Syaikh Al Azhar dan Kudeta Mesir

Sikap yang diambil oleh Syaikh Al Azhar DR. Ahmad Ath Thayib, yang sejalan dengan rencana kaum sekuler Mesir, dan antek-antek mantan presiden terguling Husni Mubarak, untuk mengudeta presiden yang sah DR. Muhammad Mursi, yang berlatar belakang Islami, telah membuat banyak kalangan berbeda pendapat dalam memberi penilaian terhadap sosok simbol tertinggi Universitas Al Azhar itu.

Merupakan suatu yang mesti terjadi, bila banyak kalangan melempari beliau dengan bermacam bentuk cacian, paska pernyataan dukungan beliau terhadap kudeta tersebut. Dan suatu hal yang wajar juga, bila ada banyak kalangan juga yang melakukan pembelaan terhadap sosok simbol tertinggi Al Azhar itu.

Ada beberapa analisa yang mungkin diutarakan ke publik mengenai sebab mengapa Syaikh Al Azhar mendukung rencana kudeta militer terhadap presiden Mursi yang sah itu.

Berlatar Belakang Sufi

Bila kita kembali melihat basic sosial keilmuan sosok Syaikh Al Azhar yang bernama Ahmad Ath Thayib itu, maka beliau berasal dari keluarga Sunni yang menganut aliran sufi. Dan beliau sekarang, selain sebagai Syaikh Al Azhar, juga sebagai ketua salah satu tarikat sufi mengantikan almarhum ayahnya. Sebagaimana dimaklumi, bahwa penganut aliran sufisme, yang erat kaitannya dengan pembersihan hati dan jiwa, tidak condong pada perkara politik yang sangat identik dengan keduniaan dan perebutan kekuasaan.

Dari latar belakang pendidikan, Syaikh yang dulu punya cita-cita menjadi pilot itu, merupakan sosok orang yang dikenal pintar semasa duduk di bangku kuliah, tepatnya di jurusan Aqidah Filsafah. Termasuk karena kepintarannya itu, setelah mendalami bahasa Perancis-nya di kantor Peradaban Perancis di Kairo. Beliau melanjutkan pendidikan S-3 nya ke Paris, di Sorbonne Universiti Perancis. Tidak tertutup kemungkinan faktor lingkungan Barat, dan pindidikan beliau selama di Perancis, sedikit banyak memberi pengaruh di dalam diri beliau akan tidak perlu dikait-kaitkannya politik dengan Islam, yang identik dengan cinta dan kedamaian. Dan presiden Mursi di sokong oleh partai-partai Islam.

Secara karir, Syaikh yang bermazhab Maliki ini tergolong sosok yang sangat cepat sampai ke puncak karir tertinggi. Dari sosok yang tidak begitu terkenal di kalangan pelajar asing Al Azhar, sepulangnya dari Pakistan dalam rangka kontrak mengajar di Universitas Islam Antar Bangsa-Pakistan, tahun 2002, Syaikh yang lahir di Qina-Mesir pada tanggal 6 januari 1946 (67 tahun) itu, dinobatkan sebagai Mufti Mesir.

Tidak lama menjabat sebagai mufti, tepat pada tanggal 28 September 2003, beliau diangkat sebagai rektor universitas Al Azhar. dan menurut pengamatan banyak kalangan, banyak kemajuan yang beliau lakukan semasa menjabat sebagai rektor, yang paling menonjol diantaranya adalah pelaksanaan seminar tahunan alumni Azhar di seluruh dunia, dan penerapan biaya non pendidikan bagi yang melanjutkan program belajar ke pasca sarjana.

Anggota Hizbul Wathan

Selain jabatan itu, beliau juga merupakan anggota partai Hizbul Wathani, yang diketuai oleh mantan presiden Husni Mubarak. Bidang yang diamanahkan pada beliau oleh partai itu adalah sebagai anggota Bidang Amanat Perpolitikan partai.

Karir tertinggi beliau sebagai Syaikh Al Azhar, diperoleh setelah meninggal Syaikh Al Azhar Muhammad Sayyid Thanthawi. Dan posisi yang sejajar dengan Perdana Menteri ini, diserahkan langsung oleh mantan presiden Husni Mubarak pada tanggal 19 maret 2010.

Jika kita kembali mengulangi pertanyaan di atas, tentang sebab mengapa Syaikh Al Azhar menyetujui kudeta militer terhadap presiden Mursi yang memenangi pemilu dengan jumlah suara 52 persen itu, tentu tidak jauh dari aspek-aspek yang disebutkan di atas. Baik dari segi pemahaman beliau tentang “Islam politik”, atau unsur hutang budi beliau pada rezim Mubarak, karena pengamatan banyak kalangan, kudeta yang terjadi ini adalah tidak terlepas dari campur tangan rezim Husni Mubarak, dan disokong oleh sebagian dari pemeluk agama keristen, dan sebagian kaum sekuler leberal.

Atau, bisa juga ditambah satu alasan lagi, bahwa keputusan beliau itu, didasari ijtihad yang telah beliau lakukan, dengan berpegang pada kaedah: dar`ul mafasid muqaddam ala jalbul masalih (menghindari dari keburukan lebih baik dari mencari kebaikan).

Karena melihat situasi masyarakat Mesir yang dalam perpecahan seperti sekarang ini, akibat banyak perangkat negara (Militer, Polisi, Kehakiman dan Pers) yang tidak suka kepada sosok Presiden seperti DR. Mursi. Maka beliau berijtihad, bahwa kalau Mursi disingkir sebagai presiden, barangkali perpecahan ini akan berakhir. Walaupun, realita yang kita lihat sekarang ini, perpecahan juga masih terjadi.

Dan terbukti, 2 hari setelah kudeta terjadi, (jumat, 5/7), sebanyak 30 juta warga Mesir turun kejalan mengangkat gambar presiden Mursi, dan tercatat ratusan korban berjatuhan pada hari itu, lebih dari 20 di antaranya meninggal dunia, ditembak oleh pihak yang tidak suka kepada peresiden Mursi.

Adil Terhadap Syaikh al-Azhar

Yang bisa diharapkan bagi pihak yang ingin memberi respon atau komentar terhadap dukungan Syaikh Al Azhar terhadap kudeta ini adalah, agar tidak terlalu berlebihan. Baik pihak yang tidak setuju dengan sikap Syaikh Al Azhar itu, atau pihak yang memberikan pembelaan terhadap sikap beliau itu.

Bagi yang tidak setuju, janganlah terlalu berlebihan menghujani beliau dengan cercaan dan caci maki, sehingga memberi kesan yang kurang sedap terhadap sosok yang merupakan simbol tertinggi Universitas Islam tertua kebanggaan dunia Islam itu. Dan diharapkan bagi mereka yang memberi pembelaan, agar jangan terlalu berlebihan juga, sehingga terkesan bahwa sosok ulama besar seperti Syaikh Al Azhar itu tidak mungkin terjadi kesalahan.

Salah dan benar dalam kasus kudeta terhadap peresiden Mursi yang sah itu, secara hakikatnya hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa melihat secara lahir, bahwa perbuatan melakukan kudeta terhadap presiden yang sah adalah perbuatan yang salah secara demokrasi, baik presiden itu diusung oleh kalangan Islam, atau liberal. dan dari kaca mata demokrasi, paling kita hanya bisa mengatakan, bahwa Syaikh Al Azhar telah berkhianat pada demokrasi, tidak lebih.

Edi Saputra, MA.

Mahasiwa Doktoral Universitas Al Azhar, Mesir