Syi’ah Dalam Pandangan Buya HAMKA

Salah satu klaim dari kelompok Syiah adalah tudingan bahwa Buya HAMKA adalah Ulama yang mendukung Syiah. Dengan menyeret nama Buya HAMKA, kelompok Syiah ingin mengatakan eksistensi ajarannya juga didukung oleh para ulama besar di Indonesia.

Sumber-sumber di internet pun kemudian bertebaran dengan menyertakan ucapan Buya HAMKA dalam mendukung Syiah. Sayangnya sumber-sumber di internet tersebut tidak pernah disertai dengan bukti-bukti yang memadai untuk dapat di-crosscheck kebenarannya.

Posisi Buya HAMKA sendiri terkait Syiah dapat kita rujuk dari tulisan-tulisannya. Dalam majalah Panji Masyarakat No. 169/Tahun ke XVII, 15 Februari 1975 (4 Shafar 1395 H) hal 37-38, sebagaimana dilansir Islampos.com, Buya HAMKA sudah menjelaskan lebih jauh kritiknya terhadap ajaran Syiah yang menyelisihi Ahlus Sunnah. Bahkan Buya HAMKA pun mendudukkan posisi Hassan dan Muawiyah sebagai dua pihak yang menghendaki persatuan Islam. Jauh dari lontaran caci maki seperti ditulis oleh para tokoh-tokoh dan kitab-kitab Syiah selama ini terhadap Muawiyah.

Kritik HAMKA terhadap Syiah ini bermula ketika Warga Negara Indonesia di Amsterdam bernama H. Rifai pada tanggal 30 Desember 1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A Mukti Ali. H. Rifai mengajukan pertanyaan dan penjelasan mengenai keturunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Oleh Menteri Agama Mukti Ali, pertanyaan dari Amsterdam itu diserahkan kepada HAMKA untuk menjawabnya melalui Majalah Panji Masyarakat. Maka agar persoalan Syiah ini dapat diketahui oleh umum, HAMKA merasa perlu melampirkan jawabannya di Majalah Panji Masyarakat. Berikut jawabannya:

Yang pertama sekali hendaklah kita ketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan anak laki-laki. Anaknya yang laki-laki yaitu Qasim, Thaher, Thayib dan Ibrahim meninggal di waktu kecil belaka. Sebagai seorang manusia yang berperasaan halus, beliau ingin mendapat anak laki-laki yang akan menyambung keturunan (nasab) beliau. Beliau hanya mempunyai anak-anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kulsum dan Fathimah. Zainab memberinya seorang cucu perempuan. Itupun meninggal dalam sarat menyusu. Ruqayyah dan Ummu Kulsum mati muda. Keduanya isteri Usman bin Affan, meninggal Ruqayyah berganti Ummu Kulsum (ganti tikar). Ketiga anak perempuan inipun meninggal dahulu dari beliau.

Hanya Fathimah yang meninggal kemudian dari beliau dan hanya dia pula yang memberi beliau cucu laki-laki. Suami Fathimah adalah Ali Bin Abi Thalib. Abu Thalib adalah abang dari ayah Nabi dan yang mengasuh Nabi sejak usia 8 tahun. Cucu laki-laki itu ialah Hasan dan Husain. Maka dapatlah kita merasakan, Nabi sebagai seorang manusia mengharap anak-anak Fathimah inilah yang akan menyambung turunannya. Sebab itu sangatlah kasih sayang dan cinta beliau kepada cucu-cucu ini. Pernah beliau sedang ruku’ si cucu masuk ke dalam kedua celah kakinya. Pernah sedang beliau sujud si cucu berkuda ke atas punggungnya. Pernah sedang beliau khutbah, si cucu duduk ke tingkat pertama tangga mimbar.

Al-Tarmidzi merawikan dari Usamah Bin Zaid bahwa dia (Usamah) pernah melihat Hasan dan Husain berpeluk di atas ke dua belah paha beliau. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Kedua anak ini adalah anakku, anak dari anak perempuanku. Ya Tuhan aku sayang kepada keduanya’.

Dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Abi Bakrah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah pula berkata tentang Hasan, ‘Anakku ini adalah Sayyid (tuan), moga-moga Allah akan mendamaikan tersebab dia diantara dua golongan kaum muslimin yang berselisih’.

Nubuwat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu tepat. Karena pada tahun 60 hijriyah Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah, karena tidak suka melihat darah kaum muslimin tertumpah. Sehingga tahun 60 itu dinamai ‘Tahun Persatuan’. Pernah pula beliau berkata, ‘Kedua anakku ini adalah Sayyid (tuan) dari pemuda-pemuda di syurga kelak’.

