Sampah Pemuda: Bukan Plesetan Sumpah Pemuda

Judul di atas bukan pelesetan, tetapi kenyataan. Alih-alih pada 28 Oktober tahun ini kita peringati hari bersejarah tentang sumpahnya para pemuda di masa lalu, yang terjadi di masa kita bukan lagi para pemuda yang bersumpah, tetapi para pemuda yang menjadi onggokan sampah.

Ya, pemuda yang kurang lebih sekelas sampah, diperlakukan ibarat sampah, dibuang, dijauhkan, dan tidak dipakai. Kalau kita membaca laporan Catatan Akhir Tahun 2011 dari KomNas Perlindungan Anak, maka sederet fakta tampil telanjang bulat di depan kita. Semua memberikan sebuah proyeksi citra betapa pemuda dan generasi penerus bangsa ini memang tidak ubahnya seperti onggokan sampah yang berserakan, yang akan menjadi ancaman besar buat kehidupan bangsa itu sendiri.

Berikut beberapa petikan dari laporan tersebut yang saya tulis ulang, dengan menitik-beratkan pada poin-poin yang penting. Link aslinya bisa dibuka di sini .

Pemuda: Pengangguran

Sangat miris dan menyedihkan membaca berita mengenai hasil pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan, sebanyak 60,5% pemuda usia 16 tahun hingga 20 tahun di seluruh provinsi di Indonesia tidak memiliki pekerjaan tetap, atau pengangguran. Dengan sempitnya kesempatan kerja buat para pemuda, maka berbagai problem turunannya sudah pasti terjadi.

Premanisme adalah kata yang secara otomatis akan muncul manakala pemuda dibiarkan menganggur tidak punya pekerjaan tetap yang halal. Yang ada hanya pekerjaan tidak tetap yang belum tentu halal.

Kenapa saat ini begitu banyak bermunculan organisasi pemuda yang rata-rata anarkis, cenderung menggunakan kekesaran, primordial, kesukuan bahkan terjebak dengan kerawanan sosial dan premanisme, sumbernya cuma satu, yaitu tidak adanya lapangan kerja dan sumber-sumber penghidupan.

Di desa, semua sumber penghidupan sudah lama menghilang. Sawah dan ladang sama sekali tidak menjanjikan. Selain biaya bertani yang amat mahal, juga harga panen sangat tidak berpihak kepada petani. Maka hanya orang bodoh saja yang hari ini hanya menggandalkan hasil bumi. Entah apa kerjanya negara dalam urusan nasib para petani. Biasanya, masing-masing pejabat sangat vokal ketika menyalahkan pejabat lain, dalam kisruhnya urusan nasib pak tani.

Lalu para pemuda lari ke kota, mengadu nasib sekenanya. Sebagian bisa usaha kecil-kecilan, tetapi sebagian besar tidak tertampung, alias pengangguran. Maka mulai berbagai kerawanan sosial muncul.

Pemuda: Doyan Tawuran

Tidak punya pekerjaan, stress, persaingan makin ketat, maka lahirlah motto, senggol hajar. Sepanjang tahun 2011 ini, kasus tawuran cukup banyak mendapat sorotan dan menjadi topik hangat ditengah-tengah masyrakat. Maraknya peristiwa kekerasan antar sesama anak sekolah merupakan fenomena sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat remaja. Sementara itu, sepanjang tahun 2011, Komisi Nasional Perlindungan anak mencatat ditemukan 339 kasus tawuran.

Kasus tawuran antar pelajar di Jabodetabek meningkat jika dibanding 128 kasus yang terjadi pada ahun 2010. KomNas Anak mencatat, dari 339 kasus kekerasan antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan  82 diantaranya meninggal dunia, selebihnya luka berat dan ringan.

