Tafsir Nabawi

Rasulullah adalah penafsir dan pensyarah utama Al Quran. Sebab pada waktu itu hanya beliau yang menjelaskan kepara para sahabatnya tentang pengertian lafadz dan makna yang terkandung di dalamnya. Mengkaji tafsir Rasulullah merupakan sebuah kajian yang memiliki bobot ilmiah yang sangat tinggi. Tafsir Rasulullah merupakan embrio karya-karya tafsir para ulama yang darinya bermunculan kitab-kitab tafsir, hadits dan berbagai macam disiplin ilmu lainnya dalam khazanah Islam yang membicarakan riwayat-riwayat Rasulullah dalam tafsir. Riwayat-riwayat ini memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan ilmu tafsir itu sendiri. Melalui riwayat-riwayat seperti inilah kajian ilmu tafsir dapat berkembang.

Dari sekian banyak karya tafsir ulama Islam, ternyata tidak ada satu pun yang lepas sama sekali dari unsur tafsir Rasulullah. Hal ini sudah cukup menjadi bukti kuat bahwa tafsir Rasulullah telah menjadi panduan dan pedoman bagi para mufassir dalam membedah kandungan kitab suci Al Quran.

Ayat Al Quran yang jumlahnya sangat banyak, maka tentu akan timbul sebuah tanda tanya di benak kita, apakah Rasulullah menafsirkan seluruh ayat-ayat Al Quran atau tidak? Jika memang tidak, maka seberapa banyak riwayat dari Rasulullah mengenai tafsir Al Quran?

Ada dua pendapat ulama dalam merespon permasalahan ini. Kelompok pertama, berpendapat bahwa Rasulullah telah menjelaskan setiap lafadz dan makna Al Quran kepada para sahabatnya. Ulama yang paling menonjol dalam kelompok ini adalah Ibnu Taimiyyah. Dalam hal ini beliau berkata: “Harus diketahui bahwa Rasulullah telah menjelaskan makna Al Quran kepara para sahabatnya sebagaimana beliau menerangkan pengertian lafadznya. Sebagaimana firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS An-Nahl: 44)” (Muqaddimah fi Ushul Tafsir hal.9)

Sedangkan kelompok kedua, berpendapat bahwa Rasulullah tidak menjelaskan makna Al Quran kepada para sahabatnya, kecuali sedikit. Al-Khaubi berkata (w. 637 H): “Adapun penafsiran Al Quran secara qath’i (pasti) hanya dapat diketahui dengan langsung mendengarkannya dari Rasulullah. Dan hal itu tidak mungkin dilakukan dalam semua ayat, kecuali dalam jumlah sedikit.” (Al-Burhan fi Ulumil Quran I/16). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh As-Suyuthi (w. 911 H), “Sedangkan riwayat shahih tentang tafsir ayat-ayat Al Quran jumlahnya sangat sedikit. Bahkan yang berstatus marfu’ akan lebih sedikit lagi.” (Al-Itqan fi Ulumil Quran II/228)

Demikianlah pendapat ulama tentang tafsir Rasulullah. Masing-masing kelompok memilki dalil yang menguatkan pendapat mereka. Berikut ini argumen dari masing-masing kelompok tersebut.

Argumentasi Kelompok Pertama

Kelompok pertama yang berpendapat bahwa Rasulullah hanya menafsirkan sedikit ayat Al Quran mengemukakan beberapa dalil berikut:

Hadits riwayat Al-Bazzar dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah hanya menafsirkan beberapa ayat Al Quran yang diajarkan oleh Malaikat Jibril.”

Mustahil bagi Rasulullah untuk menafsirkan semua makna Al Quran. Hal itu tidak mungkin dilakukan, kecuali pada sebagian kecil dari jumlah keseluruhan ayat Al Quran. Dengan tidak ditafsirkannya semua ayat Al Quran oleh Rasulullah, berarti memberi kesempatan kepada umatnya untuk melaksanakan istimbath dengan menggunakan dalil-dalil yang ada. Allah sendiri tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk menjelaskan makna semua ayat. Tujuannya tidak lain agar hamba-hamba Allah mau merenungkan isi kandungan kitab-Nya.

Seandainya Rasulullah menjelaskan semua makna ayat Al Quran kepara para sahabat, makna doa beliau untuk Ibnu Abbas secara khusus, “Ya Allah, jadikanlah dia orang yang faham masalah agama dan ajarkanlah takwil kepadanya.” Tidak akan berarti. Karena seandainya beliau menjelaskan semua makna Al Quran kepada para sahabat, maka pengetahuan mereka tentang hal tersebut akan sama dan tidak akan berbeda, lalu bagaimana mungkin beliau mendoakan Ibnu Abbas secara khusus?

