Panduan Mengajar dan Belajar Al Qur’an (1)

Bagian ini serta dua bagian yang akan datang merupakan tujuan penulisan kitab ini. Bagian ini mengandung pembahasan yang panjang dan luas sekali. Saya telah berusaha menyajikan tujuan-tujuannya secara ringkas dalam beberapa pasal supaya mudah diingat dan seterusnya diamalkan, insya Allah.

Masalah ke-1:

Pertama-tama yang mesti dilakukan oleh guru dan pembaca adalah mengharapkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Allah berfirman,  “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al Bayyinah 98:5)

Diriwayatkan dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan sessungguhnya setiap orang mendapat apa yang diniatkannya.”

Hadits ini merupakan tonggak dan dasar Islam. Telah kami terima riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh, katanya: “Sesungguhnya manusia diberi ganjaran sesuai dengan niatnya.”

Dan dari lainnya: “Sesungguhnya orang-orang diberi ganjaran sesuai dengan niat-niat mereka.”

Telah kami terima riwayat dari Al ustadz Abu Qasim Al Qusyairi rahimahullah dia berkata: “Ikhlas ialah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa sesuatu tujuan lainnya, seperti berpura-pura kepada makhluk atau menunjukkan perbuatan baik kepad orang banyak atau mengharap kecintaan atau pujian dari manusia atau sesuatu maknaselain mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Dan dia berkata: “Bisa dikatakan, ikhlas itu adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk.”

Diriwayatkan dari Huzaifah Al Mar’asyi rahimahullah: “Ikhlas ialah kesamaan antara perbuatan-perbuatan hamba secara lahir dan batinnya.”

Diriwayatkan dari Dzun Nun Rahimahullah, katanya: “Tiga perkata merupakan tanda ikhals yaitu sama saja tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan orang banyak; lupa melihat di antara amal-amal; dan mengharapkan pahala amal-amalnya di akhirat.”

Diriwayatkan dari Fudhai bin Iyadh rahimahullah, katanya: “Meninggalkan amal untuk orang banyak adalah riya dan bermal untuk orang banyak adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah jika Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskanmu dari keduanya.”

Diriwayatkan dari Sahl At Tustari rahimahullah, katanya: “Orang-orang cerdas mengetahui penafsiran surah Al Ikhlas, tapi mereka tidak mendapat selain ini yaitu gerak dan diamnya dalam keadaan sendiri ataupun di hadapan orang lain hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata, tidak bercampur sesuatu apapun baik nafsu, keinginan ataupun kesenangan dunia.”

Diriwayatkan dari As Sariyyu rahimahullah, katanya: “Jangan lakukan sesuatu karena mengharap pujian orang banyak, jangan tinggalkan sesuatu karena mereka, jangan menutup sesuatu karena mereka dan jangan membuka sesuatu karena mereka.”

Diriwayatkan dari Al Qusyairi, katanya: “Kebenaran yang paling utama adalah kesamaan antara dalam keadaan sunyi (sendiri) ataupun di dalam kebanyakan orang banyak.”

Diriwayatakan dari Al Harits Al Muhasibi rahimahullah, katanya: “Orang yang benar tidak peduli, meskipun dia keluar dari segala apa yang ditetapkan dalam hati makhluk terhadapnya untuk kebaikan hatinya. Dan dia tidak suka orang-orang mengetahui kebaikan perbuatannya sedikit pun dan tidak benci jika orang-orang mengetahui perbuatannya yang buruk karena kebenciannya atas hal itu adalah sebagai bukti bahwa dia menyukai tambahan di kalangan mereka, yang demikian itu termasuk akhlak orang-orang yang lurus.”

Diriwayatkan dari lainnya: “Jika engkau memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kebenaran, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberimu cermin di mana engkau melihat segala sesuatu dari keajaiban dunia dan akhirat.”

Banyak pendapat ulama Salaf berkenaan dengan hal ini. Saya hanya menyinggung sebagian kecil saja sekedar untuk mengingatkan. Saya telah menyebutkan sejumlah pendapat ulama dan menjelaskannya di awal Syarhil Muhadzdzan dan saya tambahkan adab-adab orang alim dan pelajar, orang faqih dan pelajar fiqh yang diperlukan bagi mereka yang sedang menuntut ilmu. Wallahua’lam.