Pemuda: Bodoh

KomNas Perlindungan Anak mencatat sekitar 2,5 juta jiwa anak dari 26,3 juta anak usia wajib belajar di tahun 2010 yakni  usia 7-15 tahun, belum dapat menikmati pendidikan dasar sembilan tahun. Sementara itu, 1,87 juta jiwa anak dari 12,89 juta anak usia 13-15 tahun tidak mendapatkan hak atas pendidikan.

Berbagai faktor penyebab anak tidak dapat bersekolah, antara lain sulitnya anak untuk mendapatkan akses sekolah, secara khusus anak-anak yang berada di dalam wilayah perbatasan maupun di daerah Komunitas adat terpencil serta  kurangnya kesadaran orang tua tentang arti pendidikan bagi anak dan faktor ekonomi.

Ini menunjukkan bahwa program wajib belajar pendidikan dasar bagi anak-anak belum menunjukkan keberhasilan. Amanah Undang-undang tentang kewajiban negara agar melakukan alokasi anggaran pendidikan 20% (persen) baik di tingkat pusat (APBN), dan daerah (APBD) rupanya belum memberikan dampak siginifikan bagi upaya pemenuhan hak pendidikan bagi anak.

Malah 20% APBN lebih terasa aromanya sebagai proyek bagi-bagi kue para pejabat dan tikus-tikus setianya, ketimbang tepat sasaran. Buktinya, tidak ada perbedaan signifikan dari pelajar, baik dalam hitungan kuantitas, apalagi kualitas. Dana yang disedot dengan bengis dari rakyat itu ternyata hanya untuk memperkaya segelintir orang saja, ketimbang dinikmati secara merata.

Pemuda: Pengguna Narkoba

Badan Narkotika Nasional (2006) menyebutkan bahwa 80 % dari sekitar 3,2 pengguna berasal dari kelompok usia muda, yaitu remaja atau pemuda.

Pada 2006, pasien narkoba remaja di Rumah Sakit yang khusus menangani kasus ketergantungan narkoba hanya 2000-an orang. 5 tahun kemudian, yakni pada 2011, jumlahnya sudah naik empat kali lipat. Parahnya, rata-rata pecandu narkoba berusia di bawah 19 tahun.  Tak heran jika 2006, Badan Narkotik Nasional (BNN) mengumumkan bahwa 80% dari 3,2 juta pecandu narkoba adalah remaja dan pemuda.

Sementara itu, angka siswa sekolah yang terjerat narkoba juga terus meningkat dan dalam situasi memprihatinkan. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat sebanyak 110.870 pelajar SMP dan SMA menjadi pengguna Narkotika. BNN juga melaporkan 12.848 anak siswa SD di Indonesia terindentifikasi mengkonsumsi Narkoba.

Pemuda: Koban AIDS

Narkoba sangat dekat dengan penyakit yang menjadi saudara kandungnya, yaitu HIV/AIDS. Laporan Depkes, hingga Juni 2011 tercatat 821 penderita AIDS berusia 15 – 19 tahun, bahkan 212 penderita berusia 5 – 14 tahun.

Kalau pemuda sudah kena AIDS, artinya mereka memang sudah tidak bisa lagi diharapkan di masa yang akan datang. Mereka sudah mengubur sendiri masa depannya, lewat narkoba dan AIDS. Mengasihani mereka lewat terapi dan pengobatan tentu bukan solusi utama, selama sumbernya tidak dipadamkan terlebih dahulu.

Pemuda: Gizi Buruk

Laporan 33 Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang tersebar di 33 kota propinsi diperkirakan ada 10 juta anak-anak usia balita  menderita kurang gizi, 2 juta di antaranya menderita gizi buruk. Kasus ini dapat ditemui dengan sebaran di pulau Sumatra, NTT, NTB, dan Sulawesi. Menurut data Komnas PA, di Sumatra Barat terdapat 23.000 dari total 300.000 anak usia balita terancam menderita gizi buruk dan itu juga berlangsung di beberapa daerah lainnya.

