Risalah ini merupakan ringkasan dari risalah yang disusun oleh Ustadz Farid Nu’man Hasan mengenai Adab dan Sunnah Berhari Raya, yang beliau susun dengan gaya bahasa ilmiah sehingga terkesan berat bagi masyarakat awam. Ringkasan ini kami susun agar muatan risalah tersebut dapat memberikan faidah kepada masyarakat secara lebih luas.
Berhari raya bagi seorang muslim bukan sekedar berbahagia dan bersenang-senang. Tetapi, justru momen untuk semakin menguatkan hubungan dengan Allah Ta’ala, namun sayangnya hal ini sudah banyak dilupakan banyak umat Islam. Mereka lebih fokus pada simbolitas semata, seperti berbaju baru, makan-makan, dan menghabiskan uang.
Oleh karenanya, ada baiknya kita mengetahui adab-adab apa saja yang mesti kita lakukan ketika berhari raya, yang dengannya berhari raya menjadi bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala.
Adab-adab Hari Raya
1. Mandi Sebelum Shalat ‘Id
Ibnul Qayyim dalam Za’dul Maad mengatakan, Nabi mandi pada dua hari raya, telah terdapat hadits shahih tentang itu, dan ada pula dua hadits dhaif: pertama, hadits Ibnu Abbas, dari riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah shahih dari Ibnu Umar –yang memiliki sikap begitu keras mengikuti sunnah- bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar rumah.
2. Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak, hasan)
Nafi’ menceritakan tentang Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu saat hari raya: “Beliau shalat subuh berjamaah bersama imam, lalu dia pulang untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang terbaik, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia keluar menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu ketika imam datang dia shalat bersamanya, setelah itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke rumahnya.”
3. Makan Dulu Sebelum Shalat ‘Idul Fitri, Tidak Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Adh-ha
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berangkat untuk shalat sebelum makan beberapa kurma.” Murajja bin Raja berkata, berkata kepadaku ‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.” (HR. Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah, mengatakan, “Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari ‘Idul Fithri.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu.” (HR. At Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984, shahih)
4. Melaksanakan Shalat ‘Id di Mushala (Lapangan)
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id, kecuali di lapangan (mushalla). Namun, jika ada halangan seperti hujan, lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid. Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat ‘Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata, “Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali sekali karena adanya hujan.”
Dari Abu Hurairah, “Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat ‘Id bersama mereka di masjid. (HR. Abu Daud)
5. Dianjurkan Kaum Wanita dan Anak-anak Hadir di Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya mesti disambut dengan suka cita. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: “Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wnaita haid.”
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan idul Adha. Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menajwab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini lafaznya Imam Muslim)
Sunnah-sunnah Hari Raya
1. Shalat Hari Raya ‘Id
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Shalat ‘Idul Adh-ha (juga Idul Fithri) adalah sunah muakadah. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah: “Disyariatkannya shalat ‘Idain (dua hari raya) pada tahun pertama dari hijrah, dia adalah sunah muakadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau memerintahkan kaum laki-laki dan wanita untuk keluar meramaikannya.”
2. Mendengarkan Khutbah Hari Raya
Berkhutbah hari raya adalah sunah menurut jumhur ulama, mendengarkannya juga sunah. Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan: “Khutbah setelah shalat ‘Id adalah sunah, mendengarkannya juga begitu.”
Dari Abdullah bin As Saa’ib Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Saya menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika shalat sudah selesai, beliau bersabda: “Kami akan berkhutbah, jadi siapa saja yang mau duduk mendengarkan khutbah maka duduklah, dan yang ingin pergi, pergilah!” (HR. Abu Daud, shahih)
3. Berangkat dan Pulang Melewati Jalan yang Berbeda
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma, katanya: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar pada hari Id akan menempuh jalan yang berbeda. (HR. Bukhari No. 986)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar menuju shalat dua hari raya, pulangnya menempuh jalan yang berbeda dengan keluarnya. (HR. Ahmad)
4. Mengucapkan Selamat Hari Raya: “Taqabbalallahu Minna wa Minka”
Telah diriwayatkan dari Al Watsilah, bahwa beliau berjumpa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengucakan: “Taqabballahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda).” Namun sanad riwayat ini dhaif (lemah/tidak valid), sebagaimana yang dikatakan Al Imam Al Hazifh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari.
Namun, Imam Ibnu Hajar berkata:” “Kami meriwayatkan dalam kitab Al Mahamilliyat, dengan sanad yang hasan (bagus), dari Jubeir bin Nufair, katanya: dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa pada hari raya, satu sama lain berkata: “Taqabbalallahu minna wa minka.”
5. Bergembira dengan Pesta yang Halal
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah: Melakukan permainan yang dibolehkan, gurauan yang baik, nyanyian yang baik, semua itu termasuk di antara syiar-syiar agama yang Allah tetapkan pada hari raya , untuk menyehatkan badan dan mengistirahatkan jiwa.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdatang ke Madinah, saat itu mereka memiliki dua hari untuk bermain-main. Lalu Beliau bersabda: “Dua hari apa ini?” Mereka menjawab: “Dahulu, ketika kami masih jahiliyah kami bermain-main pada dua hari ini.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan buat kalian dua hari itu dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Daud)
6. Bertakbir Pada Hari Raya
Untuk bertakbir pada ‘Idul Fitri, Allah Ta’ala berfirman: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah (2): 185)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, dalam Fiqhus Sunnah, mengatakan: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa bertakbir pada ‘Idul Fithri dimulai sejak keluar menuju shalat ‘Id, sampai mulainya khutbah. Hal itu telah diriwayatkan dalam hadits-hadits dhaif, walau ada yang shahih hal itu dari Ibnu Umar dan selainnya dari kalangan sahabat nabi. Berkata Al Hakim: ini adalah sunah yang tersebar dikalangan ahli hadits. Dan inilah pendapat Malik, Ahmad, ishaq, dan Abu Tsaur. (, 1/325).
Sedangkan Imam As Syafi’i mengatakan bahwa bertakbir sudah mulai sejak awal tenggelam matahari akhir Ramadhan.
Untuk takbir pada ‘Idul Adh-ha, Allah Ta’ala berfirman: “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Baqarah (2): 203). Maksud “hari-hari yang telah ditentukan”adalah hari-hari tasyriq, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas.
Waktu bertakbir bagi Idul Adha yang shahih adalah sejak hari ‘Arafah sampai ashar hari-hari tasyriq, yaitu 11,12,13, dari Dzulhijjah. (Fiqhus Sunnah, 1/325). Ini adalah takbir khusus yang dilaksanakan setelah shalat. Sedangkan takbir yang mutlak boleh dikerjakan sejak tanggal 1 Dzulhijjah.
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1-10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
Boleh dikeraskan suaranya, sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara fuqaha tentang kebolehan bertakbir dengan dikeraskan di jalan menuju lapangan saat ‘Idul Adh-ha.”