Mengintip Masa Lalu Buya Hamka

Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara.

Ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan bagi orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau sampai Darjah Dua (tingkatan kelas –red). Memasuki usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di sana Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga mengikuti kajian agama di surau dan masjid.

Hamka mulai mengabdi sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. Kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau diangkat menjadi Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat mempelajari karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al Aqqad, Mustafa al Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam Muhammadiyah. Beliau mulai aktif di Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang.

Tahun 1928, menjadi ketua cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Satu tahun berikutnya, Hamka mendirikan pusat pelatihan dakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Tak berselang lama, beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Pada tahun 1945, beliau ikut berjihad menentang kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, beliau dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.

Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pembicara utama dalam Pilihan Raya Umum (sekarang pemilu –red) pada tahun 1955. Masyumi kemudiannya dibekukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.

Tahun 1964 sampai 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Selama di penjara itulah beliau menulis Tafsir al Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.

Keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920, Hamka menjadi wartawan di beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah Al Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga melahirkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al Azhar (5 jilid) dan beberapa novelnya yang berhasil mencuri perhatian banyak orang dan menjadi buku teks sastra di Malaysia juga Singapura, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah di tingkat nasional dan internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam usahanya menyampaikan syiar Islam. Tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh, ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, namun mencakup sebagian besar wilayah Asia Tenggara, termasuk juga dikenal sebagai ulama yang disegani di negara-negara Arab.