“Ini adalah kisah ketika dunia hanya mengenal dua wilayah, Barat dan Timur. Ini adalah persaingan antara dua negara; Imperium Romawi dan Khilafah Islam. Ini adalah cerita saat dunia terpolarisasi menjadi dua bagian; Kristen dan Islam. Ini adalah epik antara dua kekuasaan; Byzantium dan Utsmani.” (MAF 1453, Felix Siauw)
Saat itu Muhammad Al Fatih adalah seorang pemuda yang umurnya baru menginjak 21 tahun. Namun dengan kedekatan kepada Tuhannya serta dengan segala persiapannya untuk mengemban misi para pendahulunya di Turki Utsmani, akhirnya ia berhasil menaklukkan sebuah peradaban terbaik pada masa itu. Sejarah pasti akan berulang, Muhammad Al Fatih menyampaikan fakta bahwa pernah ada suatu masa di mana umat Islam berhasil menguasai sebagian wilayah dunia.
Kita harus bisa belajar dari sejarah umat terdahulu, agar kita dapat melihat pola keberhasilan yang dicapai umat terdahulu dan juga belajar dari kesalahan-kesalahan mereka agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang. Apa yang beliau lakukan sampai akhirnya beliau mampu menaklukan Konstantinopel bukanlah proses yang mudah. Beliau memulainya dengan perencanaan yang matang. Mulai dari menyiapkan persenjataan, menyiapkan para Al-Ghazi (pasukan yang berjuang untuk islam) terbaik, melakukan banyak negosiasi dengan Negara-negara lain dan menjalin koalisi, serta mempersiapkan segala keperluan logistik untuk pasukan di sepanjang perjalanan.
Sampai akhirnya, pada 29 Mei 1453, beliau benar-benar merealisasikan hadits Rasulullah yang disampaikan sekitar delapan abad sebelumnya. Ia membuktikan bahwa Ia adalah sebaik-baiknya pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baiknya pasukan.
Penuh Inspirasi dan Pembelajaran
“Mei 1453 tidak hanya menjadi momen yang merekam konflik antara Byzantium dan Utsmani, tetapi sesungguhnya adalah momen yang menjadi wadah pembuktian kaum Muslim akan agama yang benar dan pembuktian janji Allah dan Rasul-Nya. 1453 adalah sebuah momen yang harus menjadi inspirasi bagi setiap Muslim akan jati diri mereka. Sebuah janji Allah yang yang menjadi kenyataan.” (MAF 1453, Felix Siauw)
Sebuah taktik perang yang terperinci dan memiliki element of surprise, begitulah gambaran sebuah taktik perang ala Muhammad Al Fatih. Disaat yang paling genting dalam upaya penaklukan Konstantinopel, seorang Muhammad Al Fatih mampu menelurkan sebuah ide yang terbilang sangat mustahil dilakukan oleh manusia. Pasukan Al Fatih berhasil memindahkan 72 kapal perang dari selat Bosphorus untuk mengarungi dataran Galata menuju Teluk Tanduk Emas layaknya tengah berlayar dilautan.
Muhammad Al Fatih adalah seorang sultan yang memiliki kemampuan untuk “see beyond the eye can see”. yaitu melihat lebih daripada yang bisa dilihat oleh mata manusia. Ia sangat yakin akan sabda Nabi. Keyakinan ini secara langsung berdampak pada pandangannya dalam menjalani kehidupan. Ia memiliki Aqidah yang kuat dan keimanan yang membuatnya mampu meyakini apa yang tidak mudah dipercayai oleh manusia. Pandangan serta impiannya seakan jauh melampaui kehidupan dunia itu sendiri.
Dari seorang Al Fatih, kita belajar bahwa kemenangan yang didapatkan Islam hanya bisa dicapai atas izin Allah. Pemimpin penaklukan tersebut diberikan gelar pemimpin terbaik bukan hanya karena semata-mata berhasil membebaskan Konstantinopel tetapi juga karena kedekatan Beliau kepada Sang Maha pencipta. Muhammad Al Fatih mungkin menjadi satu-satunya pemimpin yang tak pernah meninggalkan salat rawatib sejak ia aqil baligh sampai saat wafatnya. Ia juga tak pernah meninggalkan salat tahujud ditengah malam untuk berdialog dengan Allah dikeheningan pada sepertiga malam.