Para ulama sependapat atas perintah melakukan Sujud Tilawah. Mereka berlainan pendapat sama saja perintah itu merupakan sunnah atau wajib?
Jumhur ulama mengatakan, tidak wajib, tetapi mustahab (sunnah). Ini pendapat Umar Ibnu Al Khattab Radhiyallahu ‘Anh, Ibnu Abbas, Imran bin Hushairi, Malik, Al Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tahur, Dawud dan lainnya.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, hukumnya wajib. Dia berhujah dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Mengapa mereka tidak beriman. Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS Al Insyiqaaq 84:20-21)
Jumhur ulama berhujah dengan hadis shahih dari Umar Ibnu Al Khattab Radhiyallahu ‘Anh, “Bahwa dia membaca di atas mimbar pada hari Jumaat surat An-Naml hingga sampai ayat sajadah, dia turun kemudian sujud dan orang lain pun sujud. Sehingga pada hari Jum’at berikutnya dia membacanya hingga tiba pada ayat sajadah, katanya: ‘Wahai para manusia. Sesungguhnya kita melalui tempat sujud, maka barangsiapa yang sujud, dia telah melakukan sesuatu yang benar. Dan siapa yang tidak sujud, dia tidak berdosa,’ dan Umar tidak sujud.” (Riwayat Bukhari)
Perbuatan dan perkataan Umar Radhiyallahu ‘Anh di majelis ini adalah dalil yang jelas.
Sementara jawaban terhadap ayat yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah Radhiyallahu ‘Anh adalah jelas karena yang dimaksud adalah mencela mereka yang meninggalkan sujud sebagai ungkapan pendustaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala sesudahnya:
“Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (nya)” (QS Al Insyiqaaq 84:22)
Diriwayatkan dalam Shahihain dari Zaid bin Tsabit ra bahwa dia membaca di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. ‘Wa-Najmi’ dan beliau tidak sujud.
Diriwayatkan dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sujud ketika membaca surat An-Najm.”
Maka semua itu menunjukkan bahwa Sujud Tilawah tidak wajib.
Jumlah Sujud Tilawah dan Tempatnya
Penjelasan tentang jumlah Sujud Tilawah dan tempatnya. Sementara jumlahnya sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syafi’irahimahullah dan mayoritas ulama adalah 14 sajadah, yaitu: Surat Al A’raaf, Ar-Ra’ad, An-Nahl, Al-Israa’, Maryam, dalam surat Al Hajj ada dua sujud, Al Furqan, An-Naml, Alif Laam Tanziil, Haa Mim As-Sajadah, Al Insyiqaaq dan Al ‘Alaq.
Sementara sajadah dalam surat Shaad, maka hukumnya mustahab dan tidak ditekankan untuk melakukan sujud.
Diriwayatkan dalah Shahih Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh, katanya: “Sajadah dalam surat Shaad bukanlah sujud yang ditekankan dan aku telah melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sujud pada ayat itu.”
Ini adalah madzhab Asy’Asy Syafi’id an orang yang berpendapat seperti dia.
Abu Hanifah berkata, jumlahnya ada 14 sajadah, tetapi dia menggugurkan sajadah kedua surat Al Hajj dan menetapkan sajadah dalam surat Shaad serta menjadikannya sebagai sajadah yang diharuskan sujud.
Diriwayatkan dari Ahmad ada dua riwayat. Yang satu seperti Asy’Asy-Syafi’i dan yang kedua ada 15 sajadah dengan tambahan dalam surat Shaad. Ini adalah pendapat Abul Abbas bin Syuraih dan Abu Ishaq Al Marzuki dari pengikut Asy- Syafi’i dan paling terkenal dari keduannya adalah 11 sajadah. Dia menggugurkan sajadah dalam surat An-Najm, Al Insyiqaaq dan Al ‘Alaq.
