Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW bertanya, “Wahai Rasulullah aku adalah delegasi segenap kaum muslimah kepadamu. Jihad telah diwajibkan oleh Allah atas kaum lelaki. Jika mereka menang mereka mendapatkan balasan pahala dan jika mereka terbunuh maka mereka tetap hidup di sisi Allah dan diberi rizki. Lalu apa bagian kami dari itu semua?” Nabi menjawab “Sampaikanlah kepada segenap kaum muslimah yang engkau temui bahwa keta’atan kepada suami dan memenuhi hak-haknya adalah sama dengan itu. Tetapi sedikit sekali dari kalian yg melakukannya.” (HR Thabrani)
Selalu saja ada bagian yang tepat dan adil untuk kaum wanita. Simaklah, betapa santun dan indah sabda Sang Nabi tersebut. Jihad di medan perang atas nama menegakkan kalimat Allah, pastilah ruang yang penuh kekalutan. Simbahan darah, gemerincing pedang, pekikan rintih, dan sayatan luka. Namun, “Ketaatan kepada suami dan memenuhi hak-haknya,” tutur Rasulullah, “sama dengan itu.” Lanjutnya, Baginda Rasulullah pun tengah mengingatkan bahwa sedikit sekali dari kaum wanita tersebut yang melakukannya.
Ada makna yang sejatinya setali tiga uang dengan jihad menggadaikan segenap raga dan nyawa di medan perang oleh kaum lelaki. Perempuan pun bagaikan mujahidah dalam keluarganya. Ini berat, amanah yang sesungguhnya teramat berat. Bertumbuhnya seorang gadis kecil menjadi perempuan yang siap dinikahi oleh laki-laki menuntut proses pendewasaan dalam dirinya yang mungkin jauh lebih rumit. Perempuan ini selain pribadinya siap bergegas menjemput dunia baru, juga merupakan gerbang bagi keluarga lain yang berbeda karakter, latar belakang, dan budaya, untuk disimpuleratkan dengan keluarganya.
Penyelerasan dan penyatuan persepsi antara dirinya, calon pendampingnya, keluarga sang calon, dan keluarganya sendiri adalah suatu seni mengelola kemauan dan idealita masing-masing. Di dalamnya, sarat muatan dakwah, penunaian syariat, keleluasaan pandangan, dan tak kalah pentingnya adalah memenangkan ukhuwah antar emuanya. Pernikahan yang kian dimimpikan pun, malah dapat terasa aral dan kerikil yang tajam bila tidak disongsong dengan baik oleh si perempuan itu sendiri.
Bermula dari pergolakan hatinya yang berombak untuk memutuskan sedia dinikahi oleh lelaki yang sejatinya sangat asing, kemudian perjuangannya mengenali sang calon suaminya, hingga masih berlanjut dengan perjuangannya semampu mungkin menyentuhkan nilai-nilai syariat pada pernak-pernik pernikahannya. Maka, tentulah semestinya kita memahami bahwa hidup ini adalah rangkaian takdir yang Allah Azza wa Jalla peruntukkan bagi masing-masing kita. Unik dan istimewa.
Kita sendirilah yang sepatutnya paling memahami jalan juang ini demi memenangkan ukhuwah keluarga. Nan lebih penting lagi, memenangkan syariat Allah demi terwujudnya pernikahan itu sendiri. Benturan dan gesekan akan rawan terjadi dalam keluarga pada masa-masa menjelang pernikahan. Inilah babak pertama seorang perempuan diuji di dalam keluarganya sendiri. Mungkin benarlah ungkapan ini, bahwasanya medan jihad terbesar seorang wanita adalah berada dalam keluarganya sendiri. Pada kondisi ini, ketika telah ada segenggam idelita di dada, maka sangat ingin kita mewujudkan sesuatu yang barokah pada hari yang membahagiakan itu. Hal itu semua, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya.
Banyak dari kita yang ternyata sangat sulit mengkondisikan keluarga sendiri. Jika kita pandai dan fasih berbicara dengan rekan-rekan sebaya tentang syariat, maka ternyata jauh lebih sulit kita mengungkapkannya pada hadapan keluarga sendiri. Begitu kelu dan kaku, saat nasihat itu telah berada di ujung lidah. Alhasil, seringnya kita menelan kembali ludahnya tanpa hasil. Bahkan, ketika kita seharusnya mulai untuk menyemaikan nila-nilai syariat pada tradisi pernikahan, boleh jadi sang calon mempelai perempuan ini justru tak bisa berbuat apapun.
Pelan-pelan, kita akhirnya menurut saja pada kemauan keluarga besar. Demi memenangkan hati mereka dan mungkin sejatinya demi menyelamatkan pernikahan itu sendiri. Namun, di balik pemenangan itu, sejatinya kita pun sudah menyakiti diri kita sendiri. Saat itu seharusnya kita merenung, bahwa ternyata memang kita belumlah berhasil menyentuhkan spirit-spirit islami dalam keluarga dekat sendiri.
Inilah titik terberatnya, bahwa sering kali kita terlampau silau dengan dunia luar. Hilir mudik tiada henti antar acara. Belum habis agenda di suatu tempat, sudah berkejaran agenda lain yang tengah menanti. Maka, habislah pula energi kita untuk menyisakan sedikit saja untaian mutiara itu kepada keluarga. Hingga kita sendiri yang menjauhkan kekerabatan itu dengan mereka.
Semestinya, tiadalah yang harus kita lakukan sebagai seorang perempuan yang dipemeokan sebagai madrasah peradaban, selain akrab-akrab dengan keluarga. Kita bangun madrasah itu sejak dini. Sejak semuanya berawal dari jenjang pernikahan. Bahkan jauh sebelum pernikahan itu tengah dekat pelaksanaannya. Kita senantiasa membina hubungan yang baik dengan ayah, ibu, dan keluarga besar. Sekali lagi karena kita adalah seorang perempuan, bahwa semestinya yang menikahkan kita adalah ayah. Maka, akrab-akrablah dengan ayah kita. Pada beliau kita mengiba restunya dan memohon kebesaran jiwanya. Serta ibu kita lah yang akan banyak mengajari kita tentang berbagai hal sebagai istri. Tentu, dekat-dekatilah ibu kita juga.
Ayah dan ibu selaku orang tua, bagaimanapun patut merasa memiliki acara sakral ini, sedangkan kita merindukannya sebagai sebuah awal dari keberkahan ikatan yang menjanjikan limpahan ridho-Nya. Maka benturan dan gesekan dalam sebuah keluarga, sejatinya adalah ladang pahala yang begitu luas. Andai saja setiap perempuan menginsyafinya sedini mungkin, menjalin hangat, dan memeluk mesra hubungannya dengan keluarga, maka akan kian mudah mewujudkan segalanya dengan barokah. Jauh sebelum perannya sebagai ibu, sang madrasah peradaban, kiranya dari sinilah kiprah perjuangan perempuan mulai ditabuh. Sejak ia masih gadis, beranjak dewasa, dan kemudian siap dinikahi oleh peminangnya.