Ekspektasi Berlebihan pada Calon Isteri Idaman

Seorang teman masih surut untuk mengutarakan perasaan kagum yang mengarah pada cinta ke perempuan yang baru dikenalnya. Surut keberaniannya bukan lantaran perempuan asing itu tidak dikenal reputasinya. Bahkan perempuan itu dengan mudah bisa ditelusuri rekam jejaknya, baik dari jalur darat maupun dari jagat maya. Informasi sudah didapat teman saya, dan mengarah pada kesimpulan bahwa perempuan berjilbab lebar itu seorang ‘bukan sembarangan’.

Di sini persoalannya. Teman tadi merasa tidak selevel bila bersanding dengannya. Jangankan bersanding, untuk sekadar maju saja rasanya harus mengukur diri. Persoalannya selesai manakala dia harus melek dan mawas diri bila keadaannya demikian. Teman saya rupanya tidak; dia semacam masih penasaran. Jadilah, perasaan dipendam antara kagum, takut dan tak mencoba meningkatkan diri.

Memandang lawan jenis yang menarik perhatian kita kadang membentur soal persepsi positif kita. Amat positif bahkan, seakan lawan jenis itu tak punya cela. Ada atribut melekat yang rasanya kita tak mampu menggapainya. Sementara, diri ini merasa tak sekufu dengannya. Celakanya, bukannya memupuskan asa pada perasaan yang masih terekam, melainkan masih menyimpan kemungkinan. Kemungkinan yang bukan diraih dengan sebuah usaha, melainkan dengan bermimpi. Tak ada ikhtiar untuk mencoba mengompatibelkan diri dulu dengan perempuan tadi, baru kemudian memberanikan diri mengutarakan keinginan kita pada dia langsung atau orang-orang yang dipercayainya.

Oh ya, sebelum ada sangkaan bermacam-macam, kapasitas tinggi yang membuat teman saya atau para pejantan surut bukan karena soal harta atau tahta si orangtua perempuan tadi. Ini soal kapasitas keimanan menurut persepsi kita.

Kadang kita memang terjebak untuk memalaikatkan seseorang bak tak ada aib atau jenak selaku manusia. Seolah perempuan yang kita pandang sakral itu tak punya keinginan. Tak punya selera pribadi. Kesalahan teman saya adalah tidak mencoba untuk mengkomunikasikan keinginannya dengan kebutuhan si perempuan itu. Kalaupun tidak bertemu dalam naungan perjodohan, setidaknya dia sudah mengukur seperti apa gambaran yang dikehendaki perempuan tadi. Ini tidak bisa digapai dengan berdiskusi atau berbicara empat mata ke teman terdekat.

Seperti teman saya dulu semasa di kos, Subhan. Nyalinya untuk menikah sepertinya tak terhankan. Bahkan bisa dikatakan tidak memikirkan lagi soal kepekaan seperti teman pertama tadi. Mungkin karena kepepet, dia tidak merasa perlu memikirkan soal menimbang kapasitas calon yang ditawarkannya. Meski strata satu di UGM tak sempat dirampungkan, dia dihadapkan dengan tawaran seorang perempuan sholihah, kandidat doktor dengan jabatan dosen terpandang di kampus negeri di daerahnya di Kendari sana.

Dia perlu berpikir bukan lantaran kesenjangan itu, melainkan lantaran ada soal perbedaan usia. Perempuan yang tidak bisa dinafikan tak ingin ditepiskan itu telanjur menghadirkan simpati di hatinya. Tapi, keluarga teman saya cemas bila pada usia kepala tiga perempuan itu tak dapat mengandung. Setelah semua keraguan dipudarkan, jadilah mereka menikah dalam naungan doa-doa teman-temannya. Semua berjalan lancar atas izin Allah. Hari-hari ini saya menantikan kabar kelahiran anak pertamanya (semoga Allah memudahkan jalan lahirnya pada keluarga itu).

Saya tak mau berandai-andai pada teman pertama tadi. Saya pernah merasakan bagaimana seorang perempuan yang kita pandang ‘menakutkan’ pada masanya akan sadar soal peredaran waktu sehingga membuka pintu cintanya. Ada masa dia tak hanya mengangankan idealisme tanpa bukti perjuangan. Bagaimanapun perempuan punya perasaan untuk suka; dan kadang perasaan itu misterius untuk kita terka. Sayang, saat itu saya berpikir sebagaimana teman tadi: mempertimbangkan segala faktor di luar kapasitas saya yang mungkin saja mampu meningkatkan diri bersanding dengannya.

Penakut tak selamanya berupa kecemasan membuncah di diri kita. Ia kadang hadir karena kita memandang lebih orang lain. Dalam cinta atau simpati ke orang yang kita sukai misalnya.

Oleh:  Yusuf Maulana, Yogyakarta

FacebookBlog