Ini adalah pendapat lama dari Asy Syafi’i dan yang shahih adalah apa yang kami kemukakan. Hadits-hadits yang shahih menunjukkan hal itu. Sementara tempat Sujud Tilawah terdapat pada:
1. Akhir Surat Al A’raf:
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang disisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.” (QS Al A’raf 7:206)
2. Dalam surat Ar-Ra’d ialah sesudah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ
“… pada waktu pagi dan petang hari.” (QS Ar-Ra’d 13:15)
3. Dalam surat An-Nahl:
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“…dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS An-Nahl 16:50)
4. Dalam Al Israa’:
وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“… dan mereka bertambah khusyuk.” (QS Al Israa’ 17:109)
5. Dalam Surat Maryam:
خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“… maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS Maryam 19:58)
6. Sajadah pertama dari surat Al Hajj ialah:
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“…Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berbuat apa yang dia kehendaki.” (QS Al Hajj 22: 18)
7. Sajadah kedua dalam surat Al Hajj:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“…berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj 22:77)
8. Dalam surat Al Furqan:
تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا
“…dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh dari (iman).” (QS Al Furqan 25:60)
9. Dalam surat An-Naml:
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
“… Tuhan Yang Mempunyai ‘Arasy yang agung.” (QS An-Naml 27:26)
10. Dalam surat Alif Laam Mim Berita:
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ
“… sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (QS As-Sajadah 32: 15)
11. Dalam Surat Haa Mim:
فَإِنِ اسْتَكْبَرُوا فَالَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ يُسَبِّحُونَ لَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُمْ لا يَسْأَمُونَ
“…sedang mereka tidak merasa jemu.” (QS Fushshilat 41:38)
12. Akhir surat An-Najm:
فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka bersujudlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sembahlah (Dia).” (QS An-Najm 53:62)
13. Dalam surat Al Insyiqaaq:
وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لا يَسْجُدُونَ
“… mereka tidak sujud.” (QS Al Insyiqaaq 84:21)
14. Dan bacalah di akhir surat Al ‘Alaq (QS 96 ayat ke-19)
كَلا لا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
“Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (QS Al ‘Alaq 96:19)
Tidak ada perselisihan yang berarti berkenaan dengan suatu tempatnya, kecuali berkenaan dengan sajadah yang terdapat dalam surat Haa Mim. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Imam Asy Syafi’idan para pengikutnya berpendapat bahwa tempatnya adalah apa yang kami sebutkan, yaitu sesudah yas-amuuna. Ini adalah madzhab Said Ibnu Musayyab, Muhammad bin Sirin, Abu Waail Syaqiq bin Salamah, Sufyan Ath-Thauri, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq bin Rahaqaih. Orang lainnya berpendapat bahwa tempatnya sesudah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: In Kuntum iyyaahu ta’ buduun (QS Fushshilat: 37).
Ibny Nundzir menceritakannya dari Umar Ibnul Khattab, Hasan Al Bashri dan para pengikut Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’I, Abu Shahih, Thalhah bin Masharif, Zubaid Ibnul Harith, Malik bin Anas dan Al Laits bin Sa’ad. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, Al Baghawi menceritakannya dalam At-Tahdziib.
Sementara pendapat Abul Hasan Ali bin Said Al Abdi salah seorang sahabat kami dalam kitabnya Al Kifayah berkenaan dengan perselisihan fuqaha di kalangan kami, bahwa sajadah dalam surat An-Naml ayat 25, adalah pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Wa ya’lamu maayukhfuuna wamaa yu’linuun, berkata bahwa Ini adalah madzhab sebagian besar fuqaha.
Malik berkata, bahwa sajadah itu pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbul ‘arsyil ‘azhiim (QS An-Naml: 26)
Pendapat ini yang dipetik dari madzhab kami dan madzhab sebagian besar fuqaha yang tidak dikenal dan tidak diterima, tetapi merupakan kesalahan yang nyata. Inilah kitab-kitab para sahabat kami yang menegaskan bahwa sajadah itu pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbul ‘arsyil ‘Azhiim.
Syarat dan Rukun
Hukum Sujud Tilawah sama dengan hukum shalat, nafilah dalam pensyaratan suci dari hadats dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Maka haram Sujud Tilawah pada orang yang di badan atau bajunya terdapat najis yang tidak dapat dimaafkan. Dan haram atas orang yang berhadats, kecuali jika dia bertayamum di suatu tempat yang diharuskan bertayamum.
Diharamkan pula menghadap selain kiblat, kecuali dalam perjalanan di mana bisa menghadap selain kiblat dalam shalat nafilah. Semua ini disetujui oleh para ulama.
