Dibawah komando Sang Pedang Allah yang Selalu Terhunus, pasukan muslim berhasil melakukan penaklukan demi penaklukan di kawasan Timur Madinah, membebaskan wilayah-wilayah itu dari kekuasaan Persia, memperkenalkan dan mengajak mereka pada Islam yang sejatinya penuh kedamaian. Bulan Shafar 12 H, terjadi perang Ullais, setelah sebelumnya perang di Al Walajah berhasil dimenangkan kaum muslim. Perang Ullais adalah perang yang meninggalkan jejak berupa Sungai Darah, yang merupakan salah satu dari anak sungai Eufrat.
Setelah Khalid berhasil memenangkan peperangan di Ullais, beliau singgah di Al Hirah, dan disambut oleh para pembesar kota, termasuk Qabishaah bin Iyas bin Hayyah ath Tha’i, Sang Gubernur. Terjadi dialog damai diantara mereka, dimana penduduk Al Hirah diwajibkan membayar jizyah sebanyak 9000 dirham, dalam riwayat lain ada yang menyebut 200.000 dirham. Itu adalah jizyah pertama yang dipungut dari tanah Iraq dan dikirim ke Madinah beserta jizyah-jizyah yang sebelumnya dipungut dari para petani.
Sebelum menuliskan surat perdamaian, Khalid meminta penduduk Al Hirah untuk menyerahkan kepadanya seorang wanita bernama Karamah binti Abdul Masih kepada Syuwail, salah seorang diantara prajuritnya. Ia terngiang perkataan Rasulullah shalallahu’alayhi wassalam, “Kelak mereka akan menaklukkan istana-istana Raja Al Hirah yang indah seolah-olah halaman istana mereka laksana taring-taring serigala.” Syuwail berkata kepada Rasulullah shalallahu’alyhiwassalam, “wahai Rasulullah, berilah untukku putri Raja Buqailah.” Rasulullah shalallahu’alayhi wassalam berkata, “Dia akan menjadi milikmu.” Kisah ini disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Bala’il an Nubuwah. Dalam tarikh Ath Thabrani, yang meminta Putri Buqailah bukanlah Syuwail, melainkan Khuraim ibn Aus Ath Tha’i. Namun, riwayat yang menyebutkan Syuwail lebih kuat.
Maka, perdamaian dengan Al Hirah ini adalah masa bagi Syuwail menuntut ‘janji’ Rasulullah atas apa yang akan menjadi miliknya. Dengan berat hati penduduk Al Hirah menyerahkan wanita itu padanya, mereka berkata, “Apa maunya terhadap seorang wanita yang telah berusia delapan puluh tahun?” Namun wanita itu berkata, “Serahkan aku padanya, sebab aku akan menebus diriku darinya, dan sesungguhnya dia telah melihatku ketika aku muda.” Maka, si wanita pun diserahkan kepada Syuwail.
Ketika sedang berduaan dengan Syuwail, wanita itu berkata, “Apa yang engkau inginkan dari seorang wanita yang telah berusia delapan puluh tahun? Aku siap menebus diriku, mintalah berapa pun yang kau mau.” Akhirnya, si wanita berhasil menebus dirinya dengan tebusan yang rendah, hingga Syuwail dicela oleh kawan-kawannya karena tebusan yang diterimanya sangat kecil.
Syuwail mengadukan ini pada Khalid, “Sesungguhnya aku menginginkan jumlah tebusan yang terbesar.” Khalid berkata, “Engkau menginginkan sesuatu, namun Allah menginginkan yang lain, dan sesungguhnya kami menghukumi apa-apa yang tampak dari ucapanmu, adapun niatmu, kami serahkan kepada Allah.” Allah tidak menyandarkan hati manusia kepada manusia. Sebab, hati itu hanya milik Allah semata. Hanya dia sendiri yang mengetahui segala isi yang ada di dalamnya dan Dia yang akan menghisabnya sendiri. Dia hanya memberikan kekuasaan kepada manusia dalam perkara-perkara lahiriah dan nyata, agar manusia tidak menghukumi dengan prasangka dan praduga. Inilah Khalid yang memegang teguh apa yang diajarkan rasulullh kepadanya.
