Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian aku tunjukkan amalan yang terbaik, yang paling dicintai di sisi Allah, yang menempati derajat paling tinggi, yang lebih baik dari infak emas dan perak, dan yang lebih baik daripada bertemu dengan musuhmu, lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu (jihad fisabilillah)?”
Para sahabat yang hadir berkata, “Mau (wahai Rasulullah)!”
Beliau bersabda, “Dzikir kepada Allah Yang Maha Tinggi.” (HR. Tirmidzi)
Dzikir seperti apa yang memiliki keutamaan seagung itu? Jawabnya adalah adz dzikr al kamil, yaitu dzikir yang sempurna.
Lantas, bagaimana dzikir yang sempurna itu? Para ulama mengatakan, setidaknya ada 3 kriteria dzikir dikatakan dzikir yang sempurna.
Pertama, dzikran katsiran, dzikir yang banyak. Yang dimaksud dzikir yang banyak adalah (minimalnya) kita berdzikir dengan dzikir yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada momen-momen tertentu.
Dzikir ketika bangun tidur, sebelum dan sesudah wudhu, mengenakan pakaian, becermin, pergi ke masjid, pagi dan petang, sebelum dan sesudah makan, serta dzikir-dzikir lainnya. Maksimalnya adalah seperti yang tertulis dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 191, lisan kita selalu basah dan hati kita selalu larut dengan zikir di kala berdiri, duduk, dan berbaring.
Kedua, dzikir yang memadukan antara lisan dengan hati. Maksudnya adalah setiap dzikir yang lisan kita ucapkan, kita resapi dalam hati, kita pahami maknanya, dan kita harapkan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga, dzikir yang mengiringi seluruh amalan kita. Setiap amalan yang kita lakukan kita padukan dengan dzikir.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata bahwa salah satu bentuk dzikir yang sempurna ialah ketika seorang shalat ia berdzikir, ketika berpuasa ia berdzikir, ketika bersedekah ia berdzikir, dan ketika berperang pun ia berdzikir.