Spekulasi

Bagi seorang Muslim, tuntunan wahyu adalah hal yang teramat penting dalam memahami persoalan agama. Sebab, hanya dengan wahyu itulah kita mampu mengenal Tuhan, sedangkan pemahaman mengenai Tuhan itu adalah konsep dasar yang membentuk keseluruhan cara pandang kita terhadap diri dan hidup kita, dan praktis segala sesuatu yang kita jumpai di dunia ini.

Umat Muslim patut bersyukur karena dibimbing oleh wahyu. Mereka tidak dibiarkan ‘kebingungan’ dan mengira-ngira dalam segala hal tentang Tuhannya. Umat Muslim tidak terpaku pada spekulasi filosofis seperti bangsa Yunani kuno; mereka melihat dunia ciptaan Tuhan, dan karenanya mereka meyakini keberadaan Tuhan, namun mereka tidak lagi bertemu dengan wahyu-Nya. Oleh karena itu, mereka pun berspekulasi: Tuhan itu ada dan telah mencipta, namun setelah itu Dia diam. Nenek moyang mereka pun sejak lama telah berspekulasi pula. Sebelum segala sesuatunya, hiduplah bangsa Titan, yang kemudian melahirkan Zeus, Neptunus dan Hades, lalu ketiganya kemudian menggulingkan kekuasaan para Titan dengan suatu muslihat, kemudian dengan suatu muslihat pula Zeus mengasingkan Hades ke dunia kegelapan (underworld). Zeus kemudian menjadi raja dari segala dewa yang masing-masing memiliki job description-nya masing-masing, dan tentu saja lama kelamaan mereka pun memiliki motif politisnya masing-masing. Maka para dewa di bawah kepemimpinan Zeus pun saling bermuslihat. Tapi Zeus tidak hanya mengurusi dunia para dewa, sebab secara berkala ia turun ke Bumi dan menghamili perempuan-perempuan hingga akhirnya melahirkan manusia semi-dewa seperti Hercules. Manusia pun kemudian menyembah para dewa secara terpisah, bahkan ada yang lebih mengkhususkan satu dewa daripada yang lainnya. Muncul anggapan bahwa antara manusia dan dewa terdapat simbiosis mutualisme: manusia menyembah dewa-dewi untuk mendapatkan keberkahan darinya, sedangkan penyembahan manusia dibutuhkan oleh para dewa-dewi agar kekuatannya tetap terpelihara. Itulah sebabnya para dewa akan marah kalau manusia lalai menyembahnya. Dari mana kisah yang luar biasa absurd ini berasal? 100% spekulasi!

Umat Kristen, yang agamanya telah mengalami begitu banyak sinkretisasi dengan ajaran Pagan dari bangsa Romawi, mewarisi kebiasaan berspekulasi yang sama. Mereka membangun konsep trinitas murni dari spekulasinya sendiri, sebab ‘wahyu’ yang terkumpul dari kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama sekali tak pernah membicarakannya, bahkan pernyataan langsung dari lisan Yesus yang menyebut dirinya sebagai anak Tuhan pun tidak ada. Maka hingga detik ini, doktrin trinitas hanya bisa dipahami dengan kata-kata “Credo ut intellegam” (aku beriman supaya aku mengerti), “Credo quia absurdum” (aku beriman justru karena doktrin itu absurd), dan “De mysterio Trinitatis recta confession est ignoratio scientia” (misteri trinitas hanya dapat diimani dengan mengakui bahwa kita tidak bisa memahaminya).

Agama Yahudi pun tidak jauh berbeda. Mereka mengenal sebuah nama yang (secara spekulatif) dianggap sebagai nama Tuhan, yaitu “YHWH”, yang (secara spekulatif) dibaca sebagai “Yahweh”. Semua penafsiran ini adalah spekulatif belaka, karena sejak berabad-abad lamanya tak pernah ada yang membaca nama ini, meskipun ia terus dituliskan. Bacaan vokal diselipkan begitu saja di antara keempat huruf konsonan, menghasilkan sebuah nama yang – tentu saja – murni spekulasi.

Sebagian agama mengaku menerima ‘wahyu’, namun mereka bahkan tak dapat menemukan nama agamanya sendiri dari ‘wahyu’ tersebut. Agama Hindu pada hakikatnya tidak memiliki nama. Hindu dan India (Hindi) berasal dari nama yang sama, yaitu nama yang diberikan berdasarkan tempat lahirnya peradaban tersebut, yaitu di sekitar Sungai Indus. Nama itu pun tidak didapatkannya dari dewa-dewinya yang sangat banyak itu, melainkan dari orang-orang Persia. Karena peradaban ini ditemukan di sekitar Sungai Indus, maka mereka pun dikenal sebagai orang-orang Hindi; nama itu menjadi identitas mereka, baik identitas keagamaan maupun kebangsaan. Bagi masyarakat Hindu, memisahkan identitas keagamaan dengan kebangsaan memang bukan perkara mudah, sebab agamanya pun berbeda-beda berdasarkan wilayahnya. Jangan pernah membayangkan bahwa agama Hindu yang ditemukan di Bali sama persis seperti yang di India. Bahkan agama Hindu di India pun hingga hari ini masih terus berkembang tanpa keterkaitan satu sama lainnya.

