Bagi sebagian orang, utamanya golongan menengah ke bawah, pasti bisa merasakan, bagaimana peliknya hidup di zaman sekarang: Cari uang seperti menangkap asap.
“Boro-boro yang halal, yang haram aja susah!”
Padahal kebutuhan tak pernah henti, terus menerus berdatangan, minta dicukupkan.
Supaya beban jadi berkurang manusia dituntut untuk selalu berusaha, mengolah daya dengan berbagai macam cara. Karenanya pula kondisi kesehatan mestinya bisa tetap dijaga.
Repotnya, belum apa-apa orang sering berpikiran bahwa situasi ini sangat sulit didapatkan lantaran terbentur biaya yang mahal. Logikanya, untuk bisa tetap sehat manusia mesti mengonsumsi makanan serta beragam suplemen yang hebat, dan itu berarti mesti ada uang yang banyak.
Walau tidak sepenuhnya salah, namun sebetulnya bukan lantaran itu saja tubuh seseorang bisa senantiasa prima. Fakta membuktikan, betapa banyak orang yang senantiasa hidup berkecukupan, tak pernah mengalami kurang gizi atau apalagi kelaparan namun tetap saja dirongrong penyakit gawat.
Lantaran itu, daripada terus menerus kukulutus (menggerutu) sementara masalah yang dihadapi tak pernah pupus, sambil tekun berusaha, tidak ada salahnya tiga “ritual” murah berikut dicoba keampuhannya.
1. Tetap Optimis
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186)
Meminjam pernyataan Noam Chomsky, Eep Saefulloh Fatah, analis politik dari UI, menulis, “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.”
Catatan hasil sebuah survey longitudinal pada para lulusan harvard yang dipelopori George Vaillant, M.D., psikiatris di Dartmouth Medical School, menunjukkan, tatkala respondennya menginjak usia paruh baya, mereka yang optimis cenderung terlihat lebih mampu mempertahankan kemudaannya, sementara yang pesimis lebih cepat dijambangi penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan kanker.
Fakta lain, hasil kajian pada 100 korban serangan jantung di San Francisco Hospital, mendapati, penderita yang optimis lebih sedikit menderita serangan kedua, disamping mampu bertahan hidup lebih lama : dari 16 yang optimis, 11 orang telah hidup selama 8 tahun sejak serangan pertama. Sedangkan dari 16 yang pesimis, hanya 1 orang yang mampu bertahan hidup.
Melalui kajian panjang, lika-liku ihwal bagaimana ini terjadi terjelaskan. Adanya komunikasi timbal balik antara sistem imun, endokrin dan sistem saraf, merupakan penyebabnya. Pikiran yang senantiasa optimis akan mendorong sistem saraf, melalui sel neuroendokrin, untuk menggelontorkan hormon endorfin kedalam aliran darah. Endorfin selanjutnya akan menggenjot aktivitas beberapa sel sistem imun dan membantu sel lain melawan substansi berbahaya dalam tubuh dengan lebih agresif. Halmana selanjutnya akan membuat manusia lebih tahan terhadap serangan bibit penyakit.
2. Memaafkan
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Imran: 133-134)
Kata maaf berasal dari kata al-‘afw yang berarti “keterhapusan”. Memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati, baik diminta maupun tidak.
Dari hasil kajiannya, Fred Luskin, psikolog dari Standford University dan penulis Forgive for Good, menyatakan, jika memelihara “luka” dan memendam dendam dapat menurunkan derajat kesehatan, baik dari sisi fisik maupun mental, memaafkan bisa merupakan pencegah sakit yang ampuh (antidote).
Studi yang dilaksanakan Charlotte van Oyen Witvliet, asisten profesor psikologi pada Hope College di Holland, Michigan, dan koleganya, pada 71 relawan, dengan memberinya tugas mengingat suatu kejadian di masa lampau yang membuat mereka terluka, terekam adanya indikasi kenaikan tekanan darah, denyut jantung, dan menegangnya otot-otot – respon yang sama terjadi manakala orang marah. Sedang ketika diminta untuk membayangkan empati, sikap tenang dan penuh maaf, ternyata jiwanya dapat lebih tenang.
Tanda-tanda lain yang memberi harapan bahwa memaafkan mampu memperbaiki derajat kesehatan terlihat pula dari hasil survey pada 1423 orang dewasa yang dilakukan the University of Michigan’s Institute for Social Research, tahun 2001. Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain di masa lalunya dilaporkan memiliki status kesehatan lebih baik daripada mereka yang tidak.
3. Jangan Lupa Berdoa
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepada kalian, sedang malaikat-Nya (memohonkan ampunan untuk kalian), supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” [QS. Al-Ahzâb: 41-43]
Pesan nenek untuk senantiasa berdoa ternyata banyak manfaatnya. Berdoa, yang sering diartikan sebagai berkomunikasi dengan “penguasa tertinggi” di jagat raya, menurut Larry Dossey, dalam Prayer is Good Medicine, merupakan ‘suatu sikap hati’. Sebuah ucapan yang dibarengi dengan kesadaran dan ketulusan, permohonan penuh harapan pada ‘Yang Maha Pengatur dan Pemilik Segalanya’. Dalam kaitan dengan kesehatan, baik fisik, mental maupun spiritual, kegiatan ini, dengan berbagai jalan, ternyata dapat berdampak positif.
Dari hasil survey yang dilakukan oleh Andrew Greeley, seorang sosiolog, pada 657 pasangan / suami istri misalnya, mendapatkan, 75% dari mereka yang rajin berdoa bersama pasangannya, memiliki kehidupan perkawinan yang lebih bahagia serta lebih mesra dibanding 57% diantara pasangan yang tidak suka berdoa bersama. Dari kebahagiaan dan kemesraan itulah, bisa jadi, kekuatan tubuh bermula, hingga penyakit enggan menjambangi.
Catatan lain, sebagaimana ditulis Bassman dalam Mind, Mood & Emotion, menunjukkan juga, bahwa ‘secuplik’ doa dapat digunakan untuk menolong orang dari deraan psychosomatic (suatu gangguan yang disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, dengan gejala fisik seperti nyeri kepala migren, nyeri punggung bawah, atau sindrom usus iritasi), mood (termasuk anxiety, depresi, dan agresi), serta gangguan mental lainnya.
Maka rajin-rajinlah berdoa, dengan tulus, sepenuh hati mengharap perlindunganNYA.
Salam sehat dan tetap semangat !.