Sering kita mendengar banyak kasus perselisihan justeru terjadi antara orang-orang yang berilmu. Berawal dari keinginan untuk saling adu pendapat lalu akhirnya menjadi perdebatan yang semakin lama semakin meruncing. Kasusnya bermacam-macam, mulai dari hal yang memang harus diluruskan semisal aqidah, tapi tidak jarang pula hal remeh temehlah yang diperdebatkan misalnya tentang pemilu.
Tentu kita masih ingat, pada saat pemilihan umum presiden tahun 2014. Semua orang bicara, merasa tahu banyak tentang calon yang diusung masing-masing. Sayangnya tidak jarang, pengetahuan itu dilandasi dengan pemahaman pokoknya saya yang benar dan bila ada yang menjelekkan calon yang saya usung berarti dia salah. Mirisnya adalah, ini tidak hanya terjadi di level masyarakat bawah namun berlaku juga di level pejabat pemerintahan.
Parahnya lagi, sampai-sampai tak terbedakan mana yang benar-benar tahu, dan mana yang benar-benar hanya sok tahu namun pandai membual. Pada saat itu, nyaris tidak terbedakan mana yang benar-benar berilmu dan mana yang sepertinya berilmu.
Semua kedaan ini menjadi tambah runyam ketika tidak semua orang bisa mengedepankan adab dan akhlak yang baik saat menyampaikan apa yang diyakini. Mereka yang punya ilmu kadang kurang bisa menahan diri untuk tidak ‘nyinyir’saat menyampaikan ilmu yang dimiliki. Sedangkan yang tidak atau kurang berilmu, karena kurangnya ilmu mereka seringnya menjadi orang-orang yang sulit diberi masukkan.
Contoh kasus lain adalah tentang pro kontra vaksin. Ini seolah menjadi perdebatan abadi yang semakin hari semakin memanas. Bagian yang pro dengan vaksinasi melakukan berbagai macam cara untuk mengedukasi lingkungan sekitarnya untuk melakukan vaksinasi dengan alasan kesehatan dan kemaslahatan ummat. Sedang yang kontra dengan vaksinasi berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya dengan berbagai macam cara, bahwa vaksinasi itu tidak perlu, justeru malah membuat sakit dan lain sebagainya.
Sama seperti kasus pemilu diatas, bila antara yang pro dan kontra bertemu, perdebatan tidak bisa dielakkan. Tidak jarang sampai menghina dan menghujat, karena merasa benar dan berusaha memaksa orang lain untuk mengakui dan mengikuti apa yang dia yakini. Pada titik ini yang terjadi justeru tidak terbedakan mana yang sebenarnya berilmu kalau keduanya saling menghujat satu sama lain. Bukankah mereka yang berilmu harusnya bisa lebih panjang akalnya, lebih santun dan tenang saat menyampaikan kebenaran.
Menjadi beradab saat berilmu memang menjadi hal yang sulit dilakukan ketika tidak dilatih. Apalagi ketika kita berada di lingkungan yang masyarakatnya masih awam. Rasa dalam diri merasa lebih berilmu dari yang lain akhirnya banyak membuat kita merasa berhak untuk menghakimi orang lain. Maka menjadi penting untuk terus menjaga adab dan akhlak kepada siapapun sejak saat ini. Bukankah bila kita menyampaikan ilmu dengan cara yang baik dan santu ilmu yang kita miliki lebih mudah diterima.
Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau.” (HR. Muslim)