Riba dalam Pandangan Berbagai Agama

Di antara rujukan terkenal yang paling kuno tentang usury (riba) ditemukan dalam munuskrip agama India Kuno dan Jain (1929) menyajikan ringkasan dengan sangat baik tentang riba tersebut dalam karyanya pada Indigenous Banking in India. Dokumen yang paling awal berasal dari teks Vedic India Kuno (2000-1.400 SM), yang mana usurer (kusidin) disebut beberapa kali dan diinterpretasikan sebagai setiap orang meminjamkan dengan memungut bunga. Rujukan yang lebih sering dan rinci tentang pembayaran dengan bunga ditemukan kemudian dalam teks Sutra (700-100 SM) dalam Jakatas (600-400 SB) (Visser dan Mcintosh, 1998).

Di India Kuno hukum yang berdasarkan Weda, kitab suci tertua agama Hindu, mengutuk riba sebagai sebuah dosa besar dan melarang operasi bunga (Gopal, 1935: Rangaswani, 1927). Vasishtha, pembuat hukum Hindu yang terkenal sepanjang waktu, membuat hukum khusus melarang kasta yang lebih tinggi Brahmana dan Ksatria, meminjamkan dengan bunga (Visser dan Mcintosh, 1998).

Dalam agama Yahudi, Kitab Taurat (bahasa Yahudi untuk Hukum Musa atau Pentateuch, lima kitab pertama Perjanjian Lama) melarang riba di kalangan bangsa Yahudi, sementara paling tidak satu orang ahli melihat dalam Talmud (Hukum Lisan yang melengkapi Kitab Tertulis untuk kaum Yahudi ortodoks) suatu bias yang konsisten terhadap ‘kemunculan riba atau laba’ (Neusner, 1990).

Dalam agama Kristen, pelarangan yang keras atas riba berlaku selama lebih dari 1.400 tahun. Secara umum, semua kontrol ini menunjukkan bahwa penarikan bunga apa pun dilarang. Tetapi, secara berangsur-angsur hanya bunga yang terlalu tinggi yang dianggap sebagai mengandung riba, dan undang-undang riba yang melarang bunga berlebihan semacam itu masih berlaku hingga saat ini di banyak negara Barat dan beberapa negara muslim Bagi umat Kristen abad pertengahan, pengambilan apa yang sekarang kita sebut bunga adalah usury (bunga yang berlebih-lebihan), dan usury adalah dosa, dikutuk dengan kata-kata yang sangat keras. Bagi kaum muslim, pelarangan riba dalam Al-Qur’an juga sangat jelas. Al Qu’ran versi bahasa Inggris menerjemahkan kata Arab riba sebagai interest atau usury. Sikap Islam mengenai riba nampaknya sedikit berbeda dengan sikap resmi Kristen pada Abad Pertengahan (Lewis dan Algaoud, 2001:266).

Meskipun pada dasarnya memang benar ada kesamaan dalam pelarangan, namun proses untuk sampai ke sana sangat diperumit oleh asal mula kata-kata itu sendiri. Interest berasal dari kata Latin abad pertengahan, interesse. Usury berasal dari kata Latin usura. Masalahnya adalah bahwa para teolog dan hukum gereja menggunakan kedua kata itu sebagai dua jenis yang berbeda. Interesse, khususnya, dibolehkan dan usura dilarang (Nelson, 1949:17). Usura, yang artinya kesenangan, adalah uang yang dibayarkan sebagai imbalan atas penggunaan uang, dan menurut hukum gereja artinya niat si pemberi pinjaman untuk memperoleh imbalan atas suatu pinjaman yang melebihi jumlah pokok yang seharusnya. Itu sama dengan apa yang sekarang kita sebut bunga, yang diukur oleh selisih antara jumlah yang dibayarkan kembali oleh seorang peminjam dengan jumlah pokok yang semula diterima dari si pemberi pinjaman (Patinkin, 1968).

Baik usury maupun interest dapat disamakan dengan riba yang secara harfiah berarti ‘tambahan’ atau kelebihan dari jumlah semula.

