Satu bulan berlalu tanpa aktivitas yang berat di bulan Ramadhan ini memberikan waktu lebih untuk melatih kemampuan saya sebagai pengamat. Objek yang diamati? Banyak hal, tapi yang membuat saya heran ntah kenapa tanpa saya sadari semuanya berhubungan dengan ekonomi. Sehabis pulang sholat tarawih, ibu Septa (tetangga saya, red) cerita tentang beras berkualitas dengan harga murah yang baru dia beli tadi siang. Dia mengeluh kenapa tidak beli lebih banyak, karena harganya murah. Kok bisa? Yah, itu beras operasi pasar yang memang sudah disubsidi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena kenaikan harga semenjak Ramadhan ini.
Seminggu yang lalu, ketika menemani Ayah mengantarkan zakat kepada seorang famili jauh ayah yang sudah buta sejak kecil, kami juga singgah ke rumah saudara lainnya, seorang ibu yang kupanggil wak karena usianya lebih tua beberapa tahun dari ayah. Ayah dan wak becerita banyak, atau saya simpulkan mereka sedang bernostalgia. Pembicaraanya? Tentang inflasi. Benarkah? Tidak juga… Wak bercerita tentang bagaimana semasa kecilnya ketika tidak ada lagi modal untuk hidup, orangtua wak harus menjual seekor kerbaunya dengan harga empat ratus ribu rupiah di tahun 70 akhir. Kemudian ditimpali cerita ayah, ketika kakek saya juga menjual seekor kerbau miliknya untuk kebutuhan modal nikah ayah dengan harga yang hampir sama. Sekarang? Empat ratus ribu? Kambing pun geleng-geleng. Emang gue kambing apaan, mbeek.
Sekarang sudah berada dipenghujung ramadhan, ditengah keramaian masjid mewah ibukota yang dipenuhi jamaah I’tikafnya, saya melihat fenomena berbeda di kampung halaman saya. Tidak semua mesjid di sini yang menyediakan fasilitas I’tikaf. Sedih juga. Walaupun bukan wajib, kan lumayan buat menghemat biaya kontrakan, ongkos, dan makan. Hehe. Sayangnya, saya mengamati bahwa motif seperti itu tidak diterima disini. I’tikaf itu benar-benar sarana untuk kita berinvestasi sebesar-besarnya mumpung pahala diobral besar-besaran di bulan ini. Beli 1 dapat beratus-ratus kali lipat. Subhanallah… Yah, walaupun begitu bulan Ramadhan cukup membuat mesjid kembali ramai lebih dari biasanya. Maka, itu artinya dalam I’tikaf dipenghujung Ramadhan ini sebenarnya juga mengandung transaksi cash based.
Transaksi Kencleng
Tau kencleng kan? Itu loh, kotak sumbangan yang suka diedarkan untuk diisi jamaah, ada yang dari kaleng, kayu, hingga kresek. Biasanya, yang dari kaleng atau kresek diedarkan disekeliling jamaah. Untuk yang kotak kayu, bukan untuk diedarkan, ada kacanya dan diletakkan di depan pintu mesjid. Transaksi pertama ini pasti jadi transaksi yang ditunggu para pengurus mesjid, karena uang kas mesjid bisa bertambah dan program mereka bisa jalan. Karena dipenghujung Ramadhan, jamaah pada umumnya memberikan infak sedekah lebih banyak atau lebih sering dari pada hari-hari biasa.
Transaksi Kemitraan
Lokasi transaksi ini masih disekitar mesjid. Pada zaman Rasulullah dulu, mesjid dijadikan tempat strategis untuk membangun relasi, dari urusan dakwah, pemerintahan, hingga bisnis. Mesjid menjadi gedung pertemuan yang istimewa untuk para sahabat. Tapi ingat, hanya batas strategi. Jika sudah jual beli, bukan mesjid tempatnya. Sebenarnya, ini adalah hikmah secara tidak langsung, ketika kita sering bersilaturahmi akan membuka pintu rezeki. Banyak sudah kisah, tentang pertemuan I’tikaf yang kemudian berlanjut dalam perkongsian bisnis yang menguntungkan bahkan perjodohan.
