10 Cara Mensucikan Benda Terkena Najis

Pada bagian ini kita membicarakan proses pensucian benda-benda yang asalnya memang benda suci, namun terkena atau terkontaminasi benda najis. Intinya hanya bagaimana agar benda najis yang menempel itu bisa dihilangkan.

Ada banyak dalil tentang bagaimana dahulu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membersihkan benda dari najis, misalnya dengan cara pencucian, penyiraman, penambahan air, pengerikan, penggosokan sampai penjemuran di bawah terik matahari.

1. Pencucian

Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hampir secara keseluruhan proses pensucian najis dilakukan dengan cara mencuci benda itu dengan air agar hilang najisnya. Baik najis ringan, sedang maupun berat.

Dan umumnya para ulama mengatakan bahwa najis itu punya tiga indikator, yaitu warna, rasa dan aroma. Sehingga proses pensucian lewat mencuci dengan air itu dianggap telah mampu menghilangkan najis manakala telah hilang warna, rasa dan aroma najis setelah dicuci.

Tentang fungsi air sebagai media untuk bersuci, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan di dalam kitabullah.

Dan telah kami turunkan air sebagai untuk bersuci. (QS Al Furqan: 48)

Dan Dia telah menurunkan kepadamu air dari langit untuk mensucikan kamu (QS Al Anfal: 11)

Di dalam hadits nabawi juga disebutkan bahwa air itu mensucikan. Salah satunya dalam bentuk doa yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Ya Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda’Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Penyiraman

Menyiram tanah yang terkena najis dengan air hingga airnya meresap ke dalam tanah itu, termasuk salah satu cara yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam proses mensucikan benda yang terkena najis.

Dalam kisah yang terkenal tentang kencingnya seorang Arab dusun di dalam masjid Nabawi, kita menyaksikan bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membersihkan masjid dari najis.

Seorang Arab dusun telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air.” (HR. Bukhari)

Satu kenyataan yang menarik bahwa masjid Nabawi di masa itu tidak beralaskan karpet sebagaimana di masa kita sekarang ini. Juga tidak beralaskan batu marmer, ubin, atau semen. Masjid di masa itu hanya beralaskan tanah saja, dimana umat Islam shalat dan melakukan semua aktifitas ibadah lainnya di masjid di atas tanah.

Dan hal itu tidak mengapa, lantaran sesungguhnya status tanah itu hukumnya suci, sebagaimana sabda beliau:

Dari Abi Umamah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”Telah dijadikan tanah seluruhnya untukkku dan ummatku sebagai masjid dan pensuci. Dimanapun shalat menemukan seseorang dari umatku maka dia punya masjid dan media untuk berusci. (HR. Ahmad)

Bahkan para shahabat melaksanakan shalat di dalam masjid dengan tetap memakai sepatu atau sandal mereka. Sesuatu yang di masa kita sekarang ini barangkali dianggap aneh dan kualat.

Saat itu ketika si arab dusun kencing di dalam masjid, tidak ada karpet atau marmer yang perlu dicuci, sebab air kencing itu langsung membasahi tanah. Beliau pun tidak memerintahkan untuk mengepel lantai atau mencuci karpet.

Proses pensucian yang diajarkan oleh beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah cukup menyiramkan bekas kencing itu dengan seember air, sehingga airnya terserap ke dalam tanah. Dan proses penyiraman yang berlangsung cuma satu kali itu sudah cukup untuk mensucikan tanah dari najis.

3. Penambahan Air

Khusus pada benda-benda cair yang terkena najis, para ulama mengatakan bila komposisi najis pada benda cair itu sedikit, maka kenajisannya hanya pada seputar benda najis itu saja.

Karena itu kolam yang kejatuhan najis kecil dan airnya sedikit, bisa disucikan dengan memenuhi kolam itu dengan air, sehingga jumlah air menjadi sangat banyak dan perbandingan benda najisnya menjadi sangat sedikit.

Sumur yang kejatuhan bangkai ayam misalnya, bisa disucikan dengan dibuang bangkainya, lalu airnya selalu ditimba dan dibuang, mata air yang ada di dasar sumur itu secara otomatis akan terus keluar, membuat air sumur itu terus menerus bertambah.

Hingga sampai ketika rasa, warna dan aroma air sumur yang terus menerus dikuras itu sudah tidak mengandung najis, maka air sumur itu suci kembali. Proses penambahan air terus menerus terjadi lewat mata air yang keluar terus, sedangkan bangkai yang menjadi sumber najis dibuang, dan air di dasar sumur yang sempat terkena najis, secara terus menerus dikuras dan dibuang.

