Pengertian Hadits Dha’if dan Pembagiannya

Definisi

Hadits dha’if adalah:

مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ

“Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadits shahih).”

Penjelasan Definisi

Tidak terkumpul sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima; syarat diterima suatu hadits, sebaimana yang telah dibahas, antara lain;

  1. Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw
  2. Sanadnya bersambung
  3. Rawinya ‘adil dan dhabith
  4. Tidak mengandung syadz
  5. Tidak ada illah

Hilangnya salah satu syarat diterimanya hadits; Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadits itu tidak bisa dinisbahkan kepada nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.

Apabila tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadits itu dinamakan mursal.

Apabila tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil, maka hadits itu termasuk matruk atau maudhu’, dan jika tidak ada syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dhabth maka hadits tersebut disebut dha’if, matruk, atau bahkan maudhu’ yang disebabkan oleh kelemahan rawi.

Apabila hilang syarat yang keempat, maka hadits itu dinamakan syadz atau matruk.

Dan apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadits itu dinamakan mu’allal.

Pembagian Hadits Dha’if

Hadits dha’if menurut derajat kedha’ifannya dapat dibagi menjadi dua bagian;

  1. Hadits yang kedha’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadits yang setingkat dengannya akan hilang dha’ifnya, dan meningkat menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dha’if yang masih ditulis haditsnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau tadhis.
  2. Apabila tingkat kedha’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’ (pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama sekali identitasnya.

Contoh Hadits Dha’if berat, dengan sebab kedha’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan) adalah; Hadits yang dikeluarkan oleh Al Khathib Al Baghdadi  di dalam Iqtidha’ Al Ilmi Al ‘Amali (69) dengan jalan;

عَنْ أَبِي دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ

Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidilah Al Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri

Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadits”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadits”. Al Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan haditsnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.

Dengan demikian hadits tersebut melalui sanad ini adalah maudhu’, karena kedha’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).

Contoh hadits Dha’if berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dhabth, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu Al Auliya’ (8/252) dengan jalan;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ، فَإِنَّهُ ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ

Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah Al Urmuzi, dari Shofwan bin Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membenci cos dan makanan panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin, karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada berkahnya.

Di dalam sanad hadits ini, Muhammad bin Ubaidullah Al ‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan haditsnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih tetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadits dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadits tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadits meninggalkan haditsnya.

Amru Abdul Mun’im Salim