Syaikh Asy-Sya’rawi berkata: “Rasulullah tidak menfsirkan seluruh Al Quran kepada kita. Sebab jika beliau melakukan hal itu, maka beliau harus menafsirkan Al Quran dengan penjelasan yang bisa dicerna akal pikiran masyarakat pada waktu itu. Dan apabila beliau menafsirkan Al Quran dengan penjelasan yang berkembang pada abad dua puluh, tiga puluh atau empat puluh, pasti orang-orang yang pada waktu itu akan kagum dan takjub. Karena sampai sekarang masih banyak manusia yang tidak percaya bahwa bumi ini bulat dan berputar.”

Hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah tentang tafsir Al-Quran membuktikan bahwa beliau tidak menafsirkan seluruh ayat Al-Quran.

Argumentasi Kelompok Kedua

Kelompok kedua berpendapat bahwa Rasulullah telah menafsirkan seluruh ayat Al Quran dengan argumentasi sebagai berikut:

Firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).

‘Menerangkan’ yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menjelaskan arti lafaznya. Dan Rasulullah sendiri telah menjelaskan seluruh lafadz Al Quran, maka dengan sendirinya beliau telah menjelaskan seluruh maknanya. Jika tidak, maka beliau dianggap teledor dalam menjalankan tugas yang telah dibebankan oleh Allah kepadanya.

Abu Abdurrahman As-Sulami berkata: “Kami telah diberitahu oleh orang-orang yang mengajarkan Al Quran kepada kami –seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan yang lainnya- bahwa jika mereka belajar dari Rasulullah sepuluh ayat, maka beliau tidak akan meneruskannya sampai mereka mempelajari ilmu dan perbuatan yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, “Dulu kami belajar Al Quran sekaligus mengetahui ilmu (yang terkandung di dalamnya) dan juga mengamalkannya.” Oleh karena itulah mereka memerlukan waktu untuk bisa menghafal satu surah.” Maka riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa para Sahabat telah belajar semua makna dan lafadz Al Quran dari Rasulullah.

Biasanya sekelompok orang akan dilarang untuk membaca kitab yang berisi salah satu disiplin ilmu seperti kedokteran dan matematika jika mereka tidak memahami maknanya. Apalagi dengan kitab Allah yang menjadi pegangan mereka. Dengan kitab itulah mereka bisa selamat dan berbahagia. Bahkan dengan kitab itu pula urusan agama dan dunia mereka bisa berdiri kokoh.

Pendapat yang Paling Kuat

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat moderat yang mengambil jalan tengah dari kedua pendapat yang disebutkan di atas, yang tidak berpihak kepada pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah telah menafsirkan seluruh ayat Al Quran seperti yang diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah dan pengikutnya dan pendapat yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya menafsirkan sedikit saja dari ayat-ayat Al Quran seperti yang dikemukakan oleh Al-Khaubi dan para pengikutnya.

Pendapat moderat ini menyatakan bahwa Rasulullah telah banyak menafsirkan makna-makna Al Quran sebagaimana kita dapatkan dalam kitab-kitab tafsir, hadits dan referensi lainnya. Hikmah dari hal ini adalah kehendak Allah agar hamba-hamba-Nya terbiasa merenungkan kandungan ayat Al Quran. Oleh karena itu Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk menafsirkan semua makna atau maksud ayat Al Quran.

Pendapat ini merupakan pendapat sebagian ulama salaf dan khalaf. Di antara ulama salaf yang mengatakan pendapat tersebut adalah Ibnu Jizi Al-Kalbi dalam kitab tafsirnya At-Tashiil Il Ulumit Tanzil “Telah disebutkan banyak riwayat-riwayat tafsir Al Quran dari Rasulullah. Dan riwayat-riwayat itu harus diketahui. Sebab sabda Rasulullah lebih diutamakan dari pada pendapat-pendapat manusia lainnya.”

Sedangkan dari ulama khalaf yang mengatakan pendapat tersebut adalah Dr. Husain Adz-Dzahabi yang mengatakan “Pendapat yang mungkin sangat bisa diterima –setelah terjadi fanatisme terhadap pendapat masing-masing dari kedua kelompok di atas- adalah jika mengambil jalan tengah dari kedua pendapat yang sama-sama ekstrim. Yaitu, sesungguhnya Rasulullah telah menjelaskan banyak makna Al Quran kepada para Sahabat, dan beliau tidak menjelaskan semua makna Al Quran.” Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab-kitab Shahih.