Ayat Sajadah dalam Surat Shaad
Jika membaca sajadah (dalam Surat Shaad), orang yang berpendapat bahwa dalam surat itu merupakan ketentuan tempatnya Sujud Tilawah, maka dia berkata, bisa sujud baik ketika dia membacanya di dalam shalat atau di luarnya sebagaimana sajadah-sajadah lainnya. Sementara Asy Syafi’idan lainnya berpendapat bahwa pada tempat itu tidak termasuk tempat tujuan Sujud Tilawah, maka mereka berkata, apabila membacanya di luar shalat, diutamakan baginya sujud karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sujud pada tempat itu sebagaimana kami kemukakan.
Jika membacanya dalam shalat, dia tidak sujud. Jika sujud, sedang dia tidak tahu atau lupa, tidaklah batal shalatnya, tetapi dia lakukan sujud Sahwi. Jika dia mengetahui, maka pendapat yang shahih adalah batal shalatnya karena dia menambah dalam shalat sesuatu yang bukan termasuk dari shalat, maka batallah shalatnya. Sebagaimana jika dia lakukan sujud syukur, maka sujud itu membatalkan shalatnya tanpa ada perselisihan.
Pendapat kedua adalah tidak batal karena berkaitan dengan shalat. Sekiranya imamnya sujud pada sajadah dalam surat Shaad karena dia meyakininya termasuk sajadah yang ditekankan untuk sujud sedang makmum
tidak menyakininya, maka dia tidak mengikuti imam, tetapi memsisahkan diri daripadanya atau menunggunya sambil berdiri. Jika menunggunya, apakah makmum itu melakukan sujud Sahwi? Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak sujud.
Mendengarkan Bacaan Sajadah
Berkenaan dengan orang yang disunnahkan untuk Sujud Tilawah. Ingatlah bahwa disunnahkan melakukan Sujud Tilawah bagi pembaca Al Qur’an yang bersuci dengan air atau tanah, sama saja dalam shalat atau di luarnya.
Disunnahkan pula bagi orang yang mendengar dan orang yang mendengar tanpa sengaja. Bagaimanapun Imam Asy Syafi’iberkata, bahwa saya tidak menekankan ke atasnya sebagaimana saya tekankan bagi orang yangmendengar. Inilah pendapat yang shahih.
Imamul Haramain sahabat kami berkata, bahwa orang yang mendengar tidak perlu sujud. Pendapat yang mansyur adalah pendapat pertama. Tiada bedanya sama saja pembacanya dalam shalat atau di luar shalat disunnahkan bagi orang yang mendengar ataupun yang mendengar untuk sujud. Sama saja pembacanya sujud atau tidak. Inilah pendapat yang shahih dan mansyur menurut para sahabat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah juga menyatakan demikian. Sahibul Bayaan dari Ash-Habusy Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa orang yang mendengar bacaan orang yang membaca di dalam shalat, tidak perlu sujud.
Ash-Shaidalani sahabat Asy Syafi’iberkata, bahwa tidak disunnahkan sujud, kecuali jika pembacanya sujud. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Tidak ada bedanya sama saja pembacanya seorang muslim laki-laki yang sudah baligh dan bersuci atau sorang kafir atau anak kecil atau berhadats atau seorang perempuan. Ini adalah pendapat yang shahih menurut pendapat kami dan Abu Hanifah juga berkata demikian.
Sebagian sahabat kami berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang kafir, anak kecil, orang yang berhadats dan orang yang mabuk. Sejumlah ulama Salaf berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang perempuan.
Ibnul Munzir menceritakannya dari Qatadah, Malik dan Ishaq. Pendapat yang lebih benar adalah apa yang kami kemukakan.
Jika orang yang mendengar ayat sajadah itu sujud bersama pembaca, dia tidak terikat dengannya dan tidak berniat mengikutinya dan dia bisa bangkit dari sujud sebelumnya.
Meringkas Sujud Tilawah
Tentang meringkas sujud Tilawah. Yang dimaksud adalah membaca satu atau dua ayat, kemudian sujud. Ibnul Mundzir menceritakan dari Asy-Sya’bi, Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin, An-Nakha’I, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka tidak menyukai hal itu. Diriwayatkan daripada Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Thsaur bahwa hal itu tidak ada masalah denganya dan ini sesuai dengan madzhab kami.
Shalat Munfarid
Jika shalat sendirian, dia bisa sujud untuk bacaan dirinya sendiri. Seandainya dia meninggalkan Sujud Tilawah dan rukuk, kemudian ingin sujud untuk tilawah sesudahnya, maka tidak bisa. Jika sudah merebahkan diri untuk rukuk tetapi belum sampai ke batas rukuk, maka bisa melakukan Sujud Tilawah.