Masalah ke-2:

Hendaknya seseorang tidak memiliki tujuan dengan ilmu yang dimilikinya untuk mencapai kesenangan dunia berupa harta atau ketenaran. Kedudukan, keunggulan atas orang-orang lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang banyak dan hal-hal seperti itu.Hendaklah guru tidak mengharapkan dengan pengajarannya itu sesuatu yang dperlukan dari murid-muridnya, baik itu berupa pemberian harta atau pelayanan, meskipun sedikit dan sekalipun berupa hadiah yang seandainya dia tidak mengajarinya membaca Al Qur’an, tentulah dia tidak diberi hadiah. Allah berfirman: “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian daripada keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.” (QS Asy-Syuura 26:20)

Allah berfirman: “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” (QS Al Israa’ 17:18)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, katanya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari ilmu yang dipunyainya, sedangkan dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapat kesenangan dunia, maka diapun tidak mencium bau syurga pada hari kiamat. Kata Suraij, maksud hadits ini ilalah bau Syurga.” (Riwayat Abu Dawud dengan isnad Shahih)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits seperti itu. Diriwayatkan dari Anas, Hudzaifah dan Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menuntut ilmu sekedar untuk mencari kemenangan berdebat dengan orang-orang yang lemah (bodoh) atau membanggakan diri kepada para ulama atau memalingkan perhatian orangorang kepadanya, maka biarlah dia mendapatkan tempat yang celaka di  neraka.” (Abu Isa berkata: Hadits ini adalah hadits Gharib.)

Masalah ke-3:

Hendaklah dia waspada agar tidak memaksakan banyak orang yang belajar dan orang yang datang kepadanya, hendaklah dia tidak membenci murid-muridnya yang belajar kepada orang lain selain dirinya. Ini musibah yang menimpa sebagian pengajar yang lemah dan itu bukti jelas dari pelakunya atas niatnya yang buruk dan batinnya yang rusak. Bahkan itu adalah hujah yang meyakinkan bahwa dia tidak menginginkan keridhaan Allah Yang Maha Pemurah dengan pengajarannya itu. Karena jika dia menginginkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengajarannya, tentulah dia tidak membenci hal itu, tetapi dia akan mengatakan kepada dirinya: “Aku menginginkan ketaatan dengan pengajarannya. Dengan belajar kepada orang lain dia ingin menambah ilmu, maka tidak ada yang salah dengan dirinya.”

Telah kami terima riwayat dalam Musnad Imam yang diakui keafsahannya dan kepemimpinannya Abu Muhammad Ad-Daarimi rahimahullah dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anh, katanya: “Wahai orang-orang berilmu! Amalkanlah ilmumu karena orang alim itu ialah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya dan ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan muncul orang-orang yang mempunyai ilmu dan tidak melampaui tenggorokan mereka dan perbuatan mereka bertentangan dengan ilmu mereka dan batin mereka bertentangan dengan zahirnya. Mereka duduk di majelis-majelis dan sebagian mereka membanggakan diri kepada sebagian lainnya sampai ada orang yang marah kepada kawan duduknya karena belajar kepada orang lain dan dia meninggalkannya. Amal-amal yang mereka lakukan di majelis-majelis itu tidak akan sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Telah sah riwayat dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata: “Aku berharap kiranya -orang belajar ilmu ini – yakni ilmu dan kitab-kitabnya – agar kiranya dia tidak menisbahkan kepadaku satu huruf pun daripadanya.”

Masalah ke-4:

Pengajar mesti memiliki akhlak yang baik sebagaimana ditetapkan syara’, berkelakuan terpuji dan sifat-sifat baik yang diutamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti zuhud terhadap keduniaan dan mengambil sedikit daripadanya, tidak mempedulikan dunia dan pecintanya, sifat pemurah dan dermawan serta budi pekerti mulia, wajah yang berseri-seri tanpa melampaui batas, penyantun, sabar, bersikap warak, khusyuk, tenang, berwibawa, rendah hati dan tunduk, menghindari tertawa dan tidak banyak bergurau.

Dia mesti selalu mengerjakan amalan-amalan syar’iyah seperti membersihkan kotoran dan rambut yang disuruh menghilangkannya oleh syarak, seperti mencukur kumis dan kuku, menyisir jenggot, menghilangkan bau busuk dan menghindari pakaian-pakaian tercela. Hendaklah dia menjauhi sifat dengki, riya, sombong dan suka meremehkan orang lain, meskipun tingkatan orang itu di bawahnya.

Sudah sepatutnya dia menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan tasbih, tahlil, dzikir-dzikir dan doa-doa lainnya. Dan hendaknya dia selalu memperhatikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kesunyian ataupun dalam kebanyakan, serta memelihara sikap itu dan hendaklah bersandar kepadaAllah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua urusannya.

Masalah ke-5:

Seorang pengajar sudah sepatutnya bersikap lemah-lembut kepada orangyang belajar kepadanya dan menyambutnya serta berbuat baik kepadanya sesuai dengan keadaannya.

Kami telah meriwayatkan dari Abu Harun Al Abdi, katanya: “Kami mendatangi Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘Anh, kemudian katanya: ‘Selamat datang dengan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Orang-orang akan mengikuti kamu dan ada orang-orang yang datang kepada kamu dari berbagai  penjuru bumi belajar ilmu agama. Jika mereka datang kepadamu, berwasiatlah kamu kepada mereka dengan baik.” (Riwayat Tirnidzi dan Ibnu Majah dan lainnya)

Telah kami terima riwayat seperti itu dalam Musnad Ad-Daarimi dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anh.

Imam An Nawawi