Senyumnya Menguatkan Pijakanku

Silaturahim, sebagaimana dijanjikan Nabi, tentulah mengandung berbagai hikmah. Diantaranya adalah melancarkan rejeki. Rejeki berupa materi, maupun rejeki dalam bentuk keumumannya, baik berupa ilmu, kelapangan hati atau diberkahinya kehidupan para pelaku silaturahim.

Sekitar dua pekan lalu, kondisi perasaan saya ‘agak’ labil. Banyak masalah. Masalah terkait pekerjaan, keluarga, dan sebagainya. Ketika itu, kondisi hati agak kurang menentu. Singkatnya, ketika itu saya begitu memikirkan apa yang tengah menimpa kehidupan saya, tanpa mau berkaca kepada apa yang tengah dialami oleh orang lain.

Maka, Allah menegur saya lewat sebuah pemandangan tiga anak kecil yang saban hari terlihat selalu bersama ketika shalat berjamaah di masjid. Mereka terlihat aneh. Wajah mereka seperti menanggung beban yang berat. Anehnya, senyum mereka itu begitu tulus, sehingga hati ini sejuk ketika memandangnya. Maka, kucari tahu siapa sebenarnya ‘tiga serangkai’ itu.

Usut punya usut, ternyata ketiganya adalah yatim piatu. Kedua orang tuanya telah dipanggil oleh Allah dalam waktu yang berdekatan, hanya selisih beberapa bulan.

Setelah mengetahui hal tersebut, saya kemudian mengkoordinir teman-teman sekontrakan untuk menyumbang barang beberapa rupiah untuk diberikan kepada ketiga yatim piatu tersebut.

Alhamdulillah, teman-teman begitu antusias. Setelah terkumpul, kami memutuskan untuk membelikan tiga porsi ayam goreng lengkap dengan nasinya, dua buah Al Qur’an terjemahan dan sisanya berupa uang tunai untuk biaya keseharian mereka.

Tepat selepas maghrib, saya dan kedua teman meluncur ke rumah mereka. Dua buah Al Qur’an terjemahan dan tiga porsi ayam goreng sudah kami tenteng beserta amplop berisi uang tunai yang saya letakkan di saku celana. Tak lama, kami sampai di depan rumahnya. Ketika hendak mengetuk pintu dan mengucap salam, ada ragu yang menyelinap. Takut salah rumah.

Alhamdulillah, ternyata benar. Ketiga sosok inspirator yang biasa saya jumpai di masjid itu tengah sibuk belajar Iqro’. Kamipun masuk dengan disambut senyum dan jabat tangan dari mereka. Ternyata, mereka tinggal bersama bude, paman dan kedua kakak perempuannya. Berarti, “ Tiga porsi ayam goreng yang kami bawa kurang,” kata batinku.

Kami dipersilahkan duduk. Barang bawaan tersebut, langsung kami serah terimakan. Hati ini seketika diguyur kesejukan yang menenangkan ketika ketiga inspirator dan keluarganya itu mengucapkan, “Terima kasih Om, semoga Allah memberi balasan terbaik.” Perasaan saya mengharu biru, ada air mata yang tertahan. Meski pemberian kami tak seberapa, setidaknya itu bisa membuat mereka tersenyum lega.

Setelah ngobrol sejenak, kamipun pamit karena waktu hampir Isya’. Kepergian kami diiringi dengan senyum dan jabatan tangan erat mereka. Dengan membagi senyum termanis yang kami miliki, hati ini berujar lirih, “Doakan kami dik, agar bisa belajar dari ketegaran kalian.”

Setelah menempuh perjalanan sekitar 50 meter, ada sesuatu yang aneh. Tanpa sengaja, tangan saya menyentuh sebuah benda di saku celana. Dengan mengucap istighfar, kedua teman saya kemudian berhenti seraya bertanya, “Kenapa Mas?” Sambil tertawa, saya berkata, “Amplopnya lupa, belum diberikan.” Kemudian, kami bertiga berbalik arah ke rumah mereka. Kembali mengucap salam dan mengetuk pintu. Seisi rumah kaget, karena kami yang baru datang, seketika kembali. Sebelum mereka bertanya, saya menyodorkan amplop itu kepada salah satu dari ketiga inspirator tersebut sembari berucap, “Maaf. Saking asyiknya ngobrol sampai lupa. Hehe.” Seisi rumah kemudian menyambut dengan tawa, senyum hangat dan doa tulus, ‘Terima kasih Om, semoga dimudahkan jodohnya ya…” Kamipun mengamini dalam diam. Benar-benar silaturahim yang menyejukkan hati. Penuh berkah, berlimpah nikmat. Mau?

*Dimuat di Majalah Tarbawi Edisi 263, Rubrik Kiat – Silaturahim Halaman 64.