Barangkali ada yang bertanya : ‘Kalau begitu jelas bahwa Hasan dan Husein itu cucunya, mengapa dikatakannya anaknya?. Ini adalah pemakaian bahasa pada orang Arab, atau bangsa-bangsa Semit. Di dalam Al Quran surat ke-12 (Yusuf) ayat 6 disebutkan bahwa nabi Ya’kub mengharap moga-moga Allah menyempurnakan ni’mat-Nya kepada puteranya Yusuf, sebagaimana telah disempurnakan-Nya ni’mat itu kepada kedua bapamu sebelumnya, yaitu Ibrahim dan Ishak. Padahal uang bapak atau ayah dari Yusuf adalah Ya’kub. Ishak adalah neneknya dan Ibrahim adalah nenek ayahnya. Di ayat 28 Yusuf berkata, ‘Bapak-bapakku Ibrahim dan Ishak dan Ya’kub’. Artinya nenek-nenek moyang disebut bapak, dan cucu cicit disebut anak-anak. Menghormati keinginan Nabi yang demikian, maka seluruh ummat Muhammad menghormati mereka. Tidakpun beliau anjurkan, namun kaum Quraisy umumnya dan Bani Hasyim dan keturunan Hasan dan Husain mendapat kehormatan istimewanya di hati kaum muslimin.

Bagi Ahlus Sunnah hormat dan penghargaan itu biasa saja. Keturunan Hasan dan Husain dipanggilkan orang Sayyid kalau untuk banyak Sadat. Sebab Nabi mengatakan ‘Kedua anakku ini menjadi Sayyid (tuan) dari pemuda-pemuda di syurga’. Di setengah negeri di sebut Syarif, yang berarti orang mulia atau orang berbangsa, kalau banyak Asyraf. Yang hormat berlebih-lebihan, sampai mengatakan keturunan Hasan dan Husain itu tidak pernah berdosa, dan kalau berbuat dosa segera diampuni Allah adalah ajaran (dari suatu aliran-penulis) kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan.

Apalah lagi di dalam alquran, surat ke-33 ‘al-Ahzab’, ayat 30, Tuhan memperingatkan kepada isteri-isteri Nabi bahwa kalau mereka berbuat jahat, dosanya lipat ganda dari dosa orang kebanyakan. Kalau begitu peringatan Tuhan kepada isteri-isteri Nabi, niscaya demikian pula kepada mereka yang dianggap keturunannya.

Menjawab pertanyaan tentang benarkah Habib Ali Kwitang dan Habib Tanggul keturunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-aidid, Al-jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum Sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir binAli Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sungguhpun yang terbanyak adalah keturunan Husain dari Hadramaut itu, ada juga yang keturunan Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Mekkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggilkan Tuan Sayyid, mereka dipanggil juga HABIB, di Jakarta dipanggilkan WAN. Di Serawak dan Sabah disebut Tuanku. Di Pariaman (Sumatera Barat) disebut SIDI. Mereka telah tersebar di seluruh dunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baghdad, Syam dan lain-lain mereka adakah NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan itu. Di saat sekarang umumnya telah mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada sayidina Ali dan Fathimah.

Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia, pihak al-Irsyad yang menantang dominasi kaum Ba’alawi menganjurkan agar yang bukan keturunan Hasan dan Husain memakai juga title sayid di muka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, tidak pilih keturunan Alawy atau bukan, dengan pimpinan AR Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan ‘al-Akh’, artinya saudara.

Maka baik Habib Tanggul di jawa Timur dan almarhum Habib Ali di Kwitang Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa al-Muhajir yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut itu, dan Ahmad bin Isa tersebut adalah cucu tingkat ke-6 dari cucu rasulullah Husain bin Ali bin Abi Thalib itu. Kepada keturunan-keturunan itu semua kita berlaku hormat dan cinta, yaitu hormat dan cintanya orang Islam yang cerdas, yang tahu harga diri. Sehingga tidak diperbodoh oleh orang-orang yang menyalahgunakan keturunannya itu. Dan mengingat juga akan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Janganlah sampai orang lain datang kepadaku dengan amalnya, sedang kamu datang kepadaku dengan membawa nasab dan keturunan kamu’. Dan pesan beliau pula kepada puteri kesayangannya, Fathimah al-Batul, ibu dari cucu-cucu itu, ‘Hai Fathimah binti Muhammad, beramal-lah kesayanganku. Tidaklah dapat aku, ayahmu menolongmu di hadapan Allah sedikitpun’. Dan pernah beliau bersabda, ‘Walaupun anak kandungku sendiri fathimah, jika dia mencuri aku potong juga tangannya.’

Sebab itu kita ulangilah seruan dari salah seorang ulama besar Alawy yang telah wafat di Jakarta ini, yaitu Sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab, agar generasi-generasi yang datang kemudian dari turunan Alawy memegang teguh agama Islam, menjaga pusaka nenek-moyang, jangan sampai tenggelam ke dalam peradaban Barat. Seruan beliau itupun akan tetap memelihara kecintaan dan hormat ummat Muhammad kepada mereka.

Sumber:  Panji Masyarakat No. 169/Tahun ke XVII, 15 Februari 1975 (4 Shafar 1395 H) hal 37-38.