Hukum gereja abad pertengahan, karenanya, melarang pembayaran atas penggunaan suatu pinjaman, yang (menurut hukum Romawi) disebut usura. Tetapi meskipun seseorang dilarang memungut uang sebagai pembayaran atas suatu pinjaman, ia dapat meminta kompensasi damna et interesse jika ia dibayar lunas pada waktunya.

Interesse merupakan kompensasi yang diberikan oleh seorang debitur (pengutang) kepada seorang kreditur (pemberi utang) atas kerugian yang dialami kreditur sebagai akibat dari kelalaian atau penundaan pengembalian uang pokok pinjaman, yang dapat disamakan dengan ‘kerugian yang muncul atau keuntungan yang tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur’. Karena interesse semacam itu adalah sah dan secara konseptual berbeda dari usura yang tidak sah, maka mudah untuk memahami mengapa istilah ‘interest’ (bunga) telah digunakan secara universal dalam masyarakat pasca-Abad Pertengahan, dan juga mengapa pada Abad pertengahan para kreditur memiliki dorongan kuat untuk berusaha menyamarkan usury sebagai interesse sehingga tidak melanggar Gereja (Lewis and Algaoud, 2001:267).

Gereja adalah satu-satunya institusi paling berpengaruh pada Abad Pertengahan, dan pengaruhnya atas kehidupan manusia bekerja melalui kombinasi kekuatan material dan spiritual. Penguasaannya atas tanah menjadikan gereja sebagai tuan tanah feodal paling besar, dan lahan-lahan yang dikuasainya menjadi sumber produksi dan konsumsi yang sangat menguntungkan. Selain itu, gereja mempunyai kesatuan doktrin dan perintah yang tegas dan mengatur totalitas hubungan manusia. Seperti Islam saat ini, agama Kristen tidak sekadar sebuah agama melainkan juga sebuah jalan hidup yang mengatur baik perilaku di muka bumi maupun keselamatan spiritual di alam akhirat. Doktrin Kristen berasal dari tiga sumber pokok. Pertama adalah beberapa kitab suci, khususnya Injil dan ajaran Yesus. Kedua, dengan berjalannya Abad Pertengahan dan gereja menjadi semakin melembaga, ucapan Yesus tidak cukup untuk mencakup segala kemungkinan, sehingga ditambah, dan banyak sekali yang diganti, oleh hukum gereja yang didasarkan pada keputusan dewan-dewan gereja dan pengadilan gereja. Ketiga, kalangan terpelajar dan teolog meletakkan fondasi teologi Kristen, dengan mengambil prinsip etika yang dikembangkan oleh para filusuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles (Lewis and Algaoud, 2001:267).

Perjanjian Baru memiliki tiga rujukan mengenai riba, dan Perjanjian Lama ada empat rujukan. Dari tiga pasal tentang riba dalam Perjanjian Baru, dua diantaranya identik dan berhubungan dengan padanan (misal) uang (parable of the talents) (Matius 25:14-30, dan Lukman 19:12-27). Keduanya jelas-jelas bersifat ambigu mengenai persoalan riba (Gordon, 1982). Pelayan yang mengembalikan uang sejumlah yang semula diterimanya dulu akan dihukum oleh sang bangsawan karena belum ‘mengganti uang saya’ dan kemudian pada saat saya datang saya harus sudah menerima uang saya ditambah riba’ (Matius 25:27). Jika diterjemahkan secara harfiah, ayat ini kelihatannya memaafkan penarikan riba, namun pada saat yang sama si penerima dikecam karena ‘memungut (memanen) yang tidak kamu tebar (tanam)’ (Lukman, 19:21).

Namun, dalam Perjanjian Baru disebutkan dengan cukup jelas: “Kasihilah musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik, dan pinjamilah, dengan tidak mengharapkan apa pun lagi; dan pahalamu akan besar, dan engkau akan menjadi anak-anak dari Yang Mahatinggi.” (Lukman 6:35).

Yesus sendiri jelas menunjukkan sikap anti riba ketika ia melemparkan para pemberi pinjaman uang dari kuil, sementara Khutbah di atas Bukit juga dengan tegas mengungkapkan sentimen anti kekayaan.

Prof. Dr. M. Suyanto