Retorika Jujur

Orang mengatakan bahwa dirinya jujur, walaupun ajakannya untuk menyembah Allah banyak yang menolak. Sekelumit peristiwa tidak cukup mengungkapkan kebenaran yang terpatri dari dirinya. Bahwa selama ini orang-orang telah salah menyembah Tuhan. Di bangunnan kubus peninggalan Nabi Ibrahim itu banyak terdapat patung-patung yang disembah oleh orang-orang Qurais. “Jujur”, sekali lagi menjadi pembanding bagi orang-orang yang ingin mempercayai sebuah dogma. Mereka berteriak kesana-kemari, mengancam si jujur yang berani menentang sesembahan yang ada dalam bangunan kubus. Hanya istrinya Khadijah dan anak kecil bernama Ali yang mau mengerti apa yang dirasakan orang yang katanya “jujur” tadi.

Kejujuran memang mahal, kita sangat merasakan sebuah kejujuran yang memang dirasa sangat pahit. Mahalnya jujur sesuai dengan konsekuensi yang di dapat dari sikap dan kata jujur yang keluar dari diri kita. Jujur itu apa adanya, dia tidak pernah mengiba pada kebohongan karena jujur murni dan tidak ada bungkusan suap yang hadir di sela jujur itu akan terucap. Jujur lebih pada sikap natural, tidak mengubah keadaan yang terjadi baik itu dikurangi atau dilebihi. Ia laksana air yang selalu mengalir, jika dipaksa diam air itu akan bau dan menjadi sumber penyakit. Begitulah jujur, ia bahkan seperti api yang memberi rasa panas walaupun banyak yang tidak nyaman dengan panas yang membakar tapi dia bersikap dengan apa yang harus dilakukan sebagai karakter api yang memang layak untuk membakar.

Jujur juga menjadi kebencian bagi mereka yang hidup dengan kepura-puraan. Dalam kekuasaan, kejujuran terkadang sulit ditemukan, kekuasaan yang semu membuat setiap kata-kata yang dia ucapkan bukan kejujuran yang mampu merubah keadaan. Bahkan retorika yang keluar dari penguasa yang tidak jujur berbanding terbalik 180 derajat dengan apa yang dirasakan rakyat sebenarnya. Penguasa yang tidak jujur sebenarnya terbebani dan selalu terbayang dengan kepalsuan yang dia lakukan. Hakekat nuraninya rapuh karena sejak awal berkuasa dia gunakan janji yang mencirikan tidak adanya kejujuran.

Kejujuran pun terkikis dengan banyaknya sumbu pragmatisme di sekitarnya yang menyumbat pemimpin untuk jujur. Sesekali dia ingin membuka kejujuran itu, namun sumbu kebohongan telah menyumbat fikirannya sehingga dia urung untuk kembali mengatakan kejujuran. Bahwa negara ini penuh kebohongan, bahwa kekuasaan terlalu kebal kritik, bahwa dirinya hanya simbol kekuasaan kolektif yang bohong, bahwa janjinya hanyalah palsu, bahwa kebohongan memang hadir dan di design sedemikian rupa, bahwa semua ini untuk kepentingan segelintir elit, bahwa kebohongan dilakukan untuk melindungi status quo kekuasaan.

Kita harus kembali jujur, bahwa dengan kejujuran kita mampu menegakkan harapan yang tandus. Kejujuran akan menjadi titik balik perlawanan untuk melawan kebohongan. Kejujuran akan menjadi retorika tajam di tengah gurun pasir kemiskinan. Kejujuran akan menghardik keras siapa yang sebenarnya paling pragmatis dan berperilaku elitis. Retorika kejujuran ini akan mencabut sumbu-sumbu kebohongan yang membungkus kejujuran pemimpin. Maka kejujuran menjadi bekal pertama untuk membangun kembali pranata sosial yang selama ini telah rapuh dimakan kebohongan.

Dengan retorika jujur, pada akhirnya orang-orang Qurais pun menyadari bahwa apa yang dikatakan Muhammad adalah kebenaran yang hakiki. Kebenaran yang muncul dari cahaya keabadian. Bahwa patung itu tidak pernah menghadirkan kejujuran. Karena patung itu dibuat oleh kebohongan, kebodohan dan tipu-menipu. Muhammad mengajarkan kejujuran sepahit awal dirinya akan mendapat perlawanan. Kejujurannya harus mengalami lemparan batu kaum taif. Kejujurannya harus rela meninggalkan negeri mekkah yang sangat dia cintai. Kejujurannya harus dibayar mahal dengan cacian dan makian.

Tapi akhirnya takdir membela kejujuran, satu persatu kejujuran itu membuka tabir kebenaran. Kejujuran itu menyibakkan kemenangan, berbuah persaudaraan, dan tidak saling memaki tapi saling memberi. Muhammad kembali ke Mekkah dengan 100 ribu pasukan. Dia hadir dengan perdamaian dan orang berbondong-bondong menyembah Allah yang maha menciptakan dan mengajarkan kejujuran. Mereka membuang patung di bangunan kubus peninggalan Nabi Ibrahim yang juga jujur. Muhammad pun datang tidak dengan pertempuran tapi tetap dengan kejujuran, dengan pasukan dia tida bermaksud mengajak peperangan. Tapi masih tetap mengajak orang Qurais untuk kembali kepada kejujuran. Mereka tersadar akan sikap jahiliyah yang lama hadir akibat ketidakjujuran. Kejujuran mengajak kita untuk semanis dan sepahit menghadapi hidup. Tapi jujur tetap memberi kita yang terbaik tentang apa yang harus dilakukan terhadap patung yang selama ini tidak pernah memberi kebaikan pada manusia yang tidak lain adalah pembuatnya. Semestinya patung itu yang meminta kepada kita untuk diciptakan dengan keadaan lebih baik. Bukan kita yang memohon kepada patung yang secara jujur tidak dapat mencelakakan kita. Begitupun ketika kita sadar akan Allah. Kita memohon untuk diberi keadaan yang lebih baik dengan takdir yang baik. Kita jujur untuk menjadi lebih baik bukan untuk kebohongan dan sikap berpura-pura.

 

Oleh : Dharma Setyawan