Setahun menetap di Al Hirah sambil mengawasi perkembangan Persia sembari menunjukkan kekuatan tentara muslim yang kuat. Dari Al Hirah, Khalid dan pasukannya menuju AL Anbar, kota di tepi sungai Eufrat, di sebelah barat kota Baghdad. Disebut Al Anbar karenadari daerah itu diekspor biji-biji gandum. Di Al Anbar ini meletuslah peperangan yang dikenal dengan sebutan Dzatul ‘Uyun karena banyaknya tentara musuh yang buta akibat hujaman tombak yang dilembarkan para tentara muslim.
Khalid dan pasukannya berhasil menduduki Al Anbar dan berdiam di situ selama beberapa lama. Di kota ini, banyak shahabat yang belajar menulis Arab dari warga Arab yang bermukim di sana. Konon warga Arab yang bermukim di Iraq itu sudah menetap di sana sejak zaman Bukhtanashshar (Nebukadnezar). Setelah peperangan di Al Anbar, tentara muslim melanjutkan perjalanan untuk melanjutkan ekspansi mereka di kawasan Iraq, hingga mereka menjumpai peperangan-peperangan berikutnya. Perang ‘Ain Tamar, Perang Dumatul Jandal, Perang Al Hushaid, Perang Al Mushayyakh, Perang Ats Tsani, dan Perang Al Firadh, merupakan bukti kejayaan pasukan Khalid di bumi Iraq. Seluruh peperangan tu dimenangkan oleh pasukan muslim dan wilayahnya berhasil diduduki. Pendudukya yang tidak mau memeluk Islam membayar jizyah, dan yang terbuka hatinya maka dibebaskan dari pungutan jizyah. Sayangnya, dikemudian hari mereka melanggar kesepakatan dan melepaskan diri dari perjanjian. Tidak satu pun dari mereka memegang janji kecuali negeri al Bawazij dan Baniqiya, satu kawasan di Al Anbar.
Jika ditelusuri lebih lanjut, upaya pelepasan diri yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut adalah hal yang membenarkan bahwa apa yang diberikan dengan kelemahlembutan dan perlahan tapi kontinyu akan lebih dalam terhujam. Setiap kali Khalid ibn walid dan pasukannya berhasil menduduki suatu daerah, yang nyaris semuanya dilakukan dibawah hunusan pedang dan sisasisa letusan perang, maka ia akan melanjutkan perjalanan menuju daerah berikutnya, dan ‘memasrahkan’ kepemimpinan di daerah yang lama pada shahabat yang lain untuk mengelola kawasan tersebut.
Bukan berarti meremehkan kualitas shahabat yang dipasrahi, hanya saja ada ibrah yang bisa kita ambil di sini, bahwasannya intensivitas da’wah kepada mad’u adalah hal yang harus diperhatikan setelah kita berhasil merangkulnya. Pembinaan yang perlahan, tapi kontinyu dan pasti, beriring dengan pengawasan yang seimbang, bukan ketergesaan mencari objek baru dengan menomorsekiankan yang terdahulu, hingga akhirnya ia kembali terlepas dan terhempas dari dekapan kita.
Khalid dan pasukannya tak salah. Kerjasama antarpasukan Persia dari berbagai penjuru di bumi Iraq memaksa mereka untuk meladeni mereka. Menuntut mereka harus cepat tanggap merengsek maju menyambut gendering perang yang mengundang. Konsentrasi pasukan yang terpecah karena berita yang susul menyusul tentang bala bantuan Persia yang selalu dikirim untuk membinasakan kaum muslimin menjadikan mereka selalu waspada dan siap berpindah tempat kapan saja.
