Standar Ganda Google Sebagai Raja Dunia Maya

Perut Cindy Lee Garcia mendadak kram. Jantungnya berdebar hebat. Tubuhnya lunglai. Dia merasa ingin menghilang dari dunia. Kabar maut dari Libya itu membuatnya terguncang. Selasa malam, 11 September 2012 lalu, Duta Besar AS untuk Libya, Christopher Stevens, dan tiga stafnya tewas akibat serangan roket dan berondongan senapan. Aksi massa yang marah itu dipicu oleh cuplikan film melecehkan Islam, “Innocence of Muslims”.

Dia merasa sangat takut. Wajahnya jelas terpampang dalam video 14 menit yang bikin dunia geger itu.  Di sana dia berperan sebagai ibu dari gadis 12 tahun yang akan dinikahkan dengan lelaki tua, “Tuan George”.

“Apakah ‘Tuan George’ itu pencabul anak? Putri kita masih anak-anak. Sementara ia berusia 55 tahun,” ujar Garcia dalam film tersebut. Dia agak murka saat melakoni adegan itu.

Perempuan 55 tahun itu kini tak menyangka film yang awalnya berjudul “Dessert Warrior” itu berubah menjadi  “Innocence of Muslims”. Lalu sang “Tuan George” itu disulih suara menjadi Muhammad, nabi junjungan umat muslim.

Garcia merasa ditipu. “Saya tidak pernah menyebut kata “Muhammad” dalam pengambilan gambar, tapi “Tuan George”,” kata dia, seperti dimuat Hollywood Reporter.

Dia tak pernah sekalipun mengucap kata “Muhammad” atau “muslim” selama pengambilan gambar di sebuah bangunan berlatar hijau di Hamilton Road, Duarte, California. Prosesnya biasa saja. Ada juru kamera, tim make up, banyak kostum termasuk janggut palsu, dari tipis sampai menjuntai lebat. Garcia masih ingat, seorang aktris berusia 20 tahun dipaksa berperan sebagai bocah kecil, jadi “anaknya”.

“Saat saya ikut casting, mereka mengatakan itu adalah film aksi, sebuah epik sejarah dengan setting 2.000 tahun lalu di tengah gurun pasir. Ada serdadu, pertempuran, dan Tuan George yang dikhianati istrinya akhirnya terbunuh,” kata dia.

Film itu mengecewakan: berkualitas rendah, murahan, dan amatir. Teknik montasenya buruk, para pemain seperti ditempelkan begitu saja dalam setting padang pasir. Mereka terlihat melayang ketimbang berpijak ke tanah.

Lebih dari itu, film sarat kebencian itu telah menyebabkan nyawa melayang. “Banyak orang tewas karena film di mana saya ikut berperan di dalamnya. Itu membuat saya muak,” kata dia.

Hidup Garcia pun terancam. Risiko itu jauh dari bayaran yang ia terima, US$500 untuk syuting dan editing yang tak sampai makan waktu sepekan. Ancaman mati membanjiri laman jejaring sosialnya. “Mereka mengancam akan menyembelih saya, membunuh saya dan keluarga,” kata Garcia seperti dimuat New York Daily News. Ia dan keluarganya terpaksa harus bersembunyi. Dia juga tak berani menemui cucu kesayangannya takut bocah kecil itu ikut terancam.

Garcia adalah aktris pertama yang berani tampil dan bicara, baru setelah itu pemain film dan kru merilis sebuah pernyataan kepada CNN, mereka mengaku sebagai korban penipuan, dan tidak tahu sejatinya film itu adalah alat propaganda.

Menggugat Google

Itu sebabnya, demi menyelamatkan hidup dan karirnya, Garcia lalu menempuh jalur hukum. Dia menggugat Nakoula Basseley Nakoula alias Sam Bacile di Pengadilan tingkat negara bagian Los Angeles.  Lelaki itu dianggapnya telah melakukan tipu muslihat dan membuat hidupnya terancam.

Lalu Garcia juga menggugat situs video sosial YouTube, dan perusahaan induknya, raksasa internet Google Inc. Dua korporat itu dianggap ikut menyebarkan film anti-Islam. Ia minta cuplikan film itu dihapus dari YouTube.

