Perbedaan Antara Rasuah (Suap) dan Hadiah

Pertanyaan

Saya berdagang melalui tender pemerintah dan ingin memohon penjelasan, apakah perbedaan antara rasuah (suap) dan hadiah? Kadang kala perusahaan saya menghadiahkan sesuatu kepada pegawai yg terlibat sebagai tanda terima kasih walaupun hadiah itu tidak diminta oleh pegawai berkenaan. Adakah ini rasuah (suap) atau hadiah? Bagaimana pula jika memberi hampir bersamaan dengan hari raya? Saya rasa kadang kala kita menyembunyikan rasuah (suap) dengan perkataan pemberian yang ikhlas.

Jawaban

Sikap Saudara yang berhati-hati tentang urusan rezeki atau sumber pendapatan dalam kehidupan ini amatlah dipuji. Ini satu tanda adanya nilai keshalihan dalam jiwa. Malang sekali di zaman kini, banyak yang kurang peduli soal halal dan haram hasil pendapatan yang diperolehinya. Soalan saudara asasnya mengenai perbedaan antara hadiah dan rasuah (suap). Persoalan ini dibincangkan oleh para ulama sejak dahulu karena bab ini sering disalahgunakan. Banyak yang mengambil kesempatan dengan permainan istilah yang seperti ini. Ada yang cuma menghalalkan rasuah (suap) dengan diberi nama hadiah.

Saya jawab berdasarkan hal-hal berikut:

Adanya perbedaan antara rasuah (suap) dan hadiah. Rasuah (suap) adalah pemberian baik dalam bentuk harta atau manfaat tertentu yang bertujuan untuk memperolehi sesuatu yang bukan haknya, atau menzhalimi hak pihak lain.

Dalam Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwitiyyah didefinisikan “Apa yang diberikan dengan tujuan memalsukan kebenaran dan membenarkan kepalsuan”. (lihat:, 22/220) Adapun hadiah adalah pemberian atas sebab suka atau sayang tanpa sebarang tuntutan atau ganjaran balas yang disyaratkan. Al-Imam al-Mawardi merumuskan “rasuah (suap) adalah apa yang diberikan karena menuntut sesuatu, hadiah adalah apa yang disumbang tanpa sebarang balasan”. Artinya, pemberi rasuah (suap) mengharapkan sesuatu balasan yang dia tidak dapat memperolehinya tanpa sogokan tersebut. Dengan pemberian tersebut menyebabkan ada pihak lain yang dizhalimi haknya; baik dihilangkan, dikurangkan, dilambatkan, atau akan ada pihak yang dikenakan suatu tindakan yang tidak adil. Maka, rasuah (suap) merupakan pemberian bersyarat, sementara hadiah bukan pemberian bersyarat dan tidak menyebabkan kezhaliman kepada pihak lain. Rasuah (suap) dikeji oleh Islam, sementara hadiah digalakkan.

Berdasarkan kepada penjelasan di atas, maka orang yang paling dapat mengetahui sesuatu pemberian itu rasuah (suap) atau hadiah ialah pemberi itu sendiri. Hanya dia yang tahu bagi setiap pemberian yang diberikan. Adakah dia mengharapkan sesuatu pada masa tersebut, atau pada masa depan dari pihak yang diberikan, sedangkan apa yang harapkan itu dia tidak layak memperolehnya sedemikian rupa? Selepas itu, pihak yang mengambil juga amat mengetahui bahwa pemberian itu memberikan kesan kepada urusannya atau tidak. Apakah pemberian tersebut akan menyebabkan dia terasa untuk akan membalas ‘budi’ pihak berkenaan dengan memberikan kepadanya apa yang bukan haknya, atau menzhalimi hak orang lain? Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amalan itu dengan niat” (Riwayat al-Bukhari).

Artinya, jika pemberian itu atas dasar persahabatan yang tiada kaitan sama sekali dengan jabatan dan kedudukan yang dipegang, maka itu adalah hadiah. Jika ia diberikan karena jabatan dan kedudukan yang bisa memutuskan sesuatu hak, maka itu adalah rasuah (suap). Perkara ini pernah diingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai pegawai atau petugas pemerintah yang mengambil hadiah yang kononnya diberikan kepada mereka. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

فَمَا بَالُ العَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ، فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ: هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِي، أَفَلاَ قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ: هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ، فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ

“Apa jadi dengan pegawai yang kita utuskan, kemudian pulang dan berkata: “Ini bagian kamu, ini bagian aku. Silakan dia duduk di rumah ayah dan ibunya, lalu tunggu adakah akan diberikan hadiah kepadanya atau tidak?! Demi Allah, dia (pegawai berkenaan) tidak mengambil sesuatu melainkan pada Hari Kiamat nanti dia akan menanggung pemberian itu atas tengkoknya.” (Riwayat al-Bukhari).