Perang Al Firadh adalah perang terakhir yang dipimpin oleh Khalid dalam pembebasan kawasan Iraq. Usai peperangan, Khalid berpesan dan menginstruksikan pasukan untuk kembali ke Al Hirah pada hari ke lima sebelum bulan Dzulhijah berakhir. Setelah itu, Khalid beserta sejumlah orang dari tentaranya berjalan menuju Masjidil Haram, melalui jalan yang belum pernah ditempuh orang lain sebelumnya. Ia berhasil melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Berjalan santai dengan medan yang cukup berat dan menyulitkan, hingga sampai ke kota Makkah dan menunaikan ibadah haji di tahun itu. Setelah itu, ia kembali kepada pasukannya yang sedang menuju Al Hirah, bergabung dengan mereka sebelum pasukan itu tiba di Al Hirah. Tidak ada yang mengetahui mengenai keberangkatan Khalid kecuali beberapa orang yang memang menyertainya.
Abu Bakr yang semula tak tahu pun baru tahu setelah orang-orang Madinah yang menjalankan ibadah haji kembali ke Madinah dan menceritakan pertemuan dengan Khalid di Masjidil Haram. Serta merta terkirimlah surat teguran Sang Khalifah kepada Khalid karena dianggap telah meninggalkan pasukannya.
“Sesungguhnya pasukanmu tidak merasa marah dan sedih –dengan pertolongan Allah- atas kepergianmu. Maka selamat atas niatmu dan langkahmu, wahai Abu Sulaiman (Khalid). Sempurnakan perjalananmu, semoga Allah memudahkannya. Dan jangan sampai engkau merasa ‘ujub dan sombong akhirnya engkau akan merugi dan dihinakan. Jangan sekali-kali engkau merasa bangga dengan menunjukkan hasil perkerjaanmu. Sebab sesungguhnya Allah-lah yang memberikan nikmat dan kemudahan kepadamu, dan Dia-lah yang kelak memberikan ganjaran.” Surat Abu Bakr untuk Khalid ini termaktub dalam tarikh Ath Thabrani tanpa desebutkan sanadnya.
Keputusan Sang Khalifah yang selanjutnya adalah menarik Khalid dari medan peperangan di Bumi Iraq dan selanjutnya ditugaskan untuk berangkat ke Syam, kawasan yang ada di sebelah Barat. Ada yang berpendapat, ini adalah hukuman dari Abu Bakr kepadanya karena tingkah polahnya kala meninggalkan pasukan untuk pergi berhaji. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Khalid memang di kirim ke Syam karena para Shahabat yang sedang berekspansi di wilayah barat itu meminta bala bantuan untuk menghadapi tentara Romawi yang akan menyerang di yarmuk dengan kekuatan yang sangat besar. Maka ditulislah surat untuk Khalid agar mengangkat penggantinya di Iraq dan bergegas berjalan dengan cepat menuju Syam dengan bala tentaranya. Jika telah sampai di Syam, maka Khalid-lah yang menjadi pimpinan seluruh pasukan. Sebagai penggantinya di Iraq, Khalid menunjuk Mutsanna bin Haritsah.
Setelah kepergian Khalid ke Syam, Persia menggunakan kesempatan ini untuk menyerang Mutsanna dengan 10.000 personil pasukan yang dipimpin oleh Hurmuz bin Jadzawaih. Al Mutsanna meladeni serangan tentara Persia dan berhasil mengalahkannya, hingga pasukan muslim justru mendapat ghanimah dalam jumlah yang sangat besar.
Al Mutsanna terlambat memberikan informasi mengenai keadaan Iraq kepada Abu Bakr yang kala itu sedang disibukkan dengan penduduk Syam dan peperangan Yarmuk. Akhirnya Mutsanna datang ke Madinah untuk menemui Sang Khalifah, setelah sebelumnya mengamanahkan kepemimpinan di Iraq kepada Basyir bin Al Khashsiyah.
Sesampainya Mutsanna di Madinah, ternyata Abu Bakr ash shiddiq dalam keadaan sakit parah menjelang wafat, dan urusan kekhalifahan telah diamanahkan kepada ‘Umar ibn Khaththab. Ketika Abu Bakr melihat Mutsanna, ia berkata kepada ‘Umar, “Jika aku wafat, maka jangan sekali-sekali menyentuhku hingga engkau memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi penduduk Iraq di bawah pimpinan al Mutsanna. Namun jika para panglima kita berhasil menaklukkan Syam, maka kembalikan pasukan Khalid ke Iraq, sebab mereka lebih menguasai medan pertempuran.”