Tidak berlebihan jika ada pernyataan bahwa tiga tahun pertama usia manusia menentukan kehidupannya di masa depannya. Banyak yang bertanya-tanya tentang aktivitas belajar anak balita karena anak sebelia itu sering terlihat pasif atau justru terlampau aktif, membuat orang dewasa tidak yakin bahwa mereka banyak belajar dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Padahal, di masa tersebut, sel-sel dan saraf otak ibarat tali temali yang saling terhubung kuat karena adanya pemicu (yang disebut sebagai stimulasi), dengan stimulasi yang dilakukan, maka koneksi sel-sel otak semakin kuat dan permanen. Sedangkan sel-sel saraf otak yang tidak distimulasi akan rusak dan dibuang. Namun untuk menstimulasi otak balita ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena meskipun hebatnya perkembangan otak bayi di usia tersebut, otak balita juga rentan kerusakan karena treatment yang keliru. Treatment yang dimaksud seperti, membentak dan bertengkar di depan anak yang menyebabkan anak stress, melenyapkan rasa ingin tahunya dengan menyuruhnya diam saat ia menanyakan sesuatu, mengganti buku dengan aktivitas menonton gambar bergerak alias televisi, dan lain sebagainya.
Kesadaran orang tua saat ini mulai berkembang sangat baik, banyak orang tua yang mulai berpikir untuk mempercayakan pendidikan pre-school dan bayinya pada lembaga daycare, sekolah bayi, playgroup, atau lembaga homeschooling di kotanya. Diharapkan dengan menyekolahkan sang anak sejak dini, anak mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan dasar untuk persiapannya menuju sekolah formal. Namun, sehebat-hebatnya lembaga beserta instruktur yang berada di dalamnya dalam usahanya membekali anak dengan berbagai stimulasi, rumah adalah sebaik-baiknya lembaga/sekolah bagi sang anak. Di rumah justru dapat menjadi tempat paling strategis untuk mengembangkan bakat dan potensi anak sejak dini. Lembaga hanyalah salah satu tiang penyokong perkembangan kecerdasan emosi, akal dan spiritual anak, selebihnya adalah tanggung jawab orang tua. Lalu apa yang bisa dilakukan anak balita di rumahnya?
Anak usia balita, memiliki struktur otak yang masih murni dan ibarat pisau yang harus diasah untuk menjadi tajam, stimulasi ini dirangkum dalam beberapa aktivitas/kegiatan fisik maupun nonfisik yang mampu mengembangkan kecerdasan sang anak. Kegiatan belajar anak usia dini tidak memiliki struktur atau kurikulum yang berat, tidak ada target akademis yang harus dicapai dalam pelajaran yang ia lakukan di rumah. Semua pencapaian yang dihasilkan anak murni ditujukan untuk membantunya lebih siap belajar hal-hal yang lebih kompleks di lingkungan luar rumah atau sekolah formal.
Stimulasi yang dapat dilakukan di rumah antara lain:
Stimulasi Kecerdasan Emosional. Seiring bertambahnya umur, manusia mengalami perubahan-perubahan emosi, dan ini sangat dipengaruhi oleh pangalaman-pengalaman dalam hidupnya serta lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Setiap kejadian dan permasalahan yang timbul melahirkan berbagai bentuk emosi dalam diri manusia. Jika pengetahuan dan kecerdasan emosional yang didapatnya sangat minim, maka besar kemungkinan ia mengalami yang namanya kebutaan emosi, yang nantinya justru akan menuntun anak pada emosi-emosi negatif seperti tidak bersabar, mudah putus asa, mudah marah, dan lain sebagainya. Kecerdasan emosional membantu kita untuk mewujudkan cita-cita dan harapan kita, merespon perasaan cinta, dan menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam hidup. Anak kecil belum mampu membedakan atau menjelaskan emosi yang ia rasakan, maka sedikit latihan dan stimulasi yang kita ajarkan akan membantunya mengenali, mengendalikan, dan merespon emosi yang ia rasakan. Bantu mereka untuk mempelajari kosakata yang berkaitan dengan emosi, seperti, “aku takut”, “aku merasa ragu”, aku merasa gelisah”. Jika anda dapat mengenali emosi mereka, maka katakankan, “ sepertinya kamu sedang marah/sedih”. Ciptakan suasana aman dan kondusif sehingga anak mampu mengungkapkan perasaannya secara jelas, terbuka, dan apresiatif. Selain itu, Anda dapat mendiskusikan perasaan emosi yang dirasakan oleh orang lain yang diamati bersama atau perasaan emosi dirinya sendiri beberapa waktu yang telah lalu, diskusikan hal-hal sederhana, sperti ”apa yang menyebabkan aku/mereka marah?”, “apa yang membantuku/nya meredakan marah itu?”, dan seterusnya.