4. Pengerikan

Disebutkan di dalam salah satu hadits shahih bahwa Aisyah radhiyallahuanha mengerok (mengerik) bekas mani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sudah mengering di pakaian beliau dengan kukunya.

Dahulu aku mengerik bekas mani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bila sudah mengering (HR. Muslim)

Hadits ini oleh jumhur ulama dijadikan dasar bahwa hukum air mani itu najis. Dan kalau kita memakai pendapat jumhur ulama bahwa air mani itu najis, maka pengerikan atau pengerokan dengan kuku yang dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahuanha adalah salah satu cara untuk mensucikan benda yang terkena najis.

Syaratnya, air mani itu sudah kering dan biasanya menyisakan lilin yang padat dan menempel di pakaian. Pengerikan itu sudah cukup untuk mensucikan pakaian itu dari najisnya air mani.

Air Mani, Najiskah?

Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air mani. Jumhur ulama seperti mazhab Al  Hanafiyah, Al Malikiyah, dan Al Hanbilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis.[1]

Sedangkan mazhab Asy Syafi;iyah mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian. Dan apa yang dikatakan itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,”Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain. (HR. Al Baihaqi)

5. Pengelapan (Gosok)

Pendapat mazhab Al Hanafiyah bahwa benda-benda yang licin dan keras, bila terkena najis, pensuciannya cukup dengan dilap menggunakan kain saja, tanpa harus dicuci.

Kaca, cermin, permukaan logam, pedang, barang pecah belah, seperti piring, gelas, mangkuk, nampan, atau benda-benda keras tapi licin lainnya, bila terkena najis, cukup dibersihkan dengan kain lap, hingga hilang warna, rasa dan aromanya.

Dasarnya bahwa dahulu para shahabat Nabi dalam peperangan melaksanakan shalat dengan pedang terselip di pinggang mereka. Padahal pedang mereka bekas membunuh orang kafir dalam jihad. Dan pedang itu pastinya berlumuran darah yang hukumnya najis. Namun pedang mereka tidak dicuci dengan air, hanya dibersihkan dengan menggunakan kain tanpa proses pencucian. Dan mereka menyelipkan pedang yang tidak dicuci hanya dilap itu di pinggang mereka sambil menunaikan ibadah shalat.

Inilah yang menjadi dasar bagi mazhab Al Hanafiyah untuk mengatakan bahwa mengelap najis hingga hilang warna, rasa dan aroma sudah cukup untuk menghilangkan najis dan mensucikan benda yang terkena najis.[2]

Namun pengelapan ini khusus berlaku pada benda yang licin seperti logam atau kaca, karena najisnya tidak terserap hanya sekedar menempel. Sedangkan bila najis itu menempel dan diserap pada benda, seperti kain, karpet, makanan dan lainnya, tentu tidak cukup hanya dilakukan pengelapan saja.

Sebab najis pada kain tidak akan hilang kalau hanya dilap saja.

6. Dikesetkan ke Tanah

Mengesetkan sandal atau sepatu yang terkena najis ke tanah adalah salah satu cara menghilangkan najis tanpa mencucinya. Dan hal itu dibenarkan dalam syariah Islam, sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Abi Sa’id Al Khudri berkata bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: “Kenapa kalian melepas sandal kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, ” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya.” (HR. Ahmad)

Di dalam hadits yang lain disebutkan juga perihal mengeset-ngesetkan sendal ke tanah sebelum shalat.

Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan ke tanah dan shalatlah dengan memakai sendal itu. Karena hal itu sudah mensucikan (HR. Abu Daud)

7. Dijemur Matahari Hingga Kering

Sinar matahari yang terik bisa menghilangkan najis dari suatu benda, khususnya tanah.

Disebutkan dalam salah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa tanah yang terkena najis bila terjemur hingga kering sampai hilang warna dan aroma najis, akan kembali menjadi suci.

أَTanah yang telah mengering maka tanah itu telah suci (HR. Az Zaila’i)

Mazhab Al Hanafiyah menyebutkan bahwa begitu tanah yang tercampur najis itu kering terkena sinar matahari, dan tidak ada lagi bau najis atau warnanya, maka tanah itu kembali suci sebagaimana aslinya.