Namun, upaya pertamanya kandas, hakim Luis Lavin menolak. Alasannya, tidak ada gugatan dari orang yang di balik film itu, dan tidak ada kesepakatan antara Garcia dan pembuat film. Hakim juga mengutip hukum federal yang melindungi pihak ketiga dari akibat konten yang ia tangani.

Garcia tak menyerah. “Kami akan mencabut gugatan di tingkat pengadilan negara bagian. Tapi kami akan mengajukannya lagi hari ini di pengadilan federal,” kata pengacara Garcia, Cris Armenta, di acara “Today Show” stasiun televisi NBC pada Senin 24 September 2012. “Klien saya punya klaim hak cipta. Kami ingin menegakkannya,” ujar Armenta.

Armenta menilai para distributor konten pihak ketiga, dalam hal ini YouTube dan Google, tidak bisa lepas tangan. Mereka harus bertanggungjawab atas materi di media itu. “Menurut saya, kita harus perjelas, Google dan YouTube telah berbuat salah. Mereka sudah menyatakan dalam aturan dan panduan mereka bahwa materi yang mengandung kebencian tidak diperbolehkan,” kata Armenta.

“Bagaimana bisa film ini tidak digolongkan materi yang mengandung kebencian? Bagaimana bisa ini tidak salah, baik secara moral, intelektual, dan legal?” dia menambahkan.

Gugatan ke arah Google tak hanya datang dari Garcia. Di Brazil, di negara minoritas muslim itu, pengadilan meminta Google menghapus film The Innocence of Muslims itu dari YouTube. Vonis dijatuhkan pada Rabu, 26 September 2012. Pengadilan Sao Paulo, Brazil memberi waktu 10 hari pada situs video sharing itu. Jika tidak, perusahaan induk YouTube, Google terancam denda US$5.000 per hari, selama video itu masih bisa diakses di Brazil.

Keputusan itu menjawab gugatan yang diajukan komunitas muslim, National Union of Islamic Entities yang mengatakan Innocence of Muslims melanggar konstitusi dan kebebasan beragama.

Protes film Innocence of Muslims tak hanya menyasar Kedubes AS hingga restoran cepat saji, tapi juga di dunia maya. Targetnya adalah Google dan YouTube. Aktivis di negara-negara Arab juga terlibat secara massif meluncurkan kampanye di Facebook, mengklaim Google masih membuat tautan ke sejumlah link film anti-Islam, yang masih bisa diakses di sejumlah negara Arab. Kampanye boikot, termasuk ajakan mengubah gambar profil di Facebook, digencarkan untuk mendukung aksi ini.

Para peretas tak mau ketinggalan. Seperti dimuat situs infosecurity magazine, kumpulan hacker muslim Arab “Electronic Army”,  mereka menyerang sejumlah website. Umumnya domain dari Brazil, sebagai respon atas aksi penghinaan itu.  Sebuah grup yang menamakan dirinya ”Cyber fighters of Izz ad-din Al qassam”  bahkan mengancam akan menyerang situs Bank of America, CHASE, dan New York Stock Exchange.

Google Bias?

Tapi Google sepertinya tak akan surut. Mesin pencari nomor wahid itu, tampaknya mau bersiteguh sebagai pembela kebebasan berekspresi.  Mereka menolak permintaan Gedung Putih agar meninjau kembali keputusan untuk tetap menayangkan film kontroversial itu di YouTube.

Google mengatakan hanya akan membatasi cuplikan video itu di sejumlah negara. Itu pun untuk mematuhi hukum setempat , bukan respon atas tekanan politik. “Kami membatasi akses di negara-negara di mana itu adalah ilegal, seperti India dan Indonesia, serta di Libya dan Mesir, mengingat situasi yang sangat sensitif,” kata Google.

Eric Schmidt, bos Google, membela keputusan video itu tetap ada di YouTube. Bicara dari Seoul, Korea Selatan, dia menekankan video murahan itu sudah cukup syarat sebagai materi yang boleh diposting ke situs itu. “Google punya pandangan sangat jelas soal ini. Kami percaya jawaban dari, “bad speech is more speech”,  balas perkataan yang buruk dengan perkataan,” kata dia, seperti dimuat Times of India, Kamis 27 September 2012. Jadi, blokir bukanlah pilihan.