Transaksi Perut
Nah, transaksi ketiga ini tidak lagi disekitar mesjid. Dan waktunya malah bermula dari awal ramadhan hingga penghujung ramadhan. Transaksi yang berorientasikan konsumsi makanan. Tingkat produksi bahan pangan meningkat atau dengan kata lain kebutuhan masyarakat meningkat. Bahkan berita di TVRI melaporkan mi instan naik menjadi 4 x lipat memproduksi dibanding bulan biasanya. Bermunculan pasar kaget dimana-mana. Tempat buat ngabuburit, buat beli untuk ifthor (berbuka) nanti katanya. Saya jadi penasaran, apakah fenomena ini juga terjadi di zaman Rasulullah. Apakah bulan Ramadhan membuat konsumsi masyarakat juga bertambah. Saya belum pernah mendapat refrensi secara langsung. Mungkin bisa berbagi ilmu disini. Tapi, yang saya cermati adalah di zaman Rasulullah tingkat produksi yang paling meningkat tajam adalah produksi amalnya. Dengan segala keistimewaan dibanding dibulan lain, amal kebaikan adalah sektor paling produktif di bulan Ramadhan.
Walaupun yang tengah terjadi di zaman kita, masyarakatnya terlihat lebih produktif dengan kebutuhan ekonominya, saya berharap di tiap transaksi perut itu tadi, bisa jadi ladang amal buat masyarakat kita. Bertransaksi tanpa kedzaliman, memperhatikan kehalalan, dan tidak berlebih-lebihan.
Transaksi Suci
Zakat. Kewajiban umat islam yang harus dipenuhi. Rukun islam ketiga. Tepat sebelum puasa. Keberadaan zakat dalam rukun keislaman seseorang telah menjelaskan bahwa Islam sama sekali bukan agama ukhrawi yang tidak mementingkan kehidupan dunia. Zakat disaratkan agar sesama muslim peduli dengan kondisi perekonomian saudaranya. Membuktikan tidak ada kesenjangan sosial dalam ajaran Islam. Dalam Undang-Undang mutlak umat Islam, Surat AtTaubah ayat 103, zakat merupakan Transaksi yang akan mensucikan harta pemilik sementara harta-harta itu. Allah telah menitipkan harta itu kepada kita sebagai nikmat dan ujian. Nikmat, karena dengan harta kita bisa memberi lebih banyak untuk kebaikan umat. Ujian, karena harta bisa menggoyahkan iman.
Maka dari itu, semoga kita bisa benar-benar menikmati harta dengan sebaik-baiknya. Nikmati dengan berbagi. Karena sebanyak apapun harta yang kita miliki, yang bisa kita nikmati hanyalah rezeki bagian kita. Sisanya yang merupakan hak orang lain, berhati-hatilah terhadapnya. Jika tidak, perhatikan apa yang telah terjadi. Terjadi kegoyahan perekonomian umat Islam Indonesia. Berdasarkan survey beberapa lembaga zakat, umat islam Indonesia baru beberapa persen yang sadar untuk membayarkan zakatnya. Terlebih zakat profesi atau zakat pendapatan sebesar 2,5 %. Zakat yang banyak dikenal adalah hanya zakat fitrah. Maka, semoga dengan kesadaran kita semua membayar zakat ini, dapat membantu mengembalikan kejayaan perekonomian umat islam khususnya dan perbaikan perekonomian dunia umumnya.
Transaksi Riba
Hari minggu yang lalu, saya sempat memergoki seorang mbak yang membawa 2 gepok uang. Saya takjub, berani banget nih orang. Tapi, ternyata cuma pecahan seribuan sebanyak dua ratus ribu rupiah, untuk saweran ponakan waktu lebaran nanti katanya. Saya jadi ingat tahun lalu ketika diterminal ada yang ‘jualan’ duit.