Jika dia lakukan dengan mengetahuinya, batallah shalatnya. Jika dia sudah merebahkan dirinya untuk sujud Tilawah, kemudian teringat dan berdiri semula, maka hal itu bisa.
Sementara jika orang yang shalat sendirian mendengar bacaan seorang pembaca dalam shalat atau lainnya, maka dia tidak bisa sujud karena mendengarnya. Jika dia sujud dengan mengetahui, batallah shalatnya.
Sementara orang yang shalat berjamaah, apabila dai sebagai imam, maka dia seprti orang yang shalat sendirian. Jika Imam Sujud Tilawah karena bacaannya sendiri, wajiblah atas makmum untuk sujud bersamanya. Jika tidak dilakukannya, batallah shalatnya, Jika imam tidak sujud, maka makmum tidak bisa sujud. Jika makmum sujud, batallah shalatnya.
Bagaimanapun diutamakan baginya untuk sujud jika selesai shalat dan tidak ditekankan.
Sekiranya imam sujud sedang makmum tidak tahu hingga imam mengangkat kepalanya dari sujud, maka dia dimaafkan atas ketertinggalannya dan dia tidak bisa sujud. Sekiranya dia mengetahui sedang imam dalam keadaan sujud, wajiblah dia sujud. Sekiranya dia rebahkan diri untuk sujud, kemudian imam mengangkat kepalanya ketika dia sedang bergerak untuk sujud, maka dia mesti berdiri semula bersamanya dan tidak bisa sujud.
Demikian orang lemah yang merebahkan untuk sujud bersama imam, apabila imam bangkit dari sujud sebelum orang yang lemah itu sampai ke tempat sujud lantaran cepatnya imam dan lambatnya makmum yang lemah itu, maka dia kembali bersamanya dan tidak bisa meneruskan sujud.
Sementara jika orang yang shalat itu sebagai makmum, maka dia tidak bisa sujud karena bacaannya sendiri ataupun karena bacaan selain imamnya. Jika dia sujud, batallah shalatnya. Dan makruh baginya membaca ayat sajadah dan mendengar pada bacaan selain imamnya.
Waktu Sujud Tilawah
Para Ulama berkata, bahwa sujud Tilawah itu mesti dilakukan sesudah ayat sajadah yang dibaca atau didengarnya. Jika dia tangguhkan dan tidak lama selang waktunya, dia bisa sujud. Jika lama selang waktunya, maka telah berlalu waktu sujudnya dan tidak perlu mengqadha menurut madzhab yang shahih dan masyhur, sebagaimana shalat gerhana matahari tidak bisa di qadha. Salah seorang sahabat kami berkata, bahwa ada pendapat lemah yang mengatakan bahwa sujud itu bisa di qadha sebagaimana mengqadha sunnah-sunnah rawatib, seperti sunnah Subuh, Zuhur dan lainnya.
Kalau pembaca atau pendengarnya berhadats ketika membaca sajadah, kemudian bersuci dalam waktu yang tidak lama, dia bisa sujud. Jika bersucinya terlambat hingga lama selang waktunya, maka pendapat yang shahih dan terpilih yang ditetapkan oleh sebagian besar ulama adalah tidak sujud.
Ada orang yang berpendapat bahwa dia bisa sujud. Ini adalah pilihan Al Baghawi sahabat kami. Dia pun bisa menjawab muadzin (orang yang azan) setelah selesai shalat. Hal yang dikira berkenaan dengan lamanya selang waktu dalam hal ini adalah menurut kebiasaan sebagai madzhab terpilih. Wallahua’lam.
Membaca Beberapa Ayat Sajadah
Jika seluruh ayat sajadah atau beberapa sajadah dibaca dalam suatu majelis, maka dia sujud pada setiap sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulangi bacaan satu ayat dalam beberapa majelis, maka dia sujud untuk setiap kali sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulanginya dalam satu majelis, maka ada beberapa pandangan. Jika tidak sujud untuk kali pertama, cukuplah baginya sekali sujud untuk semuanya. Jika dia sujud untuk kali yang pertama, maka ada tiga pendapat berkenaan dengan perkara tersebut. Cara yang lebih shahih adalah sujud sekali untuk setiap bacaan karena adanya sebab baru setelah memenuhi hukum yang pertama.