Google menegaskan bahwa mereka tidak mendorong video itu untuk kebencian, kekerasan, atau apapun. “Kami secara terbuka yakin, respon terbaik adalah mengeluarkan pendapat, bukan cara lain.” Dia menambahkan, sejumlah negara tak setuju dengan video itu, dan Google pun memblokir aksesnya di YouTube.

Tapi mengapa Google tetap bersikukuh? Padahal, seperti dimuat BBC, Juni lalu, Google telah menghapus 640 video dari YouTube selama paruh waktu kedua 2011. Alasannya, video itu diduga mempromosikan terorisme, sesuai laporan Asosiasi Polisi Inggris.

Dalam Laporan Transparansi yang dikeluarkan tiap bulan, Google juga mengaku telah menolak banyak permintaan dari otoritas internasional.  Salah satunya, Kantor Paspor Kanada. Permintaan agar video yang menampilkan warga Kanada mengencingi paspor dan menyiramnya di toilet dihapus, ditepis.

Google juga menolak menghilangkan enam video YouTube yang berisi sarkasme terhadap tentara dan politisi senior Pakistan, yang datang dari Kementerian Teknologi Informasi Pemerintah Pakistan.

Tapi pada kasus lainnya, Google tak tinggal diam. Situs itu misalnya mengenyahkan 100 video YouTube di Thailand, yang diduga menghina monarki. Penghinaan atas raja Thai adalah sebuah kejahatan di Negeri Gajah Putih. Google juga menghilangkan video pidato kebencian yang diunggah ke YouTube dari Turki.

Tak hanya menuai protes. Google bahkan sudah kerap kali dilaporkan ke berbagai pengadilan. Dari 461 perintah pengadilan dari gugatan yang meliputi 6.989 item, hanya  68 persen yang dituruti. Sementara dari 546 permintaan informal yang meliputi 4.925 item, hanya 43 persen yang diterima.

Dari negeri Barat, permintaan berbau politik justru lebih kental. Analis senior kebijakan Google, Dorothy Chou, mencontohkan Spanyol yang minta menghilangkan 270 hasil pencarian terkait ke blog dan artikel di koran merujuk kepada individu dan tokoh publik, termasuk wali kota dan jaksa. Juga Polandia yang ingin menghapus tautan ke situs yang mengkritik pemerintah. Dalam soal inilah Google tak mundur sesenti pun. “Kami tidak akan menuruti permintaan semacam itu.”

Lalu, apa saja yang dilarang? Untuk YouTube, larangan keras berlaku bagi konten seksual yang gamblang, penyiksaan binatang, penyalahgunaan obat, minum minuman keras, dan merokok anak di bawah umur. Atau yang tutorial berbahaya misalnya pembuatan bom. Juga yang mengandung kebencian.

Tapi Innocence of Muslims, yang memicu protes massal, merenggut nyawa lebih dari 30 orang, tidak dianggap sesuai kriteria konten yang dilarang.

Soal itu, Boris Volkhonsky, pakar dari Russian Institute for Strategic Studies punya pendapat lain. Ia menilai, ada standar ganda yang diterapkan negara Barat. Dia mencontohkan perlakuan foto topless Kate Middleton dengan kartun Nabi yang dimuat Charlie Hebdo. Pengadilan Prancis memenangkan gugatan Kerajaan Inggris, menyita seluruh foto, dan mengancam akan menuntut mereka yang masih menyimpannya. Sementara tak ada tindakan hukum pada majalah itu.

Volkhonsky mengatakan, jika demikian adanya, dia bisa paham, dan setuju sikap Perdana Menteri Pakistan, Raja Pervez Ashraf.  Pervez mengatakan kebebasan berbicara telah digunakan di banyak negara melukai perasaan umat beragama. “Ia meminta muslim bergandengan tangan dengan pemeluk agama lain, agar menjamin penghormatan atas perasaan semua umat, apapun agama mereka.”