Puasa & Lebaran Bisa Berbeda Hari di Negeri yang Berbeda

Muhammad bin Abi Harmalah menceritakan dari Kuraib bin Abi Muslim (w. 98 H),

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم .

Bahwa Ummul Fadhl binti Al Harits[1] mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata, “Ketika sampai di Syam, aku pun menyelesaikan keperluan Ummul Fadhl. Dan saat masuk Ramadhan, aku masih di Syam. Aku melihat bulan (hilal) pada malam Jum’at. Kemudian, pada akhir Ramadhan, aku telah datang kembali di Madinah. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menanyakan kabarku dan menyinggung soal hilal. Dia berkata; ‘Kapan kalian melihat hilal?’

Aku berkata; ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Ibnu Abbas berkata; ‘Kamu melihatnya sendiri?’ Aku berkata; ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah juga puasa.’ Ibnu Abbas berkata; ‘Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, dan kami sekarang masih puasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari atau melihat bulan.’ Aku pun berkata; Apa kamu tidak cukup dengan rukyah Muawiyah dan puasanya?’ Kata Ibnu Abbas; ‘Tidak. Seperti inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kita.”

Takhrij

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayub, Qutaibah bin Said, dan Ali bin Hujr, dari Ismail bin Ja’far dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib bin Abi Muslim.[2]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1985), At Tirmidzi (629), An-Nasa`i (2084), Ahmad (2653), Ad-Daraquthni (2234), Ibnu Khuzaimah (1810), Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah (2656), dan Ath Thahawi (410); juga dari Kuraib bin Abi Muslim.

Hikmah dan Ibrah

  • Hadits ini menyebutkan bahwa perbedaan 1 Ramadhan dan 1 Syawal sangat mungkin terjadi di negeri yang berbeda atau berjauhan letaknya.
  • Bersama penduduk Syam, Kuraib melihat hilal Ramadhan pada malam Jum’at. Sementara di Madinah, Ibnu Abbas dan penduduk Madinah melihat hilal Ramadhan pada malam Sabtu.
  • “Kami sekarang masih puasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari atau melihat bulan,” maksudnya jika tidak melihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban, Ibnu Abbas dan penduduk Madinah akan menyempurnakan puasa Ramadhan sebanyak 30 hari, sebagaimana yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
  • “Tidak. Seperti inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kita.” Maksudnya, Ibnu Abbas dan penduduk Madinah tidak harus mengikuti Muawiyah dan kesaksian penduduk Syam, karena yang diajarkan Nabi dalam mengawali dan mengakhiri puasa adalah dengan melihat bulan. Sementara mereka melihat bulan pada malam Sabtu, bukan malam Jum’at sebagaimana penduduk Syam.
  • Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dalam beberapa kelompok:

Pertama; Setiap negeri bisa berbeda tergantung rukyah mereka. Dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas ada yang menguatkan pendapat ini. Demikian diceritakan Ibnul Mundzir dari Ikrimah, Al-Qasim, Salim, dan Ishaq. Sedangkan At-tirmidzi menceritakannya dari Ahlul ilmi dan tidak menceritakan yang lain. Sementara Al-Mawardi menceritakan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i.

Kedua; Apabila hilal dilihat di suatu negeri, maka ia berlaku atas negeri-negeri yang lain semuanya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Maliki. Tetapi Ibnu Abdil Barr menceritakan ijma’ yang sebaliknya, dia mengatakan bahwa para ulama sepakat yang demikian tidak mesti berlaku di negeri-negeri seperti Khurasan dan Andalusia. Al-Qurthubi berkata; ‘Para syaikh kami mengatakan jika rukyatul hilal tampak jelas di suatu tempat, kemudian disampaikan ke negeri lain dengan kesaksian dua orang, maka negeri tersebut harus puasa.’ Ibnul Majisyun berkata; ‘Suatu negeri tidak harus puasa dengan kesaksian penduduk negeri lain, melainkan dengan kesaksian penduduk negeri itu sendiri. Namun jika penguasa tertinggi telah menetapkannya, maka ketetapan ini berlaku atas semua negeri yang berada dalam wilayahnya, karena negeri-negeri tersebut terhitung sebagai satu negeri di bawah kekuasaannya.’ Sebagian madzhab Syafi’i mengatakan, jika negeri-negeri itu berdekatan, maka hukumnya satu. Adapun jika berjauhan, maka ada dua pendapat; tidak wajib menurut mayoritas ulama, sedangkan Abu Ath-Thayyib dan sekelompok ulama mengatakan wajib. Al-Baghawi mengatakan, (yang terakhir) ini adalah pendapat Asy-Syafi’i.

Selanjutnya, ketentuan tentang ukuran jauh juga ada beberapa pendapat; Yang pertama, berdasarkan ikhtilaful mathali’ (perbedaan tempat munculnya hilal). Demikian pendapat orang-orang Irak dan Ash-Shaidalani, yang dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah dan Syarh Al-Muhadzdzab. Kedua; berdasarkan jarak qashar shalat. Demikian pendapat Imam Al-Baghawi yang dishahihkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarh Muslim. Ketiga; berdasarkan perbedaan wilayah. Keempat; setiap negeri yang bisa melihat hilal dengan jelas tanpa ada halangan, maka ia wajib puasa. Sedangkan yang tidak melihat hilal, tidak harus mengikuti yang lain.[3] Demikian diceritakan dari As-Sarakhsi. Yang kelima, yaitu pendapat Ibnul Majisyun yang sudah disebutkan di atas. Dalilnya, adalah kewajiban untuk puasa dan berbuka bagi orang yang melihat hilal sendirian, sekalipun perkataannya tidak bisa dijadikan pegangan yang lain. Ini adalah pendapat imam madzhab yang empat dalam masalah puasa. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Asy-Syafi’i mengatakan; dia berbuka diam-diam. Sedangkan mayoritas yang lain mengatakan; meneruskan puasanya sebagai sikap kehati-hatian.”[4]



[1] Ummul Fadhl, yaitu Lubabah binti Al Harits Al Hilaliyah Radhiyallahu ‘Anha, istri Al Abbas bin Abdil Muththalib, saudari Maimunah Ummul Mukminin.

[2] Shahih Muslim, Kitab Ash Shaum, Bab Bayan Anna Likulli Balad Ru`yatahum, hadits nomor 2580.

[3] Sekadar contoh sederhana saja: Jika Jawa Timur dan Jawa Barat melihat hilal, maka wajib puasa. Sedangkan Jawa Tengah yang tidak melihat hilal, tidak wajib puasa, meskipun Jawa Tengah terletak di antara Jawa Timur dan Jawa barat. Wallahu a’lam.

[4] Lihat Fath Al Bari Syarh Shahih Al Bukhari/Ibnu Hajar Al-Asqalani/Jilid 6/Hlm 149, penjelasan hadits nomor 1774. Program Al-Maktabah Asy Syamilah.