Stimulasi Kecerdasan Sosial. Perkembangan sosial anak akan berhubungan dengan kecerdasan emosi yang dia pelajari, maka mengajarkannya untuk bersimpati/empati dapat menjadi salah satu usaha merangsang kecerdasan sosial anak. Berdasarkan caranya besosialisasi, anak terbagi menjadi tiga macam. Pertama, anak yang mudah bergaul, Kedua anak yang perlu penyesuaian diri, dan yang ketiga adalah anak yang sulit. Untuk anak pertama dan kedua mungkin tidak ada hambatan yang berarti dalam perkembangan sosialnya. Namun untuk jenis anak ketiga seringkali membuat was-was orang tua, karena seolah-olah anak terlihat anti-sosial. Padahal, jika kita mau bersabar sembari membantunya mengenali lingkungan, ia akan menjadi anak yang ramah dan terbuka terhadap sekitar.
Stimulasi Kecerdasan Akal. Pemikiran anak sebenarnya lebih kompleks dibanding orang dewasa, karena mereka seringkali memikirkan sesuatu hingga detail, maka tak heran anak usia balita sangat gemar bertanya ini itu. Pemenuhan “gizi akal” anak balita dapat dipenuhi dengan permainan dan eksplorasi yang sarat dengan pelajaran di dalamnya. Membaca buku, mendengarkan dongeng, melayani pertanyaannya, menggambar, mengumpulkan kerang di laut (lalu mengelompokkannya berdasakan warna/besar-kecil, dan sebagainya), menggunting, menempel, semua aktivitas tersebut adalah makanan bergizi bagi akalnya. Maka, menyediakan waktu beserta fasilitas belajarnya akan mendukung perkembangan akalnya.
Stimulasi Perkembangan Motorik/Fisik. Anak yang sehat adalah anak yang aktif, anak yang aktif berarti ia sehat secara fisik dan sehat secara psikologis. Dari bayi usia 0 bulan, perhatikanlah fase-fase yang dilalui. Pada fase berapa ia harus bisa menggenggam, meremas, menuang-menumpahkan mainan/pasir/dll, merangkak, berdiri, dan lain sebagainya. Setiap perkembangan bayi merupakan bentuk ketrampilan standar yang umumnya harus dicapai, karena pada beberapa kasus kerusakan otak anak dapat menunjukkan sebuah perkembangan abnormal yang memicu adanya disfungsi organ, seperti cacat, bisu/tuli, bahkan ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder), gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan perasaan mudah gelisah, tidak bisa tenang, meletup-letup, dan sebagainya.
Stimulasi Kecerdasan Spiritual. Pengetahuan dan pemahaman spiritual menjadi bagian yang penting dalam perkembangan kecerdasan anak secara keseluruhan. Menyambut keingintahuannya tentang banyak hal, seperti mengapa ada siang-malam, siapa yang menurunkan hujan, Siapa yang menciptakan adik bayi, Hal-hal sederhana seperti itu sering menjadi bahan pemupukan spiritual dalam diri anak. Kisah-kisah heroik dari dalam Al Qur’an, sejarah hidup Rasulullah, dan keindahan ahlak beliau dapat menjadi cerita yang akan menumbuhkannya menjadi anak yang meneladani sifat-sifat mulia idolanya; Rasulullah SAW.
Siapa yang bertanggungjawab dalam menstimulasi kecerdasan-kecerdasan tersebut? Tentu saja orang-oang yang hidup di dalam rumahnya; ibu, ayah, nenek/kakek, pengasuh, khadimat, dan siapapun yang tinggal di dalam rumahnya hendaknya dikondisikan untuk ramah terhadap perkembangan anak. Dengan begitu, anak akan tumbuh dan berkembang dalam pengasuhan yang positif, dan ia pun siap menghadapi masa depannya yang penuh dengan tantangan.