Sekolah Tiga Bulan

Seorang ustadz dalam sebuah forum kajian tetiba melayangkan sebuah pertanyaan, “Umur berapa sekarang anak-anak mulai sekolah?”

Para peserta forum bergumam, ada yang menjawab 5 tahun sudah masuk SD. Peserta lain mengatakan 4 tahun sudah boleh masuk Taman Kanak-Kanak. Lebih ekstrim lagi ada peserta yang menjawab, 2 tahun sudah boleh ikut PAUD atau Taman Bermain.
Jawaban sang ustadz diluar perkiraan.

“Salah! Saat ini tidak hanya hitungan tahun yang digunakan namun juga hitungan bulan. Saya beberapa kali menemukan ibu muda yang bekerja menitipkan anaknya yang baru saja berumur 3 bulan ke Tempat Penitipan Anak (TPA).”

Sebagian peserta forum tertampar. Menunduk dalam-dalam. Beberapa seolah tersentak, menyadari hal yang selama ini tidak pernah dipikirkannya. Sambil manggut-manggut, raut wajah mereka seolah berkata, “Oh iya ya.”

Menyedihkan kalau kita melihat fenomena yang terjadi saat ini. Seperti lingkaran yang saling menghubungkan satu sama lain. Ketika ibu harus bekerja maka masa keemasan anak yang menjadi taruhannya. Ruwet seperti benang yang saling bersilangan.

Kesadaran kebanyakan perempuan saat belum terbentuk. Banyak perempuan yang saat belum menikah, tidak mempersiapkan diri menjadi ibu. Akhirnya siap menikah (baca: tidak siap menjadi jomblo), namun belum terpikir konsekwensi setelahnya. Hingga kemudian mimpi yang dibangun adalah, seteleh menikah ya tetap kerja full time. Terlebih lagi bila sang suami dirasa belum berpenghasilan yang berlebih. Mind set bahwa kebutuhan dua orang itu lebih besar dibandingkkan satu orang terus menghantui. Anak? Kan ada tempat penitipan.

Lebih menggiurkan lagi, saat ini banyak tempat penitipan anak yang memberikan fasilitas plus-plus. Pagi-pagi anak diantarkan dalam kondisi belum mandi, saat sore hari anak dijemput sudah berbau wangi, rambut licin, wajah putih berbedak. Sampai dirumah orang tua yang lelah hanya bisa menyempatkan sedikit waktu untuk bermain dengan anak. Setelah itu semuanya terlelap. Ini berulang seperti reka adegan setiap harinya.

Akhirnya banyak ayah dan ibu yang kehilangan perannya. Ibu yang seharusnya menjadi madrasah pertama, peletak nilai-nilai dasar ketauhidan (tanpa terlepas dari peran ayah), lupa bahwa anak bukan sekedar butuh makan untuk hidup. Namun nilai-nilai hidup itu sendiri. Memang beberapa tempat penitipan anak ada yang pengasuhnya paham agama dengan baik, beradab dan berperilaku sopan dan tidak menyimpang. Namun, bukankah lebih baik bila kesan baik itu didapatkan dari orang tua yang bertanggungjawab atas kehadirannya di dunia.

Lebih-lebih sangat jarang menemukan pengasuh laki-laki di TPA. Akhirnya kebanyakan bayi laki-laki lebih banyak bergaul dengan pengasuh perempuan. Hal ini kalau dibiarkan terlalu lama tentu saja berakibat kurang baik. Setiap anak terutama anak laki-laki perlu contoh bagaimana bersikap tegas dan bertanggungjawab dan ini biasanya didapatkan dari ayah. Lalu bagaimana jadinya kalau anak lebih sering berinteraksi dengan pengasuh perempuan.

Lalu bagaimana solusinya?

Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah, menanamkan jiwa entrepreneur pada diri perempuan. Sehingga mind set pekerjaan yang dipikirkan dan direncanakan adalah pekerjaan yang tidak mengganggu kewajiban menjadi ibu bagi anak-anaknya. Misalnya membuat kerajinan tangan, jualan on line, atau menulis. Pekerjaan-pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus keluar rumah dan meninggalkan anak.

Solusi yang lain ketika ibu memang benar-benar harus bekerja di luar rumah adalah mencari tempat kerja yang memungkinkan untuk sering mengunjungi anak di sela-sela jam kerja. Kalau pun terpaksanya harus menitipkan anak, paling tidak anak tidak dititipkan kepada orang lain, tapi dititipkan ke keluarga terdekat. Misalnya orang tua.