Agama Budha, yang juga lahir di India pada masa sesudah kelahiran Hindu, juga tidak memiliki nama yang jelas dan konsep ketuhanan yang jelas. Sidharta Gautama bersemedi di bawah Pohon Bodhi, kemudian ia mendapat pencerahan dan menjadi Budha. Sesungguhnya Sidharta Gautama tidak menjadi Tuhan, namun menjadi Budha. Umat Budha tidak menyembah Sidharta Gautama, melainkan meneladani segala ajarannya, agar mereka pun bisa mendapat pencerahan yang serupa dengannya.

Nama “Kristen” (Christian) juga diberikan oleh musuhnya, yaitu bangsa Romawi. Sebelumnya, umat ini tidak mengenal nama agamanya sendiri. Di Timur Tengah, ia dikenal dengan nama lainnya, yaitu Nasrani. Nama ini pun tidak didapatkan dari wahyu atau dari para pemeluknya sendiri, melainkan dari masyarakat luas. Karena mereka berasal dari Nashirah (Nazareth), maka mereka pun diberi nama “Nasrani”. Demikian pula kaum Yahudi memperoleh nama dari salah satu putra Nabi Ya’qub as yang konon bernama Yehuda. Nama “Nasrani” dan “Yahudi” pada akhirnya justru kurang mencerminkan identitas keagamaan, karena yang pertama hanya merujuk pada kampung halaman, sedangkan yang kedua merujuk pada seorang tokoh yang dijadikan teladan.

Islam, alhamdulillaah, terbebas dari segala macam spekulasi tak berujung seperti itu. Konsep ketuhanan dalam Islam, yang dikenal dengan sebutan “tauhidullaah”, adalah konsep yang begitu mudah diterima akal dan memang yang paling masuk akal. Begitu masuk akalnya hingga seluruh agama pun kini ingin diakui sebagai agama monoteis, termasuk agama Kristen yang berkomitmen pada trinitasnya dan agama Hindu yang jumlah dewanya masih bertambah terus. Begitu mudahnya mengajukan argumen bahwa Tuhan itu satu, bukan dua, tiga, atau lebih.

Wahyu yang diterima oleh umat Muslim pun telah menjelaskan bahwa Allah tidaklah seperti ‘Tuhan’ dalam bayangan bangsa Yunani kuno. Allah ada, Allah menciptakan, dan Allah tidak tinggal diam, bahkan Dia senantiasa dalam kesibukan, meskipun Dia tak pernah menjadi terlalu sibuk sehingga tak sempat lagi mengurus kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Allah SWT mengetahui segala hal yang terjadi di seluruh pojokan alam semestanya, baik yang tersembunyi di balik batu maupun yang tenggelam di dasar samudera, baik yang terwujud oleh tangan manusia maupun yang disimpan dalam hatinya. Kekuasaan Allah tidak terbatas pada pengetahuan-Nya saja, karena seluruh makhluk-Nya pun bergantung pada kehendak-Nya. Apa pun yang Dia kehendaki niscaya terjadi dan tak mungkin dicegah.

Allah SWT bukan anak siapa-siapa dan tidak pernah memiliki anak, baik yang statusnya ‘sama-sama Tuhan’ atau ‘separuh Tuhan’. Memiliki anak adalah kebutuhan makhluk yang masa hidupnya terbatas, dan dengan berkembang biak itulah mereka mewariskan sifat-sifat dan pandangan hidupnya. Tidak ada keraguan sedikit pun dan tiada spekulasi secuil pun dalam hal ini, dan setiap Muslim tak pernah mengenal adanya anak-anak Allah, baik dalam makna sebenarnya maupun secara metaforis.

Umat lain tak habis-habisnya berspekulasi tentang Tuhannya, sehingga mereka harus menggunakan seni untuk memahami Tuhannya sendiri. Lihatlah bangsa Eropa yang menciptakan lukisan-lukisan indah untuk menggambarkan berbagai peristiwa dalam Bibel atau umat Hindu yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan dalam berbagai wujud dewa-dewinya. Akan tetapi, umat Islam sudah terbiasa mengenal Tuhannya secara abstrak; kita tak pernah menggambarkan-Nya dalam bentuk apa pun. Jangankan dengan lukisan atau ukiran, dengan kata-kata pun kita tidak bisa melakukannya! Karena Tuhan itu hanya satu, dan tak ada sesuatu pun yang bisa menandingi-Nya atau serupa dengan-Nya dalam hal dzat, sifat dan perbuatan, maka semua usaha untuk menggambarkan Tuhan pun menjadi absurd belaka. Bagaimana manusia bisa menggambarkan Tuhan, padahal Tuhan tidak mirip dengan apa pun yang pernah dijumpainya? Padahal, seabstrak-abstraknya lukisan, ia pastilah meniru bentuk dan warna dari benda-benda yang pernah dijumpai pelukisnya.

Umat  Muslim mengenal Allah sebagaimana Dia memperkenalkan diri-Nya sendiri. Tidak ada yang berspekulasi tentang Allah, karena segala jenis spekulasi dalam hal ini pastilah tidak masuk akal. Betapa jelas, indah dan masuk akalnya al-Qur’an memperkenalkan Allah SWT dalam empat ayat yang menentramkan hati setiap orang yang beriman: “Qul huwallaahu ahad. Allaahush-shamad. Lam yalid wa lam yuulad. Walam yakun lahuu kufuwan ahad.”

Bagian mana yang belum jelas?