Pendapat kedua, cukuplah baginya sujud setelah bacaan pertama untuk semuanya. Ini adalah pendapat Ibnu Surajj dan Mazhab Abu Hanifah rahimahullah. Penulis Al ‘Uddah sahabat kami berkata, inilah yang difatwakan. Asy-Syeikh Nashr Al Maqdisi Az-Zaahid sahabat kami memilih pendapat ini.
Pendapat ketiga, jika selang waktunya berlangsung lama, dia bisa sujud. Kalau tidak, cukuplah baginya sujud karena sajadah yang pertama. Jika satu ayat dibaca berulang-ulang dalam shalat dan kalau hal itu dilakukan dalam satu rakaat, maka seperti satu majelis. Kalau berlangsung dalam dua rakaat, maka dia seperti dua majelis hingga dia ulangi sujudnya tanpa ada perselisihan.
Membaca Surat Sajadah di Kendaraan
Jika membaca sajadah sambil menaiki kendaraan dalam perjalanan, dia bisa sujud dangan memberi isyarat. Ini adalah madzhab kami, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, Zufar, Dawud dan lainnya. Seorang sahabat Abu Hanifah berkata dia, tidak perlu sujud. Pendapat yang lebih banar adalah madzhab mayoritas ulama. Sementara orang yang menaiki kendaraan di tempat menetap, maka dia tidak bisa sujud dengn memberi isyarat.
Membaca Ayat Sajadah Sebelum Al Fatihah
Jika dia membaca ayat sajadah dalam shalat sebelum Al Fatihah, maka dia bisa sujud. Lain halnya jia dia membaca dalam rukuk atau sujud, maka dia tidak bisa sujud. Karena berarti adalah tempat membaca. Sekiranya dia membaca sajadah, kemudian merebahkan diri untuk sujud, kemudian dia ragu sama saja membaca Al Fatihah atau belum, maka dia bisa sujud untuk tilawah.
Kemudian dia berdiri lagi dan membaca Al Fatihah karena Sujud Tilawah tidak bisa ditangguhkan.
Membaca Ayat Sajadah dalam Bahasa Persia
Jika seseorang membaca sajadah dengan bahasa Persia, maka menurut pendapat kami tidak perlu sujud, sebagaimana jika ayat sajadah itu ditafsirkan.
Namun Abu Hanifah berpendapat bisa sujud.
Bacaan Ayat Sajadah Imam
Tidaklah makruh pembacaan ayat sajadah oleh imam, menurut pendapat kami, sama saja dalam shalat yang pelan bacaannya atau dalam shalat yang jahar bacaannya dan dia bisa sujud jika membacanya.
Dalam hal ini Imam Malik berpendapat, bahwa sujud tidak disukai sama sekali. Abu Hanifah berpendapat, Makruh sujud Tilawah dalam shalat yang pelan bacaannya, bukan shalat yang jahar bacaannya.
Membaca Ayat Sajadah di Waktu Makruh
Menurut pendapat kami tidak makruh Sujud Tilawah dalam waktu-waktu yang dilarang shalat. Ini juga merupakan pendapat Asy-Sya’bi, Hasan Al Bashri, Salim bin Abdullah, Al Qasim, Atha’, Ikrimah, Abu Hanifah, Ashabur Ra’yi dan Malik dalam salah satu dari dua riwayat. Sejumlah ulama tidak menyukai hal itu. Diantara mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’id, Ibnul Musayyab dan Malik dalam riwayat lain, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Thaur.
Rukuk Pengganti Sujud
Rukuk tidak bisa manggantikan kedudukan sujud Tilawah dalam keadaan ikhtiar. Ini mazhab kami dan madzhab mayoritas Ulama Salaf dan Kalaf. Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, rukuk bisa menggantikannya.
Dalil yang dipakai oleh mayoritas adalah mengkiaskannya dengan sujud dalam shalat. Sementara orang yang tidak sanggup sujud, maka dia memberi isyarat untuk Sujud Tilawah sebagaimana dia memberi isyarat untuk sujud dalam shalat.
Sifat (Posisi) Sujud
Tentang sifat sujud. Ingatlah bahwa orang yang melakukan sujud Tilawah mempunyai dua keadaan. Yang pertama, di luar shalat dan yang kedua di dalam shalat.
