Menuliskan Sejarah

Menulis adalah tradisi. Tradisi intektual muslim, juga tradisi intelektual para pembangun peradaban. Apapun bentuknya, maka menulis adalah niscaya bagi mereka yang ingin berkontribusi dalam membangun peradaban.

Menulis adalah sinergi. Sinergi harmonis antara bakat dengan kemauan dan tekad. Maka, kita dapati, ada orang yang memang tidak berbakat sama sekali, berhasil menulis takdirnya sebagai best seller, karena kemauannya, tekadnya mungkin lebih kuat dari baja. Ia mencoba seluruh kemampuan untuk menjadi seperti yang ia ingini. Ia bersimbah peluh, terjatuh, bangun, terjatuh lagi kemuadian bangun lagi untuk mengejar takdirnya sebagai penulis. Dan Allah, tidaklah samar. Maka tekad bajanya itu diganjar dengan setimpal. Ia tercetak oleh sejarah sebagai Best Seller, meskipun dalam takdirnya dulu, ia tak punya sedikitpun bakat dalam menggoreskan pena.

Begitupun sebaliknya, orang malas yang dikarunia jutaan bakat menulis, tidak akan mungkin menorehkan satupun karya ketika menuruti malasnya. Jangankan menjadi best seller, menyentuk keyboardpun tak pernah, mennggoreskan pena juga malas, tak ayal, takdirnya berubah karena malasnya.

Menulis adalah cinta, Subhanallah sahabat, kita dapati para penulis memang penuh dengan cinta dalam segala bentuknya, maka mereka menulis untuk berbagi cinta.

Menulis adalah Karya. Karya nyata dari hasil perenungan kehidupannya. Karya murni karena kegelisahannya. Lihatlah Ustadz Anif Sirsaeba, adik kandung Habiburrahman El Shirazy, apa yang melatarbelakangi beliau (kang anif) untuk menulis buku bertajuk  Terapi Virus Merah Jambu? Dalam bukunya tersebut beliau menyebutkan bahwa bukunya dilatar belakangi kegelisahannya, keprihatinannya ketika mengamati fenomena pergaulan remaja yang semakin jahiliyah. Pacaran menjadi tradisi, zina ditoleransi, akibatnya banyak terjadi MBA ( hamil di luar Nikah), aborsi meningkat drastis dan beberapa akibat buruk lainnya, muaranya adalah dicabutnya keberkahan Allah dari bumi lantaran manusia mengingkari bahkan menantang Allah. Na’udubillahi min Dzalik.

Menulis adalah mencetak sejarah. Kita dapati berbagai khasanah keilmuan dalam berbagai bentuknya, sementara kita tidak pernah bertemu dengan para penggubahnya. Tak ayal kita begitu merindukan Rasulullah yang sejarahnya tercatat sebagai manusia sempurna, dalam setiap aspek kehidupannya melalui  hadits dan sirahnya. Kita dapati, bahwa Rasulullah adalah pencetak sejarah dan tercatat sejarah sebagai pahlawan. Pahlawan abadi sepanjang hayat yang tak mungkin tersaingi, oleh siapapun.

Maka, selayaknya kita berfikir untuk mengambil peran. Akankah kita menjadi pencatat dan tercatat sebagai pencetak sejarah? Akankah kita tercatat sebagai pahlawan karena tulisan–tulisan  kita? Mari merenung sejenak. Setelah itu, tengoklah sejarah para pendahulu kita, mereka begitu mencintai tradisi menulis sebagai gaya hidup, bukan sekedar hobi, kegemaran.

Sahabat masih ingat Zaid Bin Tsabit rahimahullah? Ya, beliau adalah orang pertama yang menulis wahyu. Luar biasa, kita bisa sedikit membayangkan, bagaimana jadinya sekarang seandainya beliau malas menulis wahyu? Kiranya akan seperti apakah pemahaman kita terhadap Al Qur’an? Selayaknya kita ucapkan Jazakumullah ahsanal Jaza’ kepada Zaid BinTsabit dan para penulis Wahyu lainnya (Radhiyallahu ‘Anhum). Kita sama-sama meyakini, bahwa Allah akan membalas kebaikan mereka dengan Surga. Aamiin..

Lalu, ada Imam Bukhari dan Imam Muslim, pencatat hadits terbanyak dan tershohih. Kitab hadits kumpulan keduanya adalah yang terbaik sepanjang sejarah peradaban Islam. Tiada bandinganya.