Hal ini juga ditegaskan oleh Prof. Dr. Abdullah Syahatah “Yang benar bahwa Rasulullah telah menerangkan banyak makna Al Quran kepada para sahabat, namun beliau tidak menjelaskan seluruh makna Al Quran, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab shahih.”

Pembahasan tentang tafsir Nabawi sebenarnya telah ada dalam beberapa disiplin ilmu keislaman seperti tafsir, hadits atau yang lainnya, dan diperlukan upaya yang sangat serius dan teliti untuk mengkaji khazanah Islam yang tersimpan dalam kitab-kitab klasik, khususnya tafsir dan hadits.

Referensi terpenting pertama bagi penuntut ilmu yang ingin mengkaji tafsir Nabawi adalah kitab-kitab hadits dan sunah. Kitab hadits memiliki peranan sangat penting untuk mengetahui penafsiran Rasulullah. Sebab pada awal Islam tafsir belum dikodifikasikan secara tersendiri dan masih terkumpul dalam satu bab dari kumpulan hadits. Misalnya saja Bukhari yang mencantumkan dalam kitab shahihnya bab khusus tentang tafsir, namun ada juga riwayat Rasulullah tentang tafsir yang tercecer dalam bab-bab lain seperti dalam bab Zuhud, Imam, Fadhaail dan bab yang lainnya.

Referensi kedua adalah kitab-kitab Tafsir. Hanya saja riwayat-riwayat tersebut lebih banyak disebutkan dalam jenis tafsir bil ma’tsur dari pada kitab tafsir bir ra’yi. Sebab jenis tafsir pertama adalah penafsiran Al Quran yang menggunakan dalil-dalil naqli baik dengan Al Quran sendiri atau dengan hadits Rasulullah dan atsar para Sahabat dan Tabi’in. Beberapa kitab tafsir tersebut di antaranya adalah: Jami’ul Bayan Fii Ta’wil Al Quran karya Ath-Thabari, Bahrul Ulum karya Samarqandi, Al-Kasyfu Wal Bayan karya Ats-Tsa’labi, Tafsir Al Quranul Adzhim karya Ibnu Katsir, Zaadul Masiir karya Ibnul Jauzi, Fathul Bayan Fij Maqashiil Quran karya Shadiq Khan.

Referensi ketiga adalah kitab-kitab Sejarah, Sirah dan Maghaazi. Yaitu kitab-kitab yang mengkodifikasikan riwayat-riwayat Rasulullah, peperangan kaum muslimin dan sejarah kehidupan mereka. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah; “Mengetahui Asbabun Nuzul akan sangat membantu memahami sebuah ayat. Karena mengetahui sebab, dengan sendirinya akan mengetahui akibatnya.” (Muqaddimah fi Ushulit Tafsir, Ibnu Taimiyyah hal.16)

Riwayat-riwayat dalam kitab tarikh, sirah maupun maghazi sering kali menyebut tempat dimana ayat Al Quran diturunkan. Dan tentu saja riwayat tersebut juga menunjukkan latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul). Asbabun Nuzul yang dimaksud bisa berhubungan dengan aktivitas dakwah Islam, penolakan kaum kafir terhadap aqidah sampai dengan upaya Allah swt untuk menenangkan Rasulullah.

Referensi keempat yang bisa digunakan untuk menelaah tafsir Nabawi adalah kitab Ulumul Quran dan Asbabun Nuzul. Dalam buku-buku tentang Ilmu Al Quran biasanya tafsir Rasulullah dibincangkan ketika memasuki segmen pembahasan ilmu tafsir karena memang Rasulullah adalah mufassir yang paling awal. Beliau sendirilah yang menjelaskan makna ayat-ayat Al Quran.

Rekaman-rekaman riwayat tentang tafsir Rasulullah saw juga bisa kita jumpai dalam beberapa karangan tentang Asbabun Nuzul seperti kitab Asbabun Nuzul karya Al-Wahidi, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzuul karya As-Suyuthi dan kitab-kitab lain yang serupa. []

____________________
At-Tafsir An-Nabawi Khashaisuhu wa Mashadiruhu, Dr. Muhammad Abdurrahim Muhammad, Maktabah Az-Zahra, Cairo
At-Tafsir wal Mufassirun, Dr. Husain Az-Zahabi (Syamilah)
Muqaddimah fi Ushul Tafsir, Ibnu Taimiyyah (Syamilah)