Jika pembaca merasa bingung dan tidak mengetahui tempat sesudah ayat yang telah dicapainya, maka bertanyalah kepada orang lain. Patutlah dia mengacu dengan apa yang diriwayatkan daripada Abdullah Abu Mas’ud, Ibrahium An-Nakha’I dan Basyir bin Abu Mas’ud ra. Mereka berkata, apabila seseorang dari kamu bertanya kepada saudaranya tentang suatu ayat, hendaklah dia membaca ayat yang sebelumnya, kemudian diam dan tidak mengatakan bagaimana bisa begini dan begini, hal itu akan mengelirukannya.
Mengutip Ayat untuk Berhujjah
Jika ingin berdalil dengan suatu ayat, maka dia bisa berkata, Qaalallahu Ta’ala kadza (Allah telah berfirman demikian) dan dia bisa berkata, Allaahu Ta’ala Yaquulu kadza (Allah berfirman demikian). Tidak ada makruhnya sesuatu pun dalam hal ini. Ini adalah pendapat yang shahih dan yang terpilih yang didukung bersama oleh ulama Salaf dan Khalaf.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mutharif bin Abdullah Ibn Asy Syakhiir seorang tabi’in yang masyhur, katanya: Janganlah kamu katakan, Innallaaha Ta’ala Yaquulu, tetapi katakanlah, Innallah Subhanahu wa Ta’alaa Ta’ala qaala. Apa yang diingkari oleh Mutharif rahimahullah ini bertentangan dengan apa yang disebut di dalam Al Qur’an dan As-Sunnah dan dilakukan oleh para sahabat serta para ulama setelah mereka-mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhaoi mereka.
Allah berfirman: “Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS Al Ahzab 33:4)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘Anh katanya:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Allah berfirman: “Barangsiapa berbuat baik, maka dia mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.” (QS Al An’am 6:60)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dalam bagian Tafsir; “Lan Tanaalul birra hattaa tunfiquu mimmaa tuhibbuun.”
Abu Talhah berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yangsempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali-Imran 3:92)
Ini adalah pendapat Abu Thalhah di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Diriwayatkan dalam hadits shahih dari Masruq rahimahullah, katanya: Aku berkata kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, bukankah Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Tuhan di ufuk yang terang.” (QS At-Takwir 81:23)
Maka Aisyah menjawab, tidaklah engkau mendengar bahwa Allah berfirman: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” (QS Al An’am 6:130)
Atau tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman: “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berbicara dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.” (QS Asy-Syuura 26:51)
Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS Al Maidah 5:67)
Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman: “Katakanlah! Tidak ada seorang pun di langit dan dibumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (QS An-Naml 27:65)
Pendapat ini lebih banyak ditemukan dalam pandangan ulama Salaf dan Kalaf. Wallahua’lam.
Imam An Nawawi