Sementara keadaan pertama, maka jika dia ingin sujud, dia niatkan Sujud Tilawah dan melakukan takbiratul ihram dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahunya sebagaimana dia melakukan takbiratul ihram untuk shalat. Kemudian dia takbir lagi untuk Sujud Tilawah tanpa mengangkat tangan. Takbir yang kedua ini mustahab, bukan syarat, seperti takbir sujud untuk shalat. Sementara takbir yang pertama, yaitu takbiratul ihram, maka ada tiga pendapat dari sahabat-sahabat kami.
Pendapat pertama adalah yang paling tepat yaitu pendapat sebagian besar dari mereka, bahwa takbir yang pertama (takbiratul ihram) merupakan rukun dan tidak sah sujud Tilawah kecuali dengannya.
Pendapat kedua adalah mustahab. Sekiranya takbir itu ditinggalkan sujudnya tetap sah. Ia adalah pendapat Asy-Syeikh Abu Muhammad Al Juwaini. Pendapat ketiga tidak mustahab. Wallahua’lam.
Kemudian, jika orang yang ingin sujud itu dalam keadaan berdiri, dia pun mengucapkan takbiratul ihram, kemudian takbir untuk sujud ketika merebahkan diri ke tempat sujud. Jika dalam keadaan duduk, maka jamaah daripada sahabat kami berpendapat: Disunnahkan baginya berdiri, kemudian takbiratul Ihram dalam keadaan berdiri kemudian merebahkan diri untuk sujud, sebagaimana halnya ketika permulaan dalam keadaan berdiri.
Dalil pendapat ini adalah mengkiaskan takbiratul ihram dan sujud dalam shalat. Orang yang menetapkan ini antara lain imam-imam sahabat kami Asy-Syeikh Abu Muhammad Al Juwaini dan AlQadhi Husain dan kedua sahabatnya ini adalah penulis At-Titimmah dan At-Tahdzib dan Imam Al Muhaqiq Abul Qasim Ar-Rafi’i. Imamul Haramain menceritakannya dari ayahnya Asy-Syeikh Abu Muhammad. Kemudian dia mengingkarinya dan berkata, saya tidak melihat dasar dikemukakannya alasan perkara ini. Apa yang dikatakan oleh Imamul Haramain ini adalah benar. Tidak ada riwayat yang shahih berkenaan dengan hal ini dari pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak pula dari ulama Salaf yang bisa dibuat sandaran. Mayoritas dari sahabat kami tidak ada yang menyebutnya. Wallahua’lam.
Kemudian ketika sujud dia mesti memperhatikan adab-adab sujud dalam bentuk (haiah) dan tasbihnya. Sementara berkenaan dengan haiahnya, maka dia letakkan kedua tangannya setakat kedua bahunya di atas tanah dan merapatkan jari-jemarinya serta membentangkannya ke arah kiblat dan membentangkan jarijemarinya dari genggaman sebagaimana orang yang melakukan sujud dalamshalat. Dia jauhkan kedua sikunya dari kedua sisinya dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya kalau seorang lelaki. Jika dia seorang perempuan, maka dia tidak menjauhkannya. Orang yang sujud mengangkat bagian bawahnya di atas kepalanya dan merapatkan dahi dan hidungnya di atas mushalla (alas tempat shalat) dan tenang dalam sujudnya.
Sementara tasbih di dalam sujud, maka para sahabat kami berpendapat, dia bertasbih seperti bertasbih dalam sujud shalat. Dia ucapkan tiga kali Subhana Rabbiyal A’la tiga kali.
Kemudian dia ucapkan:
“Ya Allah, kapada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuk rupanya, membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya. Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”
Dan dia ucapkan Subbuhun Qudduusun Rabbul malaaikati warruuh.
Semua ini diucapkan orang yang shalat dalam sujudnya ketika shalat. Para sahabat kami juga berkata, diutamakan mengucapkan:
“Ya Allah, tulislah bagiku dengan sujud ini pahala di sisi- Mu dan jadikanlah dia bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, hapuskan dosa dariku dan terimalah dia dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba- Mu Dawud as.”
Doa ini khusus bagi sujud ini (Sujud Tilawah), maka patutlah dia selalu dibaca.
