Suatu hari, di Mesir 1300 tahun lalu. Seorang mempelai pria memasuki kamar pengantinnya dan mendapati sang istri duduk diatas tempat tidur dengan tersenyum. Ketika dia berusaha mendekatinya, sang istri pun berkata:
“Wahai suamiku, engkau adalah imamku dan aku adalah makmum mu. Tentunya hak setiap makmum mengetahui kecerdasan dan ilmu sang imam. Maka terangkanlah padaku apa hak seorang ibu, seorang istri, dan seorang anak kepadamu menurut perkataan Imam Asy Syafi’i.”
Sang suami pun berkata:
” Alhamdulillah… Maha suci Allah yang telah memberiku karunia seorang istri yang lidahnya terlebih dahulu menguji ilmuku sebelum nantinya dia akan meminta kesabaran dan kemuliaan akhlakku. Adapun hal seorang ibu, seorang istri, dan seorang anak menurut Imam Al Muzani yang disyarah dari pendapat Imam Syafi’i adalah…………,” dan suami menjelaskan jawaban dari istrinya panjang lebar.
Percakapan diatas menurut kita saat ini boleh saja hanyalah terjadi ketika kedua mempelai adalah lulusan lc dari universitas Islam selayak Al Azhar Mesir, Ummul Qura Madinah, atau fakultas-fakultas di Suriah dan Yaman.
Namun percayalah sejatinya percakapan selayak diatas adalah percakapan yang jamak terjadi atas antara pasang suami istri kebanyakan di Mesir 1300 tahun silam. Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam kitab ‘Manhaj al Imam asy Syafi’i fii Istbaat al Aqidah.
‘Pada saat itu, seorang anak gadis saja, yang di anggap tidak dapat menuntut ilmu selayak pemuda karena mereka tidak mungkin menghadiri majelis majelis ilmu disebabkan menghindari ikhtilat memiliki naskah Mukhtasar al Muzani yang disimpan di antara barang barang miliknya.”
Masya Allah….bayangkan bagaimana ke istiqamahan seorang muslimah saat itu dalam mencari ilmu.
Anda tahu berapa tebal kitab Mukhtashar Al Muzani? Berapa banyak ilmu di dalamnya? Atau jangan-jangan Mukhtasar Al Muzani saja belum kita kenal sampai saat ini.
Sebagai gambaran kasar, Mukhtashar Al Muzani adalah uraian (syarah) ilmu dan hujjah Imam Asy Syafi’i selama imam Al Muzani menjadi muridnya. Butuh 20 tahun bagi Imam Al Muzani menuntaskan tulisan Al Mukhtashar miliknya. Dan kitab inilah yang kemudian menjadi pembicaraan sehari-hari para muslimin dan muslimah saat itu. Pantaslah dari keturunan-keturunan mereka lahirlah para alim dan abid serta penegak diin yang tsiqah di jalan Allah.
Beralihlah kepada masa sekarang, 1300 tahun kemudian. Ingatlah baik baik serta rekam ulang jejak ke ilmuan kita. Adakah anda para gadis muslimah pernah sekali saja menamatkan kitab Al Mukhtashar Imam Muzani? Atau pernah anda para pemuda muslim mempelajari kitab Al Umm karya Imam asy Syafi’i hingga khatam? Pernahkah seorang suami mengajari sang istri ilmu-ilmu yang berasal dari Al Quran dan al Hadist atau setidaknya saling belajar dan mengajari bersama?
Atau pernahkah kita terpikir memiliki kitab ini? Terpikir membelinya walau dalam keadaan payah selayak imam syafii yang harus menggadaikan rumah ibunya senilai 16 dinar emas hanya untuk belajar ke negeri Yaman?
Atau jangan-jangan kitab lebih berazzam untuk mengumpulkan uang demi membeli baju baru via online walau baju lama masih berumur 2 bulanan. Atau gadget baru yang semakin keren. Atau jangan-jangan kita lebih berazzam mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk liburan tiga negara, Malaysia, Singapura, Thailand yang menghabiskan uang hingga 4 jutaan bahkan lebih daripada mempunyai kitab-kitab berkah tersebut?
Bila belum terpikir, sudah saatnya berpikir. Bila belum memiliki azzam, sudah saatnya bersungguh sungguh. Karena kualitas hidup kita, baik disaat belum berkeluarga ataupun sudah berkeluarga di tentukan oleh ilmu dan amal yang kita miliki.