Maka, seseorang penguasa atau pegawai atau petugas hendaklah merenungkan dirinya, pemberian yang diberikan kepadanya itu mempunyai kaitan dengan jabatan yang dipegangnya atau tidak. Jika ada kaitan yang akan mempengaruhi tindakannya atau akan mengganggu keadilan atau amanahnya, maka itu adalah rasuah (suap). Kesan itu baik secara langsung atau secara tidak langsung. Jika pemberian itu atas dasar sahabat dan kenalan, ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa, dan tiada ruang untuk penyalahgunaan kuasa maka ia dinamakan hadiah. Ini seperti kita memberikan hadiah kepada sahabat kita sekalipun dia seorang pegawai besar dalam sesuatu urusan. Namun pemberian itu bukan karena atau untuk penyalahgunaan kuasa maka itu dianggap hadiah.

Rasuah (suap) bisa muncul dalam berbagai bentuk; baik harta atau manfaat tertentu yang diberi atau dijanjikan. Juga dengan rasuah (suap) hak pihak lain itu bisa dicemari atau dizhalimi dalam berbagai cara. Ini seperti pemberian itu akan menyebabkan disegerakan urusan kita, sehingga menyebabkan terlewatnya urusan pihak lain. Atau jika dalam bentuk persaingan tender seperti zaman sekarang, pemberian rasuah (suap) bisa menafikan hak pihak lain untuk dinilai, atau menghapuskan persaingan yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Rasuah (suap) juga bisa menzhalimi majikan seperti pegawai mengabaikan kualitas kerja disebabkan porsi yang disuap. Juga rasuah (suap) juga bisa menyebabkan ada pihak yang akan dihukum secara tidak adil. Firman Allah:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu makan (mengambil) harta antara kamu dengan cara yang batil, dan jangan pula kamu menghulurkan harta kamu (memberi rasuah (suap)) kepada hakim-hakim karena hendak memakan (atau mengambil) sebagian dari harta manusia dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (salahnya).” (Surah al-Baqarah, ayat 188)

Rasuah (suap) atas nama hadiah bisa merusakkan rakyat dan negara. Lihat saja negara seperti Mesir yang setiap kerja yang sepatutnya berjalan dengan baik terbengkalai karena setiap urusan akan menuntut uang tanda mata atau tips. Bermula dari driver bus di Airport Kairo hingga ke pihak-pihak yang lebih atas. Apabila keadaan ini berlaku orang miskin susah hendak berurusan karena mereka tidak mampu memberikan ‘hadiah’ kepada pegawai-pegawai yang bertugas. Kualiti kerja menjadi rusak. Perasaan tanggungjawab terhadap tugas diukur dengan hadiah yang pernah diberikan atau yang akan diberikan. Maka rasuah (suap) merangkumi kesalahan berbohong dan khianat.

Adapun pemberian untuk mengelakkan kezhaliman seperti memberikan suapan kepada sesuatu pihak bagi melepaskan diri dari kezhaliman atau memperolehi hak yang sepatutnya. Ini seperti merasuah (suap) petugas kepada penguasa yang zhalim demi melepas sesuatu kezhaliman kepada diri sendiri atau pihak tertentu, atau mengembalikan sesuatu hak yang diambil dengan cara yang zhalim, maka Dr. Al-Qaradawi berpendapat bahwa jika keadaan seperti itu terjadi, seseorang hendaklah berusaha dengan cara yang tidak merasuah (suap) sesiapa. Namun jika tiada jalan dan terpaksa, maka dosa tersebut ditanggung oleh pihak yang mengambilnya, tidak atas pihak yang memberikan suapan tersebut (lihat: al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, hal 300, Beirut: al-Maktab al-Islami).

Perbuatan rasuah (suap) adalah dosa yang besar. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Allah melaknat pemberi rasuah (suap) dan penerimanya” (Riwayat Abu Daud, al-Tirmizi dan Ibn Majah, dinilai sahih).

Apa tidaknya, rasuah (suap) bisa meruntuh keseluruhan sistem keadilan dalam sesebuah masyarakat. Kata Saidina Ali bin Abi Talib:

فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلكُمْ أَنَّهُمْ مَنَعُوا الْحَقَّ حَتَّى اُشْتُرِيَ ، وَبَسَطُوا الْجَوْرَ حَتَّى اُفْتُدِيَ

“Sesungguhnya binasanya manusia terdahulu karena mereka menghalang kebenaran sehingga ianya dibeli. Mereka membentangkan kezhaliman sehingga ianya ditebus”. (Ibn Muflih, Al-Adab al-Syar‘iyyah, 1/201. Beirut: Muasasah al-Risalah).

Hadiah yang ikhlas adalah dianjurkan oleh Islam. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

تَهَادُوا تَحَابُّوا

“Berilah hadiah nanti kamu akan sayang menyayangi” (Riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).

Ya, hadiah yang jujur kepada sahabat atau bakal pasangan hidup akan menimbul kenangan dan ingatan. Kasih-sayang tanpa kepentingan itu amat tinggi nilainya dalam kehidupan insan. Hadiah satu jalan mengeratkan hubungan antara kita atas kejujuran dan keikhlasan jiwa.

Ustadz Prof. Dr. Muhammad Asri Zainal Abidin