Adab dan Etika Membaca Al Qur’an: Bacaan Al Qur’an di Dalam Shalat (2)

Menggabungkan Dua Surat

Tidaklah mengapa jika menggabungkan dua surat dalam satu rakaat. Mengikut riwayat yang terdapat di dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Aku telah mengetahui surat-surat dimana pernah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggabungkannya. Dia menyebut dua puluh surat dari Al Mufashshal, setiap dua surat dalam rakaat. Telah kami kemukakan dari jamaah Salaf pembacaan berkhatam dalam satu rakaat.

Sirr dan Jahr

Para ulama Muslim sependapat atas sunnahnya membaca dengan suara kuat dalam shalat Subuh, Jumaat, dua hari raya dan dua rakaat dari shalat Maghrib dan Isyak, shalat Tarawih dan Witir sesudahnya. Ini adalah mustahab bagi imam dan orang yang shalat sendirian.  Sementara makmum, maka ia tidak menguatkan suaranya sesuai dengan ijmak.

Sunnah membaca dengan suara kuat dalam shalat gerhana bulan dan tidak membaca dengan keras dalam shalat gerhana Matahari, membaca dengan keras dalam shalat Istisqa’ (minta hujan) dan tidak membaca dengan suara kuat dalam shalat jenazah, jika shalatnya berlangsung pada waktu siang, demikian jugalah di malam hari menurut madzhab yang shahih dan terpilih.

Tidak membaca dengan suara kuat dalam shalat nawafil siang hari kecuali shalat Hari Raya dan Istisqa’. Para sahabat kami (Syafi’iyah) berlainan pendapat berkenaan dengan shalat nawafil(sunnah) di malam hari. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak membaca dengan suara kuat.

Pendapat kedua membaca dengan suara kuat.

Pendapat ketiga, yaitu yang lebih shahih dan didukung bersama oleh Al Qadhi Husain dan Al Baghawi ialah membaca antara kuat dan pelan.

Sekiranya tertinggal shalat pada waktu malam, kemudian dia mengqadhanya pada waktu siang atau tertinggal pada waktu siang dan mengqadahnya di malam hari, sama saja dikira dalam bacaan kuat dan bacaan pelan waktu yang tertinggal itu ataukah waktu qadha?

Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat dari pada sahabat kami. Pendapat yang lebih tepat adalah dikira waktu qadha.

Sekiranya membaca dengan kuat di tempat bacaan pelan atau membaca dengan pelan di tempat bacaan kuat, maka shalatnya sah, tetapi melakukan perbuatan yang makruh dan tidak sujud karena lupa.

Ingatlah bahwa bersuara pelan dalam mereka membaca Al Qur’an, takbir dan dzikir-dzikir lainnya adalah dengan mengucapkannya sehingga terdengar oleh dirinya dan mesti diucapkan kalau pendengarannya sehat dan tidak ada penghalangnya. Jika dirinya tidak mendengar bacaannya, maka tidak sah bacaannya ataupun dzikir-dzikir lainnya tanpa ada perselisihan.

Diam Sejenak

Para sahabat kami berkata, disunnahkan bagi imam dalam shalat yang kuat bacaannya agar diam empat kali dalam keadaan berdiri.

  1. Diam sesudah takbiratul ihram untuk membaca doa tawajjuh dan para makmum membaca takbir.
  2. Sesudah Al Fatihah diam sebentar saja antara akhir Al Fatihah dan ucapan Aamiin supaya tidak timbul sangkaan bahwa Aamiin termasuk Al Fatihah.
  3. Diam lama setelah mengucapkan Aamiin.
  4. Setelah membaca surat untuk memisahkan dengannya antara pembacaan surat dan takbir untuk melakukan rukuk.

Membaca Amin

Disunnahkan bagi setiap pembaca, sama saja dalam shalat atau di luar shalat, jika selesai membaca Al Fatihah agar menguacapkan Aamiin. Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Telah kami kemukakan dalam bab sebelumnya bahwa disunnahkan memisahkan antara akhir Al Fatihah dan ucapan Aamiin dengan diam sebentar.

Aamiin artinya: “Ya Allah, kabulkanlah.”

Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat, “Demikianlah, maka jadilah.”