Kemudian pertanyaannya adalah :

Sudahkah kita memiliki dan mempelajari kitab hadits tersebut yang merupakan pedoman kehidupan kedua bagi seorang Muslim? Silahkan jawab. Dengan karya! Bukan sekedar Kata.

Dalam masa yang berbeda, kita mengenal  Syeikh Nasiruddin Al Albani. Beliau merupakan salah satu penulis produktif pendahulu kita. Dalam sebuah buku gubahan Dr. Raghib As Sirjani bertajuk Spiritual Reading, disebutkan bahwa Syeikh Al Bani menghabiskan 12 jam dalam sehari di perpustakaan, setiap harinya. Beliau hanya berhenti untuk sholat, sedikit makan dan rehat sejenak. Karena hal itulah, penjaga perpustakaan yang merasa bosan menungguinya, memberikan kunci khusus kepada beliau. Agar beliau bisa menghuni perpustakaan sesukanya, sementara penjaga perpustakaan bisa pulang dan beraktivitas lain. Jangan heran,  karena hal itu pulalalah, di perpustakaan tempatnya belajar ada kasur dan bantal untuk istirahat beliau. Kehidupan beliau adalah membaca dan menulis.

Adalagi, Dzilalil Qur’an yang fenomenal. Sang penulis, Ustadz Sayyid Quthb, menyelesaikan penulisan kitab tafsir itu dipenjara. Dengan bahasa satra yang mudah merasuk ke dalam relung setiap pembacanya, sang penulis begitu dirindukn oleh setiap insan yang ingin meneguk manisnya ilmu melalui beliau. Bahkan, saya merasakan, seakan berbicara langsung ketika membaca tafsir beliau. Seperti berbicara dari hati ke hati. Beliau memang pandai dalam menorehakan sejarah melului penanya.

Kita juga mengenal Ibnu Katsir, master Tafsir satu ini merupakan salah satu mufassirin yang dengan segenap mampunya menafsirkan Qur’an dengan Qur’an. Kemudian mencarinya dalam hadits, juga perilaku para salafush sholih. Karena tafsirnya tersebut, banyak umat yang tercerahkan dan kemudian lebih memahami Islam sebagai agama kebanggaannya. Begitupun dengan para mufassirin lain. Imam Ath Thobari, Hamka dengan Tafsir Al azhar, dan Prof Dr Quraish Shihab dengan tafsir Al Misbahnya, juga para mufassirin lain. Semoga mereka semua selalu dalam lindungan dan kebrkahan dari Allah, baik di dunia mapun di akhirat.

Dalam konteks Sirah -Sejarah-  kita mengenal deretan nama yang  luar biasa. Ada Syeikh Syafiyurrahman Al Mubarrokfuri, syeikh Said Ramadhan Al Bouty, Ibnu Hisyam, Al Ghozali dengan Fiqih Sirahnya, Prof Dr Husain Haekal dengan Sejarah Hidup Muhammad dan biografi  keempat Khulafaur Rasyidin, Mukhammad Khalid dengan karakteristik 60 Sahabat dan masih banyak lagi. Melalui goresan pena beliau-beliau ini, kita bisa mengetahui perihal kehidupan para pendahulu yang sukses dalam hidupnya. Bukan hanya di uunia, melainkan juga di akhirat.

Menulis adalah gaya hidup. Gaya hidup seorang muslim. Siapa yang tak kenal dengan Ust. Anis Matta? Maka berkenalanlah dengan karyanya. Menggugah dan merubah. Walaupun sebagian kalangan ada yang memicingkan mata ketika melihat karya tulisnya. Beliau tidak hanya piawai dalam menulis soal dakwah, gerakan dan pernak perniknya. Bukunya tentangcinta juga begitu menggelora.   

Menulislah! Sebaik mungkin, sesuai kemampuanmu. Karena dengan menulis, kita telah mencetak sejarah.

Banyak para pencetak sejarah yang kemudian dilupakan karena tidak mempunyai karya tulis, walau pahalanya sudah tertulis di sisi Allah. Kerjanya mati bersama hilangnya jasad karena dilupakan oleh generasi setelahnya.

Dimanakah letak (posisi) kita diantara lautan karya itu? Apakah kita akan Menyusul? Hanya Menikmati? atau justru mencaci, mengkritisi, tanpa karya?

 

Oleh: Usman Alfarisi, Depok

FacebookBlog