Namun mazhab Al Malikiyah, Asy Syafi’iyah dan Al  Hanabilah mensyaratkan bahwa sebelum dikeringkan oleh sinar matahari, tanah itu harus diguyur atau disiram terlebih dahulu dengan air.

Mereka mengatakan bahwa proses penghilangan najis itu harus dilakukan dengan air terlebih dahulu, baru proses pengeringan dengan media terik sinar matahari menyempurnakan pensucian tersebut.

Sedangkan mazhab Al Hanafiyah tidak mensyaratkan adanya pensucian lewat media air. Karena hadits di atas tidak mensyaratkan pensucian tanah dengan disirami air terlebih dahulu. Cukup hanya dengan sinar matahari yang terik dan membuat tanah itu kering tanpa meninggalkan bau atau warna najis, maka tanah itu berubah menjadi suci.

8. Dikuliti

Yang dimaksud dengan dikuliti adalah apabila ada benda padat kejatuhan benda najis yang juga padat, maka salah satu cara untuk menghilangkan najisnya dengan menguliti sebagian dari permukaan benda itu.

Hal seperti itu pernah terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam kasus tikus mati masuk ke dalam wadah berisi minyak yang membeku.

Dari Maimunah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang bangkai tikus yang jatuh ke dalam lemak (minyak samin). Maka Beliau menjawab: “Buanglah bangkai tikus itu ada apa yang ada di sekitarnya, lalu makanlah lemak kalian.” (HR. Bukhari)

Bekas bangkai tikus yang tersisa di minyak yang beku itu dibersihkan dengan cara dikuliti dan dibuang, namun tidak perlu dilakukan proses pencucian. Karena tidak mungkin mencuci minyak beku dengan air, selain tidak akan hilang, juga pencucian malah akan merusak minyak itu.

Maka cukup dikuliti atau dicungkil bagian-bagian yang terkena bekas bangkai itu, sisanya masih suci dan masih bisa dimakan.

9. Diperciki Air

Memercikkan air pada benda yang terkena najis adalah salah satu bentuk ritual mensucikan najis. Tapi cara ini hanya berlaku pada satu kasus saja, yaitu najis dari air kencing bayi laki-laki yang belum makan atau minum apapun kecuali air susu ibu.

Semua ini tidak ada alasan ilmiyahnya karena semata-mata ketentuan ritual dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai Tuhan maunya disembah dengan cara itu.

Dasarnya adalah hadits berikut ini:

Dari As Sam’i radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja.” (HR. Abu Daud An-Nasai dan Al Hakim)

10. Diseret Di Atas Tanah

Salah satu bentuk pensucian yang pernah dilakukan di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benda yang terkena najis itu terseret-seret di atas tanah.

Dalam hal ini kisahnya terjadi pada salah satu istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ummu Salamah radhiyallahuanha. Beliau bercerita tentang pakaiannya yang panjang menjuntai ke tanah, sehingga kalau berjalan, ujung pakaiannya menyentuh tanah dan terserat-seret kemana beliau pergi.

Ketika disebutkan bahwa ujung pakaian itu terkena najis, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menngomentari bahwa najis itu dianggap telah hilang, karena ujung pakaian istrinya itu selalu menyentuh tanah sambil terseret.

Dari Ummi Salamah radhiyallahuanda berkata,”Aku adalah wanita yang memanjangkan ujung pakaianku dan berjalan ke tempat yang kotor.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata,”Apa yang sesudahnya mensucikannya.” (HR. Abu Daud).

Para ulama dari berbagai mazhab seperti mazhab Al  Hanafiyah, Al Malikiyah dan Al Hanabilah menerima pensucian secara otomatis ini berdasarkan hadits di atas.[3]

Mazhab Asy Syafi’iyah, yang menerimanya dengan syarat asalkan najisnya itu kering, bukan najis yang basah. Kalau najisnya basah, terseret-seret di atas tanah itu tidak cukup sebagai cara untuk mensucikan, dan tetap harus dicuci terlebih dahulu.

Mazhab Al Hanabilah menerima bahwa terseretnya ujung pakaian yang terkena najis di atas tanah memang mensucikan najis itu, asalkan najisnya tidak terlalu banyak. Hanya najis yang sedikit saja yang bisa disucikan dengan cara itu.

_____________________


[1] Hasyiyatu Ibnu Abidin jilid 1 halaman 208

[2] Al Qawanin Al Fiqhiyah halaman 34-35

[3] Al Qawanin Al Fiqhiyah halaman 35