Shabar ini ada tiga macam: Shabar dalam ketaatan kepada Allah, shabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan shabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan keshabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.
Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Keshabaran Yusuf menghadapi rayuan istri Tuannya lebih sempurna daripada keshabaran beliau saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat dijual dan saat berpisah dengan bapaknya. Sebab hal-hal ini terjadi di luar kehendaknya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali shabar menerima musibah. Tapi keshabaran yang memang beliau kehendaki dan diupayakannya saat menghadapi rayuan istri Tuannya, keshabaran memerangi nafsu, jauh lebih sempurna dan utama, apalagi di sana banyak faktor yang sebenarnya menunjang untuk memenuhi rayuan itu, seperti keadaan beliau yang masih bujang dan muda, karena pemuda lebih mudah tergoda oleh rayuan. Keadaan beliau yang terasing, jauh dari kampung halaman, dan orang yang jauh dari kampung halamannya tidak terlalu merasa malu. Keadaan beliau sebagai budak, dan seorang budak tidak terlalu peduli seperti halnya orang merdeka. Keadaan istri tuannya yang cantik, terpandang dan tehormat, tan-pa ada seorang pun yang melihat tindakannya dan dia pula yang menghendakiuntuk bercumbu dengan beliau. Apalagi ada ancaman, seandain-yatidak patuh, beliau akan dijebloskan ke dalam penjara dan dihinakan.Sekalipun begitu beliau tetap shabar dan lebih mementingkan apa yang ada di sisi Allah.”
Ibnu Taimiyah juga pernah berkata, “Shabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada shabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allah daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan tidak taat lebih dibenci Allah daripada keburukan adanya kedurhakaan.”
Ada tiga jenis lain dari shabar, yaitu:
- Shabar karena pertolongan Allah. Artinya mengetahui bahwa keshabaran itu berkat pertolongan Allah dan Allahlah yang memberikan keshabaran, sebagaimana firman-Nya, “Bershabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah keshabaramnu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (An-Nahl: 127). Jika Allah tidak membuat beliau shabar, maka beliau tidak akan shabar.
- Shabar karena Allah. Artinya pendorong shabar adalah cinta kepada Allah, mengharapkan Wajah-Nya dan taqarrub kepada-Nya, bukan untuk menampakkan kekuatan jiwa dan ketabahan kepada manusia atau tujuan-tujuan lain.
- Shabar beserta Allah. Artinya perjalanan hamba bersama kehendak Allah, yang berkaitan dengan hukum-hukum agama, shabar dalam melaksanakan hukum-hukum itu dan menegakkannya.
Banyak definisi dan pengertian yang dibuat para ulama dan orangorang salaf tentang shabar. Yang pasti Allah telah memerintahkan keshabaran yang baik, pengampunan yang baik dan penghindaran yang baik di dalam Kitab-Nya. Saya pernah mendengar Ibnu Taimiyah berkata, “Kesa-baran yang baik ialah yang tidak disertai pengaduan, pengampunan yang baik ialah yang tidak disertai celaan, dan penghindaran yang baik ialah yang tidak disertai ucapan yang menyakitkan.”
Pengaduan kepada Allah tidak menajikan keshabaran, karena Ya’qub Alaihis-Salam telah berjanji untuk bershabar dengan baik, dan seorang nabi tidak akan mengingkari janjinya. Namun beliau tetap mengadu kepada Allah, “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kcsusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 86).
Yang benar, mengadukan Allah dapat menajadikan keshabaran, dan bukan pengaduan kepada Allah.
Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Shabar artinya menahan diri dalam menghadapi hal-hal yang tidak disenangi dan membelenggu lisan agar tidak mengadu. Ini merupakan tempat persinggahan yang paling sulit bagi orang awam dan jalan cinta yang paling terjal serta jalan tauhid yang paling diingkari.
Dikatakan sulit bagi orang awam, karena orang awam baru memulai perjalanan dan belum terlatih untuk menempuh satu etape pun. Jika dia mendapat ujian, maka dia mudah gundah dan sulit menghadapi musibah, sehingga berat untuk shabar. Dia belum terlatih sehingga sulit untuk shabar, dan dia bukan termasuk orang yang mencintai sehingga sulit menerima musibah dengan penuh keridhaan terhadap kekasih yang dicintainya.
Dikatakan jalan cinta yang paling terjal, karena cinta ini mengharus-kan adanya kesukaan orang yang mencintai dalam menghadapi cobaan dari kekasihnya. Sementara shabar mengharuskan adanya kebencian terhadap hal itu dan keterpaksaan menahan diri saat menghadapinya. Maka shabar merupakan jalan cinta yang paling terjal.
Dikatakan jalan tauhid yang paling diingkari, karena di dalam shabar terdapat kekuatan pengakuan. Orang shabar mengaku memiliki kete-guhan hati yang kuat. Berarti hal ini harus berbenturan dengan kemur-nian tauhid. Sebab pada hakikatnya tidak seorang pun memiliki kekuatan.
Semua kekuatan hanya milik Allah. Itulah sebabnya maka shabar merupakan sesuatu yang diingkari di jalan tauhid, dan bahkan shabar merupakan kemungkaran yang paling diingkari. Tauhid mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan shabar mengembalikan segala sesuatu kepada diri sendiri. Keteguhan hati dalam tauhid adalah sesuatu yang harus diingkari.
Perkataannya yang terakhir ini tidak bisa diterima. Yang benar, shabar merupakan tempat persinggahan yang paling kuat di jalan cinta dan merupakan keharusan bagi orang-orang yang mencintai serta merupakan hasrat yang paling dibutuhkan dalam setiap etape perjalanan. Kebu-tuhan orang yang mencintai terhadap keshabaran ini sangat urgen. Maka hanya para wali Allah dan para kekasih-Nya yang disifati Allah sebagai orangorang yang shabar.