilah kita simak berikut ini.

Hati mempunyai dua keadaan: Keadaan sedih dan berduka saat kehilangan, keadaan gembira dan suka saat mendapatkan apa yang disu-kai. Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai ubudiyah. Dalam keadaan yang pertama (sedih), maka ubudiyahnya adalah ridha dan sa-bar. Dalam keadaan yang kedua (gembira), maka ubudiyahnya adalah syukur. Dua ubudiyah ini dirintangi nafsu dan syetan, dengan dua jenis suara yang menunjukkan kebodohan dan keburukan, yang keduanya diperuntukkan bagi syetan dan bukan bagi Allah, yaitu:

Suara ratapan saat sedih dan kehilangan sesuatu atau orang yang dicintai, suara yang tidak bermanfaat, musik dan nyanyian saat gembira dan mendapatkan sesuatu yang dicintai. Syetan mengganti dua macam ubudiyah dengan dua suara ini. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan secara langsung dua makna ini dalam hadits dari Anas Radhiyallahu Anhu, beliau bersabda,

“Aku hanya melarang dua jenis suara yang bodoh dan buruk: Suara kutukan saat mendapat musibah dan suara musik saat mendapat nikmat.”

Siapa yang lebih sedikit mendapatkan cahaya Nabawy tentu akan mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dari nyanyian itu, atau bahkan dia menjadikan nyanyian itu sebagai sesembahannya. Akibatnya, hatinya menjadi keras saat mendengar nasihat orang yang mengingkari-nya, tabiatnya menjadi kaku, jiwanya terasa berat.

Untuk mengobati hati orang yang keadaannya semacam ini, maka secara bertahap dia dapat beralih dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang dibaca dengan alunan lagu dan suara yang merdu, disertai pemahaman makna-maknanya dan mendalami seruan-seruannya. Hal ini bisa dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap, sampai akhirnya dia bisa meninggalkan kebiasaan lamanya yang suka mendengarkan lagulagu.

Mengganti ratapan dengan sabar dan nyanyian dengan syukur merupakan masalah yang sangat penting dalam agama. Siapa yang menolak hal ini adalah orang yang jauh dari iman dan ilmu. Sebab syukur merupakan kesibukan dalam ketaatan kepada Allah, bukan dengan suara-suara yang menggambarkan kebodohan dan keburukan, yang hanya diperuntukkan bagi syetan. Begitu pula ratapan yang kebalikan dari sabar. Maka dari itu Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu pernah menempeleng seorang wanita yang meratap tangis hingga kelihatan rambutnya, seraya berkata, “Wanita ini tidak mempunyai kehormatan diri, karena dia menyuruh kepada kegelisahan, padahal Allah melarangnya. Dia melarang sabar, padahal Allah memerintahkannya. Dia mendatangkan cobaan bagi orang yang hidup dan menyakiti orang yang meninggal. Dia menjual peringatannya dan menggugah kesedihan selainnya.”

Semua orang sudah tahu bahwa mudharat nyanyian dan lagu lebih besar daripada mudharat ratapan. Pengalaman menunjukkan bahwa di tempat yang banyak diisi dengan lagu dan nyanyian, tentu banyak terda-pat musuh-musuh Allah dan syetan, kejahatan dan keburukan. Orang yang berakal tentunya bisa melihat gambaran hal ini atau keadaan di

sekitarnya.

Pengarang Manazilus-Sa’irin menjelaskan, bahwa sima’ itu ada tiga derajat:

1. Sima‘-nya orang-orang awam, yang meliputi tiga hal: Mengikuti pemenuhan celaan terhadap peringatan, mengusahakan pemenuhan seruan janji, dan memperhatikan pencapaian kesaksian karunia. Peringatan di sini bisa berarti meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang. Mengikuti ini merupakan ketaatan kepada Allah, karena Allahlah yang memerintah, melarang dan menjanjikan. Mengerjakan apa yang diperintahkan didasarkan pada cahaya iman dan mengharap pahala. Meninggalkan apa yang dilarang pun juga didasarkan kepada cahaya iman, karena takut siksaan. Mengusahakan pemenuhan janji maksudnya melakukan perintah karena mengharapkan apa yang dijanjikan, dengan berusaha semampu mungkin.

Sedangkan maksud memperhatikan pencapaian kesaksian karunia ialah memperhatikan bahwa semua kebaikan yang diperoleh merupakan karunia dari Allah, padahal belum tentu dia berhak mendapatkan karunia itu. Firman Allah,

“Mereka merasa telah memberikan nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, sebenarnya Allahlah yang melimpahkannikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar’.” (Al-Hujurat: 17).

Begitu pula keduniaan yang tidak didapatkannya atau musibah yang menimpanya, maka semua itu dari Allah, yang harus diterima dengan nalar yang sehat. Di antara orang salaf berkata, “Wahai anak Adam, kamu tidak tahu mana di antara dua nikmat yang paling baik bagimu: Nikmat Allah yang diberikan kepadamu ataukah nikmat-Nya yang disingkirkan darimu.”

Umar bin Al-Khaththab berkata, “Aku tidak peduli apa yang terjadi pada diriku di waktu pagi atau petang hari. Jika ada kekayaan, maka itu perlu disyukuri, dan jika ada kemiskinan, maka harus sabar.”

2 Sima’-nya orang-orang khusus, yang meliputi tiga hal: Mempersaksikan maksud dalam setiap simbol, memperhatikan tujuan di setiap waktu, dan tidak membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan. Mempersaksikan maksud dalam setiap simbol artinya mempersaksikan keberadaan Allah dalam segala sesuatu, karena semua yang bisa didengar memperkenalkan Allah, sifat, asma’, janji, ancaman, perbuatan, hukum, perintah, larangan, keadilan dan karunia-Nya.

Memperhatikan tujuan di setiap waktu artinya mencari dan mengadakan perjalanan agar dengan apa yang didengarkan dapat menghantarkan ke tujuan, yaitu Allah. Sedangkan tidak membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan artinya memisahkan diri dari makna-makna yang didengar, karena dengan mengalihkan hati darinya bisa mendatangkan kenikmatan.

3. Si ma ‘-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah sima’yang menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan, menghantarkan keabadian ke keazalian dan mengembalikan kesudahan ke permulaan.

Maksud menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan ialah penyingkapan hakikat apa yang didengarkan, sehingga tidak ada lagi syubhat dan tidak ada penghalang antara orang yang mendengar dan apa yang didengar.

Sedangkan yang kedua dan ketiga, jika dipahami menurut zhahirnya termasuk sesuatu yang mustahil.