Perjalanan Cinta Seorang Murabbi

“Beliau tiap Jumat kan masih khutbah ke Depok, Bun. Meski sehari-hari di Subang. Nah hari Jumat itu setelah khutbah ya buat ajang ketemuan orang-orang yang pengin ketemu untuk yang di Jabotabek” jelas anak muda di samping saya, keponakan dari seorang ustadz yang tinggal di Subang.

“Oh, jadi malam sabtunya nginep?”

“Gak lah, langsung balik lagi ke Subang, sorenya”

Dalam hati saya langsung berucap tasbih. Subhanallah, Depok-Subang bukan jarak yang dekat. Tapi ibarat di Jakarta memiliki murid-murid ngaji, beliau masih menelateni tiap pekan untuk menyambung tali silaturrahmi.

“Jarang mbak, kalau naik mobil pribadi. Banyak macetnya, capek juga jadinya nyetir. Jadi ya naik angkutan umum aja”, kata istrinya.

“Waduh, berapa kali naik tuh bu?”

Membayangkannya saja sudah ribet, hingga sampai detik ini saya belum pernah sekali pun ke Subang menengok anak dengan kendaraan umum.

“Yaaa, kayaknya ustadz mah menikmati perjalanan aja. Tiap kamis malam sekitar jam satu atau dua malam, keluar rumah, ya nunggu angkot aja selewatnya di depan situ. Terus naik bis dari terminal subang. Memang sih jalannya kaya keong bisnya, lamaaa banget. Tapi ya dinikmati aja. Sampai Kampung Rambutan kan pagi. Terus naik angkutan lagi, kadang ke masjid ARH dulu atau kemana yang hari itu ngundang (ceramah), baru ke Depok”, terang istrinya lagi.

Kembali saya berucap tasbih. Subhanallah, saya dan suami saja, yang mungkin cuma sebulan sekali pergi ke Subang dari Pamulang, berasa deh capeknya. Sedangkan itu juga perjalanan untuk menengok anak sendiri, itu pun juga naik mobil sendiri, gak ganti-ganti angkutan. Lalu bagaimana dengan ustadz, yang secara umur jauh lebih tua dari kami, tapi masih bersemangat untuk menemui ‘murid-muridnya’ ke Jakarta sepekan sekali? Dibela-belain naik angkutan umum lagi. Padahal, sebagai seorang ketua yayasan sebuah pesantren yang cukup besar, kesibukan dakwahnya di Subang juga tak kurang-kurang. Mungkin lebih sering pergi dari pada berdiam di rumah, seperti saat malam itu saya berkunjung ke rumahnya, beliau juga tidak ada. Mencermati ini, sungguh rasanya jadi sangat malu hati. Ini betul-betul perjalanan cinta seorang guru kepada murid-muridnya, hingga jarak dan usia tak lagi mampu mengalahkannya.

Sedang saya? Murid-murid ngaji paling juga seputar rumah saja, paling banter ya sekecamatan, tetapi kadang merasa tidak all out dalam melayani mereka, belum utuh dalam mengekspresikan cinta. Lah padahal ngajinya juga lebih sering di rumah saya, ndak kemana-mana. Duh duh, maha suci Allah yang telah membiarkan saya menyerap sedikit cerita ini, agar mampu menjadi cambuk bagi diri saya, untuk lebih banyak memberi dan memberi, jika memang mencintai. Semoga, menjadi pelajaran juga bagi sesiapa yang membacanya.

“Bund, ini Subangnya masih jauh ya?” pertanyaan kesekian kali dari salah satu anak angkat saya, yang hari itu saya mintai tolong menyetir mobil mengantar ke Subang. Keponakan ustadz tersebut.

“Masiiiih. Kenapa nanya mulu?” jawab saya geli.

“Enggak. Jadi inget pakdhe aja, kok ya kuat seminggu sekali pulang balik Depok-Subang”, gumamnya.

Ya, begitulah cinta. Jika dia telah hadir di hati kita, maka segala lelah dan berbagai keterbatasan diri pun, akan terkalahkan olehnya. Semoga saya juga bisa menjadi bagian dari seorang guru yang mencintai murid-muridnya, seperti pakdhemu itu.
Newer post older do my essay post home october 1, 2014 I am a big fan of Writemypaper4me dottotech`s channel on youtube.