Al-Uatad Isma’il Adh-Dharir berkata dalam kitabnya At-Tafsir bahwa pilihan Asy Syafi’ira dalam doa sujud Tilawah adalah mengucapkan:
“Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” (QS Al Isra’ 17:108)
Petikan dari Asy Syafi’i ini aneh sekali dan ia adalah baik. Karena zahir Al Qur’an menghendaki ucapan pujian di dalam sujud oleh pelakunya. Maka disunnahkan menggabungkan antara dzikir-dzikir ini seluruhnya dan berdoa berkenaan dengan urusan-urusan akhirat dan dunia yang diinginkannya. Jika dia batasi pada sebagiannya, sudah cukup bacaan tasbihnya. Sekiranya tidak bertasbih dengan sesuatu apa pun, tercapailah sujudnya seperti halnya sujud dalam shalat.
Kemudian ketika selesai dari bertasbih dan berdoa, dia angkat kepalanya sambil bertakbir.
Apakah Sujud Tilwah memerlukan salam? Terdapat dua pendapat yang masyhur dari Asy-Syafi’i. Cara yang lebih shahih dari keduanya menurut jumhur sahabatnya ialah dia memerlukan salam karena memerlukan takbiratul ihram dan menjadi seperti shalat jenazah. Di didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anh bahwa apabila membaca ayat sajadah, dia pun sujud, kemudian memberi salam.
Pendapat kedua, tidak memerlukan salam seperti Sujud Tilawah dalam shalat karena hal itu tidak dinukil dari pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Berdasarkan pendapat pertama, apakah dia memerlukan tasyahud?
Terdapat dua pendapat berkenaan dengan perkara tersebut. Cara yang lebih sahih dari keduanya ialah tidak perlu tasyahud, sebagaimana tidak perlu berdiri.
Salah seorang sahabat kami menggabungkan antara dua masalah dan berkata, berkenaan dengan tasyahud dan salam ada tiga pendapat:
1. Pendapat yang lebih shahih ialah mesti memberi salam tanpa membaca tasyahud.
2. Pendapat kedua, dia tidak memerlukan salah satu dari keduanya.
3. Dan pendapat ketiga ialah mesti melakukan keduanya.
Mereka yang berpendapat harus memberi salam, antara lain Muhammad bin Sirin, Abu Abdurrahman As-Salami, Abul Ahwash, Abu Qalabah dan Ishaq bin Rahawaih.
Mereka yang berpendapat tidak perlu memberi salam, antara lain Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’I, Yahya bin Wathab dan Ahmad.
Semua ini dalam keadaan pertama, yaitu sujud di luar shalat. Keadaan kedua, yaitu melakukan Sujud Tilawah dalam shalat, maka dia tidak perlu mengucapkan takbiratul ihram dan diutamakan bertakbir untuk sujud dan tidak mengangkat kedua tangannya serta bertakbir untuk bangkit dari sujud.
Inilah pendapat yang shahih dan masyhur yang didukung bersama oleh mayoritas ulama.
Abu Ali bin Abu Huarirah salah seorang sahabat kami berkata, dia tidak perlu bertakbir untuk sujud ataupun untuk bangkit dari sujud. Pendapat yang terkenal adalah pendapat pertama.
Sementara adab-adab dalam haiah dan tasbih dalam Sujud Tilawah adalah seperti dalam sikap sujud yang lalu di luar shalat. Kecuali jika orang yang sujud itu menjadi imam, maka hendaklah dia tidak memanjangkan tasbih, kecuali jika dia tahu dari keadaan para makmuk bahwa mereka lebih suka memanjangkannya.
Kemudian, ketika bangkit dari sujud, dia berdiri dan tidak duduk untuk diam sejenak tanpa ada perselisihan. Ini adalah masalah yang aneh dan jarang orang menyebutnya. Di antara yang menyebutnya adalah Al Qadhi Husain, Al Baghawi dan Ar-Rafi’i. Ini berlainan dengan sujud shalat.
Pendapat yang shahih dan disebutkan oleh Asy Syafi’idan terpilih yang tercatat dalam hadits-hadits shahih riwayat Bukhari dan lainnya adalah anjuran untuk duduk istirahat sesudah sujud yang kedua dari rakaat pertama dalam setiap shalat dan pada rakaat ketiga dalam shalat yang rakaatnya empat.
Kemudian, apabila bangkit dari Sujud Tilawah, maka harus berdiri tegak. Disunnahkan ketika berdiri tegak adalah membaca sesuatu, kemudian rukuk. Jika berdiri tegak, kemudian rukuk tanpa membaca sesuatu, maka hukumnya bisa.
Imam An Nawawi