“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Seketika sayup suara terhenti, ia tak mampu mengangkat lagi suaranya.. Rindu.. Rindu
“Sungguh aku tak ingin adzan umtuk seorang pun sepeninggal Rasulullah!” Itulah pintanya kepada Abu Bakar ra agar hatinya tak terkoyak moyak saat melantunkan nama sang kekasih. Ia pun meninggalkan kota penuh kenangan tersebut dan berjihad ke wilayah syam.
Suatu ketika, ia, Bilal Ibn Rabah, bermimpi bertemu dengan kekasihnya, Rasulullah saw. Rasulullah meyatakan kerinduan padanya. “Wahai Bilal, apakah gerangan yang menghalangimu untuk mengunjungiku?”
Selepas itu ia terbangun dari tidurnya , berangkat ke Madinah dengan hati yang gulana dirundung rindu. Kemudian ia menceritakan perihal mimpi tersebut kepada sahabat lainnya. Bak pesan berantai, cerita itupun tersebar dari mulut kemulut hingga menjelang sore. Nyaris seluruh penduduk mengetahui berita itu.
Penduduk bersepakat memintanya untuk melantunkan adzan maghrib dihari itu. Di tengah kerinduan yang dalam, ia pun tak kuasa menolak kehendak para sahabat dan penduduk Madinah.
Ditengah senja merah, sepoi angin dan langit yang bersih dari mega, dari suara itu terlantun adzan, memecah tangis warga madinah yang tercekat kerinduan. Rasa dalam dada membuncah, saat-saat bersama Rasulullah saw tercinta masih terekam, membayang kembali dipelupuk mata. Tentu saja bilal dan penduduk madinah lainnya diharu biru kerinduan.
Itulah sepenggal kisah Bilal ibn Rabah ra dan para sahabat. Betapa rindu mereka pada kekasihnya , nabi akhir zaman itu. Kisah ini meninggalkan kita sebuah tanda tanya besar. Adakah rasa rindu itu dihati kita? Rindu Untuk berjumpa dengannya? Bercengkrama dengannya di telaga Kautsar?
Jikalah mungkin, kenankah Rasulullah mengakui kita sebagai umatnya di hari perhitungan kelak? Patutkah beliau memberi kita syafaat di hari kiamat kelak?
Bahkan ketahuilah bahwa Rasulullah saw sangat merindukan perjumpaan dengan kita. Betapa mulia beliau yang merindui umatnya sekalipun belum pernah beliau lihat. Rasulullah ungkapkan rasa rindunya itu didepan para sahabat.
Rindu ini terungkap ketika sepulang Rasulullah saw dari mengunjungi syuhada Uhud, Rasulullah saw pulang dengan menangis sehingga para sahabat bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Aku merindukan saudara-saudaraku seiman.”
“Bukankah kami saudaramu seiman wahai Rasulullah?” Tanya sahabat.
Kemudian beliau bersabda, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, adapun saudara-saudara seimanku adalah suatu kaum yang datang setelahku, mereka beriman kepadaku sedang mereka belum pernah melihatku, aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka.”
Subhanallah, semoga kita termasuk dalam kaum yang diceritakan rasulullah tersebut. Kita Yang tulus merindukannya, mejadikannya kekasih, yang mulai kembali menyusuri jembatan sirohnya, yang memesrai perjalanan hidupnya, yang senantiasa bershalawat padanya dan yang menghidupkan sunnah sunnahnya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi ajma’in
Oleh: Sarah Kurniati, IMUSKA, Korea Selatan