Ada orang yang berpendapat, “Lakukanlah.”

Ada orang yang berpendapat artinya, “Tidak ada seorangpun yang dapat melakukan ini selain Engkau.”

Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat artinya “Jangan sia-siakan harapan kami.”

Ada orang yang berpendapat, artinya adalah “Ya Allah, selamatkanlah kami dengan kebaikan.”

Ada orang yang berpendapat, ia pelindung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya dengan menolak berbagai bencana dari mereka.

Ada orang yang berpendapat, ia adalah derajat di Surga yang dianugerahkan kepada siapa yang mengucapkannya.

Ada orang yang berpendapat, ia adalah salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala Para pengkaji menolak pendapat ini.

Ada orang yang berpendapat, ia adalah nama Ibrani yang tidak diarabkan.

Abu Bakar Al Warraq berkata, ia adalah kekuatan untuk berdoa dan permintaan turunnya rahmat.

Ada orang yang berpendapat selain itu.

Terdapat beberapa cara mengucapkan Aamiin. Para ulama berkata, yang paling fasih adalah Aamiin dengan memanjangkan Hamzah dan meringankan mim, cara kedua dengan memendekkannya. Kedua pendapat ini mansyur. Cara ketiga dengan imaalah diserta mad. Al Wahidi menceritakan hal itu dari Hamzah dan Al Kisaa’i. Cara keempat dengan tasydid pada mim disertai mad. Al-Wahidi menceritakannya dari Al Hasan dan Al Husain bin Al Fudhail.

Katanya: itu ditegaskan oleh apa yang diriwayatkan dari Jaafar Ash- Shidiq ra, katanya: Artinya adalah kami menuju kepada-Mu sedang Engkau Maha Pemurah hingga tidak menyia-nyiakan orang yang menuju. Ini pendapat Al-Wahidi. Cara keempat ini asing sekali. Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya sebagai kesalahan ucapan dari golongan orang awam.

Sebagian dari sahabat kami berpendapat, barangsiapa mengucapkan carakeempat, batallah shalatnya. Ahli bahasa Arab berkata, haknya dalam bahasa Arab adalah waqaf (berhenti) karena kedudukannya seperti suara. Jika disambung, huruf nuun diberi harakat fathah karena adanya pertemuan dua sukun sebagaimana dia diberi harakat fathah pada Aina dan Kaifa, maka tidak diberi harakat kasrah karena beratnya bacaan kasrah sesudah ya’. Inilah penjelasan yang berkaitan dengan lafaz Aamiin.

Saya telah menjelaskan hal itu dengan banyak bukti dan pendapat tambahan dalam kitab Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat.

Para ulama berkata, diutamakan mengucapkan Aamiin dalam shalat bagi imam, makmum dan orang yang shalat sendirian. Imam dan orang yang shalat sendirian membaca Aamiin dengan suara kuat dalam shalat yang jahar bacaannya.

Mereka berlainan pendapat berkenaan dengan bacaan kuat oleh makmum. Pendapat yang shahih ialah membaca dengan suara kuat. Pendapat kedua tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat ketiga membaca dengan suara kuat jika banyak jumlahnya. Kalau tidak banyak, maka tidak membaca dengan kuat. Ucapan Aamiin oleh makmum bersamaan dengan ucapan Aamiin oleh imam, tidak sebelumnya ataupun sesudahnya sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits sahih:  “Jika imam mengucapkan ‘Wa ladhdhaalliin,’ ucapkanlah ‘Aamiin’ karena barangsiapa yang ucapan ‘Aamiin’nya bertepatan dengan ucapan ‘Aamiin’ para malaikat, maka Allah mengampuni dosanya yang terdahulu.”

Manakala sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits sahih: “Jika imam mangucapkan Aamiin, maka ucapkanlah Aamiin.” Artinya ialah apabila ingin mengucapkan Aamiin.

Para sahabat kami berkata, tidak ada dalam shalat suatu tempat yang diutamakan agar ucapan makmum bersamaan dengan ucapan imam, kecuali dalam ucapan Aamiin. Sementara dalam ucapan-ucapan lainnya, maka ucapan makmum datang kemudian setelah imam.

Imam An Nawawi