Pemuda: Nganggur Tapi Doyan Rokok

Data Susenas menunjukan Prevalensi perokok yang mulai merokok pada usia 5 – 9 tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat sepanjang tahun 2001 – 2004, sedangkan remaja usia 15 – 19 tahun meningkat sebanyak 144% selama tahun 1995 hingga 2004.

Secara rinci Susenas 2001, 2004 dan Riskesdas 2007, 2010 memberikan gambaran tren perokok pemula remaja usia 10-14 naik hampir dua kali lipat dalam waktu kurang dari 10 tahun. sementara kelompok usia 15-19 tahun naik dari 58,9% tahun 2001 menjadi 63,7% pada tahun 2004.

Pemuda & Pornografi

Sepanjang tahun 2011, KomNas menerima  22 kasus pengaduan tentang pornografi yang dilakukan anak-anak usia SMP dan SMA. Sementara itu, menurut data Yayasan Buah Hati dilaporkan bahwa 83,7 persen anak SD kelas IV dab Kelas V yang di teliti telah kecanduan pornografi.

Pemuda: Tidak Punya Akta Lahir dan Tidak Diakui Sebagai Warga Negara

Sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 28 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa mendapatkan akta kelahiran adalah merupakan bentuk pengakuan pertama negara terhadap keberadaan seorang anak. Mendapatkan hak anak atas akta kelahiran disebut juga sebagai hak Kependudukan dan kebebasan sipil.

Namun dalam kenyataannya masih ditemukan kurang lebih 50 juta anak yang tersebar di tanah air, tidak memiliki akta kelahiran, ini sama artinya secara hukum jutaan anak-anak saat ini tidak diakui sebagai warga negara Indonesia dan bahkan dengan sendirinya tidak berhak mendapat layanan dari negara. Padahal sesungguhnya mendapatkan identitas, nama dan kewarganegaraan dalam bentuk legal statusnya akta lahir yang dikeluarkan negara juga merupakan hak konstitusional anak.

Dalam kenyataannya, Badan Pusat Statistik 2010 mencatat jumlah anak usia 0-18 tahun di Indonesia sebanyak 79.729.824 orang. Dari jumlah tersebut baru 45 persen bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia yang dinyatakan  memiliki akta kelahiran.  Itu artinya dari jumlah anak tersebut diatas 55 persen anak di Indonesia belum mendapat pengakuan dan pemenuhan hak sipilnya.

Fakta menunjukkan, bagi anak yang tidak memiliki akta lahir, keberadaannya sangat rentan terhadap tindak kekerasan,  eksploitasi, serta rentan terhadap praktek-praktek manipulasi terhadap asal- usul anak. Oleh sebab itu, pencatatan kelahiran sangatlah penting dimiliki bagi anak, sebagai bagian integral dari Hak penduduk dan kebebasan sipil.

Penutup

Sayang sekali 1001 masalah ‘sampah’ pemuda ini tidak pernah diselesaikan oleh para penguasa. Mereka hanya mampu mengaku-ngaku jadi pemimpin, merasa telah berbuat adil dan merasa diri paling pandai mengatur bangsa. Padahal yang sebenarnya adalah mereka tidak punya rasa malu untuk dipilih lagi dan dipilih lagi, walau selalu gagal dan tidak pernah ada hasilnya.

Rasanya lebih tepat kalau kita ganti saja peringatan seremoni yang hanya menghabiskan dana, menjadi peringatan rakyat kepada penguasa yang zalim dan tidak punya perasaaan, yaitu peringatan hari SAMPAH pemuda. Sebagai wujud protes kita kepada para penguasa untuk mengurus sampah-sampah berserakan, ketimbang hanya sekedar menghadiri berbagai seremoni dan ritual kenegaraan.

Kalau pun masih dipaksakan juga pakai istilah sumpah pemuda, barangkali yang terdengar malah sumpah serapah dari pemuda.