Inilah transaksi lain yang menurut saya tidak kalah pentingnya dari pengamatan saya yang lain, adalah fenomena penukaran uang besar kedalam pecahan yang lebih kecil. Nah… ini nih yang saya sebut transaksi riba. Sudah dibahas sebelumnya riba itu haram. Dan jual beli itu berbeda dengan riba. Tapi, apakah dalam 2 kasus ini termasuk riba?
Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan Fatwa bernomerkan 28 tentang jual beli mata uang. Transaksi Bai’ Sharf (jual beli uang) yang dibolehkan dengan ketentuan berikut :
- Tidak untuk spekulasi.
- Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga.
- Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
- Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Fatwa ini pada dasarnya berlaku untuk transaksi mata uang asing atau lebih kepada proses transaksi perdagangan internasional. Maka, hal yang mesti dicermati terkait ini adalah dalil apa yang melarangnya. Berikut Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w. bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
Kemudian, Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi s.a.w. bersabda: “(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”
Hadist yang pertama yang saya beri tanda adalah syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan jual beli ini. Walaupun disana tidak disebutkan rupiah dengan rupiah, tapi menurut jumhur ulama uang disamakan dengan emas karena fungsinya sebagai alat pembayaran. Maka, untuk kasus pertama yang saya ceritakan tadi, mbak-mbak yang membawa pecahan dua ratus ribu tadi ternyata menukarkan dua lembar seratusribuan miliknya kepada Bank BI dengan pecahan seribuan. Maka Bank BI memberikan uang seribu sebanyak dua ratus lembar kepada si mbak tanpa lebih selembar pun. Maka, kasus pertama ini sah, halal dan tidak ada riba. Karena nilainya sama dan sejenis, yaitu rupiah dan rupiah secara tunai, pada saat itu juga.
Bagaimana dengan yang diterminal? Pada umumnya, pelaku yang menjual uang pasti mengambil lebih dari nominal uang yang ingin ditukarkan. Sebenarnya ada dua kemungkinan disini. Ada yang menganggap tambahan dari uang ini adalah riba yang berarti haram karena menyalahi dalil yanga ada. Mengadakan tambahan atas uang yang ditukarkan. Dan ada yang menganggap tambahan ini boleh. Karena tambahan ini dianggap sebagai upah atas usaha yang dilakukan ‘penjual’ uang karena telah membantu kita menukarkan uang sehingga kita tidak perlu repot ke bank lagi. Untuk penafsiran yang kedua, berarti yang menjadi objek atau benda yang diperjualbelikan adalah jasa. Bukan uang pecahan tadi. Dalil mengenai bolehnya memberikan upah atas sebuah jasa atau administrasi seperti yang berlaku pada akad qardh. Jadi, perlu ditegaskan uang itu bukan objek yang diperjualbelikan, karena dalam ekonomi islam, uang bukan asset atau komoditas yang bisa diperjual belikan. Uang tidak berharga kecuali ketika digunakan untuk menilai suatu barang.
Maka, pihak yang membolehkan ini menyebut para pelaku ini dengan ‘penukar’ uang bukan ‘penjual’ uang. Tapi, mengenai berapa besarnya tambahan yang boleh diambil, haruslah sama berapapun pecahannya. Sebenarnya timbul ketidakjelasan (gharar) lagi disini menurut saya. Karena, tidak ada harga yang wajar untuk menilai jasanya. Oleh karena itu, MUI juga pernah mengeluarkan fatwa keharaman terhadap transaksi ini. Wallahu’alam. Semoga ibadah Ramadhan kita tidak dirusak dengan amalan-amalan yang tidak diridhai Allah.
Allahumma innaka ‘afuwwun kariim, tuhibbul ‘afwaa, fa’fu’annii.