(Disunnahkan) menangis ketika membaca Al Qur’an. Telah diterangkan dalam dua fasal yang terdahulu [baca: Adab dan Etika Membaca Al Qur’an: Khusyu’ dan Mengulang-ulang Bacaan] berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan tangis ketika membaca Al Qur’an. Menangis ketika membaca Al Qur’an merupaan sifat orang-orang yang arif dan syiar hamba-hamba Allah Yang shaleh.
Allah berfirman: “Dan mereka menyukur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS Al Isra’ 17:109)
Diriwayatkan sejumlah hadits dan atsar Salaf. Antara lain, diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sabdanya: “Bacalah Al Qur’an dan menangislah. Jika kamu tidak menangis, maka usahakanlah supaya menangis.”
Diriwayatkan dari Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu ‘Anh bahwa dia mengimami jamaah sembahyang Subuh dan membaca Surah Yusuf. Dia menangis hingga mengalir air matanya hingga membasahi tulang bahunya. Dalam suatu riwayat, kejadian itu berlangsung dalam sembahyang Isya’. Maka hal itu menunjukkan berlakunya pengulangan bacaan. Dalam suatu riwayat, dia menangis hingga mereka mendengar tangisannya dari belakang shaf-shaf.
Diriwayatkan dari Abu Raja’, katanya: “Kulihat Ibnu Abbas di bawah kedua matanya nampak bekas seperti tali selipar yang usang lantaran air mata.”
Diriwayatkan dari Abu Shahih, katanya: Beberapa orang datang dari Yaman menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh mereka membaca Al Qur’an dan mereka menangis. Kemudian Abu Bakar berkata: “Demikianlah keadaan kami jika membaca Al Quran.”
Diriwayatkan dari Hisyam, katanya: “Terkadang aku mendengar tangis Muhammad bin Sirin pada waktu malam ketika dia sedang sembahyang.”
Banyak atsar yang menerangkan yang demikian itu yang tidak mungkin menghitungnya. Apa yang telah saya kemukakan dan saya tunjukkan kiranya sudah memadai. Wallahua’lam.
Imam Abu Hamid Al Ghazali berkata: “Menangis itu disunnahkan pada waktu membaca Al Qur’an. Cara dapat menangis adalah menghadirkan kesedihan di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-janji yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur diperbuat.”
Jika tidak bisa menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia menangis atas kegagalan itu karena hal itu termasuk musibah yang besar.
Imam An Nawawi