Sedikit-sedikit Mudah Menuduh Kafir

Sekarang di zaman media sosial ramai orang suka tuduh orang lain kafir, Kristian, Yahudi dan macam-macam bila berbeda pendapat. Mudah buat kesimpulan tuduh orang lain keluar Islam hanya karena tidak sama pendapat dengan pihak tertentu.

Semoga Allah memelihara lidah kita semua dari kecenderungan cepat mengkafirkan atau menghukum sesat orang lain tanpa alasan yang kukuh. Persoalan kafir dan sesat bukanlah persoalan kecil, ia mengaitkan hukuman terhadap aqidah seseorang. Walaupun sesat, bukan selalu menjadi kafir, tetapi itu pun tetap berat di sisi Allah. Berikut beberapa ulasan saya dalam hal ini;

Seseorang yang zahirnya Muslim hendaklah dianggap kekal atas keislamannya sehingga terbukti secara yakin bahwa telah batal aqidahnya. Ini atas kaedah syara’: ‘Perkara yang yakin tidak boleh dihilangkan oleh syak’. Dalam arti kata lain, syak tidak boleh menghapuskan yakin. Oleh karena pada keyakinan asal kita seseorang itu Muslim, maka dia dianggap Muslim dan tidak boleh keislamannya dibatalkan disebabkan hanya sesuatu perkara yang tidak pasti atau syak.

Menuduh orang lain dengan tuduhan kafir atau sesat adalah dosa yang besar. Jika kita tahu bahwa seseorang tidak kafir atau sesat atau fasik, tetapi kita sengaja menuduh imannya yang sah itu sebagai kafir atau sesat, atau menuduh dirinya yang tidak fasik itu sebagai fasik, maka tuduhan itu kembali kepada yang menuduh. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Siapa yang memanggil orang lain dengan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah’ sedang dia tidak begitu, maka tuduhan itu kembali kepadanya (penuduh)”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Namun begitu, kita juga hendaklah sadar, di sana ada batas-batas iman dan kufur. Ini seperti siapa yang dengan jelas tanpa sebarang andaian lagi menghina Allah dan RasulNya, maka dia terkeluar dari Islam. Demikian juga jika dia menentang secara jelas tanpa sembarang andaian lagi apa yang ditetapkan oleh Allah dengan jelasnya seperti pegharaman khamr, judi, zina dan seumpamanya. Siapa yang menghalalkan perkara-perkara tersebut atau menentang pengharaman perkara-perkara tersebut dari segi hukum agama, dalam keadaan sedar dan faham maka dia keluar dari Islam.

Namun, kita hendaklah berhati-hati apabila menghukum seseorang dengan hukuman murtad atau kufur atau sesat atau seumpamanya. Ini karena, hukuman umum tidak sama dengan hukuman khusus. Hukum umum menghina hukum Islam yang jelas seperti adzan membawa murtad, tetapi individu tertentu yang menghina tidak boleh terus dihukum murtad. Hendaklah dilihat keadaannya, maksud ucapannya, kefahamannya dan berbagai latar yang lain. Mungkin dia tidak bermaksud, mungkin dia tersasul, mungkin dia jahil dan seumpamanya. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (meninggal 728H), “Sesungguhnya ucapan yang menjadikan seseorang itu kufur ialah seperti mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji. Namun, pengucapan itu mungkin karena khitab (ajaran yang betul dalam perkara tersebut) tidak sampai kepadanya. Jika perkara itu berlaku, dia tidak dianggap kafir. Contohnya, golongan yang baru menganut Islam dan hidup di daerah pedalaman yang jauh sehinggakan syariat Islam tidak sampai kepadanya.” (Majmu’at Al Fatawa, jil: 2, mhal: 220.)

Maka, tidak boleh dikafirkan seseorang melainkan setengah berlakunya iqamatul hujjah yaitu penegakan hujah atau dalil. Setelah didapati dia melanggar batasan Iman dan Islam, hendaklah dijelaskan hakikat ilmu yang sebenarnya dan ditegakkan dalil-dalil yang kukuh kepadanya sehingga dia jelas. Selepas itu, jika dia masih berkeras dalam kebodohan, dan perkataan atau perbuatan tidak boleh ditafsirkan lagi melainkan membawa kekufuran barulah hukum tersebut boleh dijatuhkan kepadanya.

