Menguji Keikhlasan Kita dalam Berda’wah

Bangsa ini kian hari kian menunjukkan kondisi yang tidak ideal. Peristiwa kriminal terus terjadi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Korupsi dilakukan oleh orang-orang mulai dari pegawai tingkat rendahan sampai para pejabat negara. Kasus cabul dan pornografi adalah biasa.

Islam yang ajarannya mulia diacak-acak menjadi liberal dan hambar seperti bukan Islam lagi, atau sebaliknya, menjadi radikal dan malah merusak citra islam itu sendiri. Bencana semakin kerap terjadi, seperti  Allah hendak memberi peringatan keras, atau bahkan adzab atas sesuatu yang harus segera kita sadari.

Bukankah jumlah da’i akhir-akhir ini makin banyak? Bukankah jumlah ustadz, ulama, kyai, muballigh, hafidz qur’an, makin melimpah? Artinya, dengan demikian melimpahnya juru da’wah, bukankah seharusnya ummat ini makin baik dan akhlak bangsa makin terpuji?

Bukankah kini dakwah sudah dilakukan di mana-mana: di TV, radio, internet, koran, majalah, ribuan judul buku, bahkan panggung politik? Bukankah metode dakwah kian bervariasi untuk mengembangkan ‘titik sentuh’ yang makin beragam: tabligh akbar, taklim rutin, halaqah, dakwah lewat nasyid, artikel ilmiah, training kecerdasan spiritual, pelatihan salat khusyu’, dzikir berjamaah, bahkan sms dakwah?

Bukankah lembaga islami kini makin banyak didirikan: dari TK islam sampai universitas/institute/sekolah tinggi islam, pesantren/ma’had, lembaga keuangan syariah, sampai partai islam?

Mengpa semua personel dan sarana untuk memperbaiki akhlak bangsa itu seolah tidak [belum] mempan melawan arus keterpurukan yang makin deras?

Jangan-jangan, itu disebabkan oleh banyaknya juru dakwah yang TIDAK IKHLAS menjalankan misinya. Mungkin sekarang ini jumlah da’i memang banyak daripada jaman dulu, tetapi mereka yang benar-benar ikhlas berdakwah lebih sedikit dibandingkan jaman dulu.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,  dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Ikhlas adalah memurnikan ketaatan kita kepada Allah, semata mengharap Ridha dari-Nya. Amalan ikhlas berarti amalan yang kita lakukan tanpa pamrih, tanpa maksud mencari keuntungan pribadi atau golongan, tanpa tendensi dan maksud tersembunyi. Ikhlas dalam beramal berarti tidak menuntut imbalan, kecuali  hanya berharap Allah memberikan balasan terbaik dari apa yang kita lakukan.

Ikhlas berdakwah berarti tidak menghitung-hitung hasil dakwah kita dengan segala bentuk imbalan duniawi: materi, pengaruh, nama besar, popularitas, dukungan massa, dan sebagainya. Dari dakwah yang ikhlas, kita hanya boleh berharap Allah melimpahkan hidayah kepada ummat yang kita dakwahi, melalui ikhtiar optimal yang kita lakukan. Kita hanya boleh berharap mereka yang kita dakwahi menjadi orang-orang berkepribadian islami, dan turut bersama-sama memperjuangkan kalimat Allah.

Kini, kata ‘ikhlas’ yang sesungguhnya mulia itu telah banyak ditawar oleh segolongan manusia dengan ‘tapi’. Kita merasa sedih mendengar demikian banyak da’i mengedepankan ketidakikhlasan dengan menyebutnya ‘cerdas’. Jadi, dakwah ‘tidak ikhlas’ dipermanis peristilahannya dengan kata ‘dakwah cerdas’ atau ‘dakwah efektif’.

Kita prihatin melihat begitu marak juru dakwah tampil di media dengan mengedepankan performa lahiriah: semata berbekal penampilan fisik dan unik yang ‘menjual’. Seperti halnya saya, mungkin Anda pernah ditolak ketika meminta beberap orang da’i untuk berceramah di masjid pelosok, hanya karena da’i itu sudah berbeda ‘level’ keda’iannya (dan tentu juga fee-nya).

Kita prihatin melihat pendakwah yang disegani hanya karena senioritas di komunitasnya, bukan kebenaran kalimat yang disampaikan olehnya. Sementara itu ummat yang terlanjur percaya tidak meneliti sang da’i mendapat ilmu dari mana dan kapan ia mendapatkannya.

Kita tidak asing lagi mendengar alasan ‘demi profesionalitas’ dan ‘untuk tampil maksimal’, seorang da’i tidak mau tampil di tempat yang jauh kalau tidak dengan tiket pesawat VIP dan menginap di hotel berbintang. Itu belum ditambah dengan sejumlah uang fee yang katanya bukan untuk dirinya, melainkan untuk ‘kas manajemen’ atau yayasan yang dikembangkannya.  Kita perlu mengingatkan saudara-saudara dai, (barangkali ada di antara mereka) yang berdakwah di suatu tempat untuk mendulang suara politik. Kita perlu meluruskan sahabat-sahabat yang tampaknya tulus berdakwah, tetapi sesungguhnya mereka itu semata hanya untuk memperkenalkan kelompok pergerakan yang mereka bawa.

Begitu marak da’i yang berdakwah sebagai ‘latihan’ dan menambah jam terbang untuk meniti karir menuju da’i komersil yang sukses.  Amat banyak saudara-saidara pendakwah yang lupa bahwa dakwah itu harus ikhlas, mengajak manusia beramar makruf dan mencegah kemungkaran.

Begitu banyak da’i yang berdakwah semata atas dasar ashabiyah. Faktanya, banyak da’i merasa kecewa ketika orang yang mereka rekrut  itu akhirnya memilih metode dakwah lain yang tidak sama dengan metode perekrutnya.   Bukankah ini petunjuk kecil bahwa rekrutmen itu hanya dimaksudkan untuk mengajak seseorang pada suatu kelompok?  Bukan menuju Islam yang sesungguhnya amat luas dan syamil?

Apakah kita juga termasuk pendakwah yang demikian? Mari kita uji dan evaluasi melalui muhasabah harian kita.