Hukum Merayakan Tahun Baru Hijriyah dalam Islam

Tahun Baru Islam

Bagimana hukum perayaan tahun baru hijriyah menurut Islam ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah memperingatkan kita tentang bahayanya taqlid dan tasyabbuh (menyerupakan diri) dengan orang-orang kafir di dalam banyak hadits. Diantaranya, beliau bersabda :

مَنْ   تَشَبَّهَ  بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8327), Ibnu Manshur dalam As-Sunan (2370). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (4347).

Walaupun demikian, masih sering kita jumpai fenomena taqlid dan tasyabbuh tersebut di dalam masyarakat kita. Karena jahilnya kaum muslimin dengan agamanya sendiri serta adanya pengaruh globalisasi yang terus menggerogoti aqidah kaum muslimin.

Belum lagi banyaknya propaganda yang menaburkan kerancuan dalam berpikir bahwa orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang hebat, maju, dan merupakan pemimpin dunia.

Semua ini semamkin membuat sebagian kaum muslimin kehilangan jati dirinya dan tidak tahu siapa yang harus di contoh dan di tauladani. Ketika melihat orang-orang kafir berhasil dalam menggapai dunia, maka sebagian kaum muslimin berpikir bahwa inilah yang harus di teladani secara membabi buta tanpa memperhatikan Al-Qur’an dan Sunna Rasulullah SAW. Padahal yang demikian ini adalah musibah yang sangat berbahaya.

Sekarang ini kaum muslimin mulai mengikuti semua yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Padahal dahulu orang-orang hanya mengenal bahwa orang-orang kafir saja yang merayakan tahun baru masehi. Tapi sekarang kaum muslimin juga merayakan tahun baru masehi.

Bahkan sangking parahnya penyakit mengekor dan taqlid kepada orang-orang kafir, kaum muslimin pun mengadakan perayaan Tahun Baru Hijriyah dengan berbagai macam tema dan topik yang bisa dibilang maya dan semu.

Dengan tema “Meningkatkan Iman dan Taqwa” “Semarak Muharram” “Menghidupkan Sunnah”. Tapi semua itu hanyalah sebuah khayalan dan harapan yang semu saja.

Merebaknya peringatan tahun baru hijriyah belakangan ini dilakukan di semua wilayah Indonesia. Semua ini semakin memaksa kamu untuk menjelaskan masalah ini sebagai amanah ilmiah yang ada di pundak kami.

Hukum Merayakan Tahun Baru Hijriyah

Tidak asing lagi jika merayakan tahun baru hijriyah di kalangan umat muslim sekarang ini. Tidak ada sunnah atau tuntunan dari Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, dan empat imam besar.

Jika tidak ada sunnah dari Rasulullah SAW maka yang perlu kita pahami adalah merayakan tahun baru hijriyah merupakan perkara yang mengada-ngada dalam agama.

Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ

“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka ia (perkara) itu tertolak”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2697), dan Muslim dalam Shohih-nya (1718)

Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tak ada padanya urusan (agama) kami, maka ia (amalan) itu tertolak”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1718)]

Jadi orang yang mengadakan amalan atau ajaran yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW adalah tertolak, bahkan bisa jadi mendapatkan dosa di sisi Allah SWT.

Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (12/16), “Hadits ini merupakan sebuah kaedah agung di antara kaedah-kaedah Islam. Hadits ini termasuk jawami’ al-kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena ia gamblang dalam menolak segala perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang diada-adakan”.

Ibnu Daqiq Al-Ied -rahimahullah- dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43), “Hadits ini merupakan kaedah yang sangat agung di antara kaedah-kaedah agama. Dia termasuk “Jawami’ Al-Kalim” (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada Al-Mushthofa -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.

Jika suatu amalan dan ibadah tak ada contohnya dalam Islam di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka ia bukan dari agama Islam.

Imam Darul Hijroh, Malik bin Anas -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu bid’ah (amalan baru dalam agama), sedang ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengkhianati risalah (Al-Qur’an), karena Allah -Ta’ala- berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ 
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu”. (QS. Al-Maa’idah : 3).

Apapun yang bukan agama pada hari itu (di zaman kenabian), maka hal itu juga bukan agama pada hari ini”. [Lihat Al-I’tishom (1/33) karya Asy-Syathibiy]