Kata Syaikh Dr Yusuf Al Qaradhawi: “Hendaklah diberikan perhatian pada apa yang telah diputuskan oleh para ulama muhaqqiqun (penganalisa) mengenai kewajiban membedakan antara pribadi dan jenis dalam isu takfir (kafir mengkafir sesama Muslim). Ini bermaksud, sebagai contoh, kita mengatakan golongan komunis kafir, para pemerintah sekular yang membantah hukum syara’ atau siapa yang menyatakan begini atau menyeru kepada ini, maka dia kafir. Ini semua termasuk hukuman pada jenis. Adapun berhubung dengan perkara yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang dituduh dengan sesuatu, wajib mengambil masa untuk membuat kepastian dan ketetapan tentang hakikat sebenarnya pendiriannya. Hal ini dilakukan dengan cara menyoal atau berbincang dengannya sehingga ditegakkan hujah, tiada lagi unsur syubhat (keraguan) dan tiada lagi keuzuran untuknya. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah pernah menyebut bahwa perkataan juga boleh menyebabkan kekufuran. Secara umum, orang yang mengucapkannya dihukum kafir. Dengan berkata, siapa yang mengucap demikian (sesuatu ucapan yang membawa kepada kufur), maka dia kafir. Tetapi, individu yang mengucapkannya tidak dikafirkan sehingga dibuktikan kekufurannya”. (Al-Qaradawi, Zahirah al-Ghulu fi al-Takfir, hal: 26-27).

Dalam hadits Sayyidina ‘Ali menceritakan:

Rasulullah telah mengutuskan aku, al-Zubair bin al-‘Awwam dan Abu Marthad al-Ghanawi (kami semua adalah penunggang kuda).

Baginda bersabda, “Pergilah kamu semua sehingga sampai ke Raudah Khakh. Sesungguhnya di sana ada seorang wanita dari kalangan musyrikin. Dia membawa bersamanya surat daripada Hatib bin Abi Balta`ah kepada musyrikin.”

Maka kami pun mengejarnya. Dia menaiki unta seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kami berkata kepadanya: “Manakah surat yang bersama engkau!”

Dia menjawab, “Kami tidak membawa surat apapun.”

Maka kami pun mendudukkan dan memeriksa wanita itu. Namun, kami tidak mendapatkan surat apapun. Kami berkata, “Rasulullah tidak pernah berdusta, engkau keluarkan surat tersebut atau kami akan telanjangkan engkau!”

Apabila dia melihat kesungguhan kami maka dia pun lalu membuka simpulan kainnya. Dia pun mengeluarkan surat tersebut, lalu kami terus membawa surat itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Baginda bersabda (kepada Hatib), “Apa yang mendorong tindakanmu?”

Kata Hatib, “Demi Allah, bukan aku tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aku tidak menukar dan mengubahnya. Tetapi aku ingin mendapatkan bantuan daripada kaum (Quraisy). Dengannya Allah akan menyelamatkan keluarga dan hartaku. Tidak ada seorang pun di kalangan sahabatmu yang tidak mempunyai kaum kerabat di sana di mana dengannya Allah selamatkan keluarga dan hartanya.”

Sabda baginda, “Dia benar! Janganlah kamu berkata kepadanya melainkan yang baik.”

Umar berkata, “Sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, biar aku pancung kepalanya.”

Baginda bersabda, “Bukankah dia di kalangan anggota Perang Badar?”

Sabdanya lagi, “Mudah-mudahan Allah melihat pada ahli Perang Badar dan berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kamu suka. Sesungguhnya telah dijamin untuk kamu syurga.’

Maka menangislah Umar seraya berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. (Riwayat al-Bukhari).

Lihatlah bagaimana baginda masih bertoleransi dengan keadaan terdesak yang dihadapi oleh Hatib. Baginda tidak terus menghukum sebelum mengetahui keadaannya. Sikap umpama itulah yang dilakukan oleh baginda dalam kasus-kasus lain.

Kita hendaklah wara’ dalam masalah ini. Jangan terpengaruh dengan golongan yang fanatik yang suka menghukum orang lain dengan hukuman kafir dan sesat atas kepentingan tertentu.

Ustadz Prof. Dr. Muhammad Asri Zainul Abidin